Akar binasa
Plumbago indica
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
(tanpa takson):
(tanpa takson):
(tanpa takson):
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
P. indica
Nama binomial
Plumbago indica
Sinonim
  • Plumbago rosea L.

Akar binasa (Plumbago indica) adalah spesies dari tumbuhan berbunga dalam familia Plumbaginaceae, yang berasal dari Asia Tenggara. Ia dikenal dengan sebutan ceraka merah dan mehulatu. Sebagai obat luar, akar binasa sedikit lebih aman daripada daun encok, walaupun kedua tumbuhan ini mengandung zat beracun yang sama, plumbagon dan plumbagin. Lebih jauh, tumbuhan ini dapat digunakan untuk antelmintik untuk kuda.

Deskripsi

Akar binasa adalah tumbuhan perenial,[1] juga semak belukar[2] dengan tinggi 0,6-1,5 m. Perakaran membuat pembengkakan. Batangnya tegak, seringkali memanjat ataupun menjajak; dengan batang yang tumbuh dari tanah.[3] Kemudian, daunnya berselang-seling, tunggal, dan tangkainya pendek. Helaian daunnya ini berbentuk bulat telur lancip, agak bulat telur elips dengan ukuran 5-15 cm X 2-8 cm. Bunganya berwarna merah, dengan jumlah kelopak bunga 5. Perbungaannya uniseksual dengan ukuran tangkai 0,1 mm. Kelopaknya selembut bulu, dan mirip telinga dengan panjang 2,5-4,5 cm.[3] Perbungaannya rasemat, dan batang akarnya harum. Ia berbunga sepanjang tahun dan tidak didapati tumbuhan ini berbuah.[4] Namun, memegangnya dapat menyebabkan rasa tergigit dan tidak enak. Kulit akarnya dapat menyebabkan lepuh dan dapat digunakan untuk mengatasi lalat spanyol.[1]

Untuk membedakan akar binasa dan daun encok, terdapat pada bunganya. Sementara akar binasa bunganya berwarna merah, maka daun encok bunganya berwarna putih.[1]

Persebaran dan habitat

Ia tersebar dari Afrika menuju India, Indo-China, dan Asia Tenggara. Di Indonesia, tumbuhan ini dibudidayakan di daerah Lampung, kadang tumbuhan ini liar[1]. Di India ke Asia Tenggara, malah tumbuhan tersebut dibudidayakan. Ia juga dibudidayakan sebagai tanaman hias di seluruh wilayah beriklim tropis, yakni di rumah hijau. Di Afrika, tumbuhan ini dibudidayakan dalam jumlah besar di Kenya, Tanzania, Zimbabwe, Mozambik, dan Madagaskar oleh imigran India.[4]

Akar binasa dapat tumbuh subur pada suhu 25-35° C. Tumbuhan ini menyukai tanah dengan pengairan yang baik, lembab, dan banyak dan dengan pH tanah 5,5-6. Apabila pH tanah dibawah 5 dan di atas 7, maka tumbuhan akan menjadi kerdil. Tumbuhan ini akan menjadi liar apabila tumbuh di bekas wilayah antropogenik dan tanah pertanian yang ditinggalkan.[4] Ia juga dapat didapati di padang alang-alang, semak belukar, dan hutan kecil hingga pada ketinggian 1-1.000 mdpl.[2]

Kemampuan dan manfaat

Tumbuhan ini mengandung suatu zat yang menyebabkan lepuh, yaitu plumbagin dan plumbagon. Tumbuhan ini dijamin melepuhkan kulit, sekalipun untuk pemakaian luar, dan untuk abrotivum dan berbahaya.[1] Plumbagin dapat ditemui pada akarnya. Adapun, zat lain yang diisolasi dari tumbuhan ini adalah 6-hidroksiplumbagin, plumbaginol, leukodelfinidin, dan steroid. Plumbagin memiliki aktivitas farmakologi, seperti antimikroba, antikanker, kardiotonik, dan antifertilitas.[4] Plumbagin tersebut dapat ditingkatkan jumlahnya melalui (NH4)2SO4, namun tidak merusak jaringan akar pada tumbuhan.[5] Selain itu, dapat juga menggunakan manipulasi medium dan Adapun menurut penelitian, jaringan akar dari tumbuhan ini menghasilkan lebih banyak konsentrasi plumbagin ketimbang Drosera capensis dan D. natalensis dalam pembudidayaan in vitro. Berat kering terbesar ditemukan adalah 0.86 ± 0.186%, dan yang terkecil adalah 1.16 ± 0.020% dan 0.032 ± 0.026%, secara berurutan.[5]

Di Indonesia, tumbuhan ini dijadikan antelmintik untuk kuda. Tapal tumbuhan ini yang dicampur dengan minyak kelapa, dapat digunakan sebagai obat luar untuk mengobati rematik dan sakit kepala. Ada kemungkinan tumbuhan ini sedikit lebih aman ketimbang daun encok.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f Dharma 1987, hlm. 18-19.
  2. ^ a b AgroMedia Pustaka 2008, hlm. 6-7.
  3. ^ a b "Plumbago rosea". GLOB in MED. Diakses tanggal 17 January 2013. 
  4. ^ a b c d Gurib-Fakim & Schmelzer 2008, hlm. 473-475.
  5. ^ a b Panichayupakaranant & Tewrakul 2002, hlm. 229-230.
Bibliografi