Ketupat
Ketupat atau kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara maritim berbahan dasar beras yang dibungkus dengan pembungkus terbuat dari anyaman daun kelapa (janur) yang masih muda. Ketupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa.
Makanan khas yang menggunakan ketupat, antara lain kupat tahu (Sunda), Grabag (kabupaten Magelang), kupat glabet (Kota Tegal), coto makassar (dari Makassar, ketupat dinamakan Katupa), lotek, serta gado-gado yang dapat dihidangkan dengan ketupat atau lontong. Ketupat juga dapat dihidangkan untuk menyertai satai, meskipun lontong lebih umum.
Selain di Indonesia, ketupat juga dijumpai di Malaysia, Brunei, dan Singapura. Di Filipina juga dijumpai bugnoy yang mirip ketupat namun dengan pola anyaman berbeda.[1]
Ada dua bentuk utama ketupat yaitu kepal bersudut 7 (lebih umum) dan jajaran genjang bersudut 6. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda. Untuk membuat ketupat perlu dipilih janur yang berkualitas yaitu yang panjang, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua.
Penggunaan lain
Di antara beberapa kalangan di Pulau Jawa, ketupat sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat. Ada masyarakat yang memegang tradisi untuk tidak membuat ketupat di hari biasa, sehingga ketupat hanya disajikan sewaktu lebaran dan hingga lima hari (Jawa, sepasar) sesudahnya. Bahkan ada beberapa daerah di Pulau Jawa yang hanya menyajikan ketupat di hari ketujuh sesudah lebaran saja atau biasa disebut dengan Hari Raya Ketupat.
Di pulau Bali, ketupat (di sana disebut kipat) sering dipersembahkan sebagai sesajian upacara. Selain untuk sesaji, di Bali ketupat dijual keliling untuk makanan tambahan yang setaraf dengan bakso, terutama penjual makanan ini banyak dijumpai di Pantai Kuta dengan didorong keliling di sana.
Tradisi ketupat (kupat) lebaran menurut cerita adalah simbolisasi ungkapan dari bahasa Jawa ku = ngaku (mengakui) dan pat = lepat (kesalahan) yang digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam di Pulau Jawa yang pada waktu itu masih banyak yang meyakini kesakralan kupat. Asilmilasi budaya dan keyakinan ini akhirnya mampu menggeser kesakralan ketupat menjadi tradisi Islami ketika ketupat menjadi makanan yang selalu ada di saat umat Islam merayakan lebaran sebagai momen yang tepat untuk saling meminta maaf dan mengakui kesalahan.
Nama-nama lokal
- bahasa Bali: tipat
- bahasa Banjar: katupat
- bahasa Betawi: tupat
- bahasa Cebu: puso
- bahasa Filipino: bugnoy
- bahasa Jawa: kupat
- bahasa Kapampangan: patupat
- bahasa Makassar: katupa'
- bahasa Melayu/Indonesia: ketupat
- bahasa Sunda: kupat
- bahasa Tausug: ta’mu
- bahasa Tolitoli: kasipat
- bahasa Minangkabau: katupek
- bahasa sasak: topat
- bahasa madura: ketopak
Lihat pula
Referensi
- ^ Almario, Virgilio, et al. 2010. UP Diksiyonaryong Filipino, 2nd ed. Anvil: Pasig.