Dimyathi Syafi'ie
Kyai Haji Dimyathi Syafi'ie - Nama pengganti dari Mbah Dimyathi adalah pendiri Pondok Pesantren Kepundungan, salah satu Pesantren Islam yang tertua di Banyuwangi dan saksi perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia di tanah Blambangan.
Kyai Haji Dimyathi Syafi'ie | |
---|---|
Lahir | 1859 Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta |
Meninggal | Mekkah atau Makkah al-Mukarramah, Arab Saudi |
Dikenal atas | Pendiri Pondok Pesantren Kepundungan / Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb |
Gelar | Hadratusy Syaikh |
Suami/istri | Nyai Saudah |
Biografi
KH. Dimyathi Syafi'ie lahir tahun 1859 M di desa Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta, putra dari Kyai Syafi'ie. Thobiri adalah nama kecil beliau. Saat usia 14 tahun, mulailah beliau melalang dalam menimba ilmu agama dan saat itu beliau diajak bersama sang kakak (Kiai Maksum) ke tanah Blambangan Banyuwangi.
KH Dimyathi ketika masa-masa remaja, ia ingin menuntut ilmu ke luar dari wilayah Blambangan Banyuwangi. Maka, ia pun mengutarakan maksudnya ini kepada ibundanya. Namun sang ibu menyatakan bahwa keluarganya sedang tidak memiliki bekal yang cukup untuk membiayai keinginannya. Keluarga di Banyuwangi hanya memiliki tanah persawahan yang tidak dapat diharapkan banyak karena sulitnya zaman akibat penjajahan.
Namun Dimyathi nampaknya telah teguh dengan keinginannya. Ia menginginkan untuk menjual sawah yang menjadi bagain warisannya kelak ketika dewasa. Kendati terheran-heran dan hampir tak percaya, Ibunya pun kemudian menyangupi ketika melihat tekad bulat anaknya ini. Ibunya lebih heran lagi ketika melihat bahwa semua uang hasil penjualan sawah satu hektar bagiannya, dibelikan kitab. Saking herannya ibunya bahkan sempat mengatakan, ”Makan tuh kitab.”
Walhasil Dimyathi pun segera meninggalkan rumahnya untuk mondok ke Pesantren Termas, di Pacitan. Karena seluruh uangnya telah dibelikan kitab, maka ia hanya dibekali oleh ibunya dengan sekarung cengkaruk/ karak campur jagung. Bahan makanan ini berupa bahan yang menunjukkan betapa sebenarnya keluarga Dimyathi di Banyuwangi juga sama-sama susah akibat penjajahan Belanda.
Namun rupanya dengan bekal hanya sekarung cengkaruk ini, Dimyathi mampu bertahan hingga tiga tahun di Pesantren Termas. Rupanya ia bertahan di Termas dengan cara bekerja ke sawah untuk mencukupi kebutuhannya selama mondok. Karenanya Dimyathi kemudian menerapkan metode ini di pesantrennya yang telah ia bangun kembali.
Selama di Pesantren Dimyathi memang terkenal sebagai santri yang tekun, konon ia adalah santri kesayangan sang pengasuh Pesantren Termas. Pada saat itu Pesantren Termas berada di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyathi. Karena saking sayangnya, di sinilah Dimyathi berganti namanya menjadi Dimyathi, nama yang digunakannya hingga akhir hayatnya. Sebelumnya, nama lahirnya adalah Muhibbut Thobari. Maka setelah boyongan dari Pesantren Termas, ia pun menggunakan nama Dimyathi. Sementara nama lahirnya, Muhibbut Thobari, tak lagi digunakan.
Dalam pandangan KH Dimyathi, para santri sah-sah saja bekerja selama menimba ilmu di Pesantren, karena justru akan membantu mereka untuk mandiri sejak dini dan tidak membebani orang tua di rumah. Pesantren dapat menyediakan lahan yang digunakan oleh para santri untuk bercocok tanam atau membuka usaha, asalkan tidak mengesampingkan tugas utamanya, yaitu belajar ilmu agama. Dengan demikian para santri dapat menopang sendiri hidupnya, sehingga tidak perlu dikirim oleh orangtua dari rumah.
Begitulah yang dijalani Dimyathi selama mengaji di tiga Pesantren, yakni Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdullah Fakih dan Pesantren Idham Sari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah Syuja’. Kedua pesantren yang terakhir berada di wilayah Banyuwangi sendiri.
Maka demikian pun ia mempraktekkan ilmunya ketika telah mengasuh Pesantren. Para santri di Nahdlatut Thullab tidak harus membawa bekal atau dibekali oleh orang tuanya dari rumah. Asalkan santrinya bekerja keras tentu dapat menopang kehidupan dan membiayai pendidikannya selama di pesantren. Karenanya, dana pembangunan pesantren yang diperoleh dari Presiden Soekarno disisakan untuk membeli lahan, agar para santri tidak membebani orang tua masing-masing.
Kenyataan ini adalah yang sebenarnya, karena entah kebetulan atau tidak, jumlah santrinya tidak pernah lebih dari kapasitas lahan yang tersedia yang digunakan untuk menopang kehidupan dan kebutuhan belajar santri. Sehingga KH Dimyathi dapat benar-benar mendidik santri dengan seksama, termasuk ketika harus membina mereka sebagai laskar Hizbullah pada kegelapan malam. Mengendap-endap dan menyergap musuh, untuk merangkul kitab kuning pagi harinya di pesantren.
Pendidikan
Pesantren yang pertama beliau singgahi terletak di Pesantren Termas, Pacitan. Kemudian beliau meneruskan pengembaraan ke Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdullah Fakih, di sini kurang lebih selama 6 Tahun. Setelah dirasa cukup beliau meneruskan ke Pesantren Pesantren Idham Sari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah Syuja disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran. Lalu beliau melanjutkan pendidikan terakhir di dua pesantren yang berada di wilayah Banyuwangi.
Metode Pengajaran KH. Dimyathi Syafi'ie
Dalam sistem pendidikan di pesantrennya, KH Dimyathi mengandalkan lebih mengandalkan sistem sorogan. Sistem ini menjadikan santri-santrinya menyimak dengan seksama. Karena sorogan yang dipakai oleh KH Dimyathi adalah “sorogan tak langsung”. Artinya para santri mengulangi membaca kitab yang telah dibaca oleh sang kyai beberapa hari sebelumnya. Jadi para santri secara otomatis akan mendengarkan dengan seksama ketika sang Kyai sedang membacakan, karena mereka harus mengulanginya secara terjadwal.
Sementara cara lain yang digunakan oleh KH Dimyathi di Pesantrennya adalah metode bandongan. Dalam mekanisme bandongan sang kyai bebas menerangkan agar para santri mengerti maksud-maksud tersirat dari teks-teks kitab yang sedang dipelajari. Cara ini lazim digunakan di madrasah-madrasah Blambangan selatan sebagaimana juga pesantren-pesantren Nusantara lainnya.
Selama mengasuh Pesantren, selain terlibat dalam perjuangan fisik secara langsung di malam hari, KH Dimyathi juga sempat membuat karangan tentang akhlak karakter yang semestinya dimiliki oleh para remaja Islam. Karangan ini berbentuk nadzam semacam pantun dalam bahasa Arab, yang menggunakan susunan rima ab ab. Nadzam karangan KH Dimyati ini berjudul Muidzotus Syibyan Nasehat untuk para Remaja
Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb / Pondok Pesantren Kepundungan sendiri sangat mengutamakan penguasaan ilmu alat, nahwu dan shorof. Meski tentu saja kitab2 tafsir juga menjadi kajian utama para santrinya. Menurut beberapa santri yang sempat menimba ilmu kapada KH Dimyati, kehebatan Pesantren Nahdlatut Thullab adalah dalam pengembangan aqoid 50-nya. Melalui pembinaan Aqoid 50 ini para santri yang telah boyongan dapat memberikan solusi untuk masalah-masalah ke-Tuhanan kepada masyarakat di daerah alumni itu sendiri.
Beberapa santri bahkan menyatakan ilmu-ilmu tersebut dapat mereka kuasai secara ladunni. Artinya, dulu ketika diajar langsung terkadang mereka tidak memahami pelajaran saat itu juga, namun setelah keluar dan mengabdi untuk masyarakat, mereka tiba-tiba teringat dan mengerti maksud penjelasan KH Dimyathi sewaktu di Pesantren dahulu.
Metodenya pembelajaran KH Dimyathi sebenarnya sangat sederhana sekali. Namun karena keyakinan tinggi dari para santrinya, maka mereka mendapatkan semacam pencerahan. Hal pertama yang ditancapkan kepada para santri adalah Al-Qur’an. Para santri diwajibkan senantiasa mendawamkan membaca Al-Qur’an di sepanjang hari, di setiap aktifitas mereka. Kemudian barulah didoktrin dengan Aqoid 50 dan baru belajar nahwu shorof serta ilmu-ilmu lainnya.
Hal penting lain yang diajarkan KH Dimyathi adalah pendidikan bilhal/ bifi’li. Yakni pendidikan praktek langsung, bukan hanya teori. KH Dimyathi terkenal suka mengajak para santrinya untuk bersilaturrahim. Hal ini adalah salah satu aspek pendidikan yang terus tertanam di hati para santrinya sepanjang hidup mereka.