Dimyathi Syafi'ie
Kyai Haji Dimyathi Syafi'ie - Nama pengganti dari Mbah Dimyathi adalah pendiri Pondok Pesantren Kepundungan, salah satu Pesantren Islam yang tertua di Banyuwangi dan saksi perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia di tanah Blambangan.
Kyai Haji Dimyathi Syafi'ie | |
---|---|
Lahir | 1912 Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta |
Meninggal | 1959 Mekkah atau Makkah al-Mukarramah, Arab Saudi |
Dikenal atas | Pendiri Pondok Pesantren Kepundungan / Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb |
Gelar | Hadratusy Syaikh |
Suami/istri | Nyai Saudah |
Biografi
KH. Dimyathi Syafi'ie lahir tahun 1859 M di desa Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta, putra dari Kyai Syafi'ie. Thobiri adalah nama kecil beliau. Saat usia 14 tahun, mulailah beliau melalang dalam menimba ilmu agama dan saat itu beliau diajak bersama sang kakak (Kiai Maksum) ke tanah Blambangan Banyuwangi.
KH Dimyathi ketika masa-masa remaja, ia ingin menuntut ilmu ke luar dari wilayah Blambangan Banyuwangi. Maka, ia pun mengutarakan maksudnya ini kepada ibundanya. Namun sang ibu menyatakan bahwa keluarganya sedang tidak memiliki bekal yang cukup untuk membiayai keinginannya. Keluarga di Banyuwangi hanya memiliki tanah persawahan yang tidak dapat diharapkan banyak karena sulitnya zaman akibat penjajahan.
Namun Dimyathi nampaknya telah teguh dengan keinginannya. Ia menginginkan untuk menjual sawah yang menjadi bagain warisannya kelak ketika dewasa. Kendati terheran-heran dan hampir tak percaya, Ibunya pun kemudian menyangupi ketika melihat tekad bulat anaknya ini. Ibunya lebih heran lagi ketika melihat bahwa semua uang hasil penjualan sawah satu hektar bagiannya, dibelikan kitab. Saking herannya ibunya bahkan sempat mengatakan, ”Makan tuh kitab.”
Walhasil Dimyathi pun segera meninggalkan rumahnya untuk mondok ke Pesantren Termas, di Pacitan. Karena seluruh uangnya telah dibelikan kitab, maka ia hanya dibekali oleh ibunya dengan sekarung cengkaruk/ karak campur jagung. Bahan makanan ini berupa bahan yang menunjukkan betapa sebenarnya keluarga Dimyathi di Banyuwangi juga sama-sama susah akibat penjajahan Belanda.
Namun rupanya dengan bekal hanya sekarung cengkaruk ini, Dimyathi mampu bertahan hingga tiga tahun di Pesantren Termas. Rupanya ia bertahan di Termas dengan cara bekerja ke sawah untuk mencukupi kebutuhannya selama mondok. Karenanya Dimyathi kemudian menerapkan metode ini di pesantrennya yang telah ia bangun kembali.
Selama di Pesantren Dimyathi memang terkenal sebagai santri yang tekun, konon ia adalah santri kesayangan sang pengasuh Pesantren Termas. Pada saat itu Pesantren Termas berada di bawah bimbingan KH. Hafidz Dimyathi. Karena saking sayangnya, di sinilah Dimyathi berganti namanya menjadi Dimyathi, nama yang digunakannya hingga akhir hayatnya. Sebelumnya, nama lahirnya adalah Muhibbut Thobari. Maka setelah boyongan dari Pesantren Termas, ia pun menggunakan nama Dimyathi. Sementara nama lahirnya, Muhibbut Thobari, tak lagi digunakan.
Dalam pandangan KH Dimyathi, para santri sah-sah saja bekerja selama menimba ilmu di Pesantren, karena justru akan membantu mereka untuk mandiri sejak dini dan tidak membebani orang tua di rumah. Pesantren dapat menyediakan lahan yang digunakan oleh para santri untuk bercocok tanam atau membuka usaha, asalkan tidak mengesampingkan tugas utamanya, yaitu belajar ilmu agama. Dengan demikian para santri dapat menopang sendiri hidupnya, sehingga tidak perlu dikirim oleh orangtua dari rumah.
Begitulah yang dijalani Dimyathi selama mengaji di tiga Pesantren, yakni Pesantren Termas Pacitan, Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdullah Fakih dan Pesantren Idham Sari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah Syuja’. Kedua pesantren yang terakhir berada di wilayah Banyuwangi sendiri.
Maka demikian pun ia mempraktekkan ilmunya ketika telah mengasuh Pesantren. Para santri di Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb tidak harus membawa bekal atau dibekali oleh orang tuanya dari rumah. Asalkan santrinya bekerja keras tentu dapat menopang kehidupan dan membiayai pendidikannya selama di pesantren. Karenanya, dana pembangunan pesantren yang diperoleh dari Presiden Soekarno disisakan untuk membeli lahan, agar para santri tidak membebani orang tua masing-masing.
Kenyataan ini adalah yang sebenarnya, karena entah kebetulan atau tidak, jumlah santrinya tidak pernah lebih dari kapasitas lahan yang tersedia yang digunakan untuk menopang kehidupan dan kebutuhan belajar santri. Sehingga KH Dimyathi dapat benar-benar mendidik santri dengan seksama, termasuk ketika harus membina mereka sebagai laskar Hizbullah pada kegelapan malam. Mengendap-endap dan menyergap musuh, untuk merangkul kitab kuning pagi harinya di pesantren.
Pendidikan
Pesantren yang pertama beliau singgahi terletak di Pesantren Termas, Pacitan. Kemudian beliau meneruskan pengembaraan ke Pesantren Cemoro di bawah asuhan KH Abdullah Fakih, di sini kurang lebih selama 6 Tahun. Setelah dirasa cukup beliau meneruskan ke Pesantren Pesantren Idham Sari, Genteng di bawah bimbingan KH Abdullah Syuja disinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran. Lalu beliau melanjutkan pendidikan terakhir di dua pesantren yang berada di wilayah Banyuwangi.
Metode Pengajaran KH. Dimyathi Syafi'ie
Dalam sistem pendidikan di pesantrennya, KH Dimyathi mengandalkan lebih mengandalkan sistem sorogan. Sistem ini menjadikan santri-santrinya menyimak dengan seksama. Karena sorogan yang dipakai oleh KH Dimyathi adalah “sorogan tak langsung”. Artinya para santri mengulangi membaca kitab yang telah dibaca oleh sang kyai beberapa hari sebelumnya. Jadi para santri secara otomatis akan mendengarkan dengan seksama ketika sang Kyai sedang membacakan, karena mereka harus mengulanginya secara terjadwal.
Sementara cara lain yang digunakan oleh KH Dimyathi di Pesantrennya adalah metode bandongan. Dalam mekanisme bandongan sang kyai bebas menerangkan agar para santri mengerti maksud-maksud tersirat dari teks-teks kitab yang sedang dipelajari. Cara ini lazim digunakan di madrasah-madrasah Blambangan selatan sebagaimana juga pesantren-pesantren Nusantara lainnya.
Selama mengasuh Pesantren, selain terlibat dalam perjuangan fisik secara langsung di malam hari, KH Dimyathi juga sempat membuat karangan tentang akhlak karakter yang semestinya dimiliki oleh para remaja Islam. Karangan ini berbentuk nadzam semacam pantun dalam bahasa Arab, yang menggunakan susunan rima ab ab. Nadzam karangan KH Dimyati ini berjudul Muidzotus Syibyan Nasehat untuk para Remaja
Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb / Pondok Pesantren Kepundungan sendiri sangat mengutamakan penguasaan ilmu alat, nahwu dan shorof. Meski tentu saja kitab2 tafsir juga menjadi kajian utama para santrinya. Menurut beberapa santri yang sempat menimba ilmu kapada KH Dimyati, kehebatan Pesantren Nahdlatut Thullab adalah dalam pengembangan aqoid 50-nya. Melalui pembinaan Aqoid 50 ini para santri yang telah boyongan dapat memberikan solusi untuk masalah-masalah ke-Tuhanan kepada masyarakat di daerah alumni itu sendiri.
Beberapa santri bahkan menyatakan ilmu-ilmu tersebut dapat mereka kuasai secara ladunni. Artinya, dulu ketika diajar langsung terkadang mereka tidak memahami pelajaran saat itu juga, namun setelah keluar dan mengabdi untuk masyarakat, mereka tiba-tiba teringat dan mengerti maksud penjelasan KH Dimyathi sewaktu di Pesantren dahulu.
Metodenya pembelajaran KH Dimyathi sebenarnya sangat sederhana sekali. Namun karena keyakinan tinggi dari para santrinya, maka mereka mendapatkan semacam pencerahan. Hal pertama yang ditancapkan kepada para santri adalah Al-Qur’an. Para santri diwajibkan senantiasa mendawamkan membaca Al-Qur’an di sepanjang hari, di setiap aktifitas mereka. Kemudian barulah didoktrin dengan Aqoid 50 dan baru belajar nahwu shorof serta ilmu-ilmu lainnya.
Hal penting lain yang diajarkan KH Dimyathi adalah pendidikan bilhal/ bifi’li. Yakni pendidikan praktek langsung, bukan hanya teori. KH Dimyathi terkenal suka mengajak para santrinya untuk bersilaturrahim. Hal ini adalah salah satu aspek pendidikan yang terus tertanam di hati para santrinya sepanjang hidup mereka.
Peran KH. Dimyathi Syafi'ie Dalam Kemerdekaan RI
Pada zaman-zaman perjuangan merebut kemerdekaan, banyak sekali korban yang harus dipertaruhkan oleh bangsa Indonesia. Tak terhitung lagi korban yang telah dipersembahkan demi sebuah emerdekaan. Bukan sekedar harta dan nyawa, namun juga perasaan terhinakan karena terus dikejar-kejar dan terusir dari kampung halaman.
Namun tentu saja banyak sekali para pahlawan yang justru memanfaatkannya untuk berjuang di dua ranah, yakni perjuangan fisik dengan mengangkat senjata dan perjuangan dakwah dengan mendidik generasi penerus bangsa. Salah satu di antara sekian banyak para pahlawan bangsa yang berjuang di dalam dua medan perjuangan sekaligus ini adalah KH Dimyathi Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb Kabupaten Banyuwangi.
Seorang ulama kharismatik yang telah memiliki banyak jasa bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Beliau adalah salah satu di antara para ulama Nahdlatul Ulama dengan andil besar dalam perjuangan fisik yang berpuncak pada meletusnya Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama. Salah satu bentuk sumbangsih nyata bagi perjuangan fisik merebut kemerdekaan adalah fatwa Beliau yang berbunyi, seluruh santri santri di daerah Banyuwangi selatan (kawasan Blambangan lama) wajib masuk Hizbullah. Fatwa ini memiliki konsekwensi yang cukup besar bagi santri-santri di kawasan Banyuwangi selatan. Dengan adanya fatwa ini, para santri memiliki tugas ganda. Pada malam hari mereka harus mengendap-endap untuk menyerang pos-pos keamanan tentara Belanda dan Jepang.
Sementara pagi harinya mereka kembali memeluk kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran agama. Walhasil sebenarnya mereka belajar di atas timbunan amunisi dan mesiu hasil rampasan dari tentara penjajah. Memang secara struktural, KH Dimyathi adalah Komandan Hizbullah laskar pejuang yang berafiliasi ke NU untuk wilayah Blambangan selatan. Kegiatan ganda semacam ini di jalani oleh KH Dimyathi bersama dengan santri-santrinya di Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb. Bukan tanpa resiko, selain menantang bahaya pada malam hari, mereka juga selalu diintai bahaya pada keesokan hari ketika mereka sedang mengaji. Banyaknya intel penjajah yang berkeliaran membuat keselamatan mereka selalu dipertaruhkan setiap saat.
Selain mengasuh Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb, KH Dimyathi juga dipercaya sebagai Rois Suriyah I Nahdlatul Ulama cabang Blambangan saat itu Banyuwangi selatan. Sementara pada waktu tersebut Pengurus Tanfidiyah dipercayakan kepada K Syuja’i. Keduanya, bersama para ulama lain, bahu membahu memimpin penduduk di sana untuk melawan penjajahan. Baik secara fisik maupun melawan terhadap segala dampak buruk penindasan Belanda dan Jepang, termasuk kebudayaan negative yang dibawa oleh setiap pemerintah penjajah.
Keadaan ini berlangsung terus hingga masa-masa setelah kemerdekaan. Dalam mempertahankan kemerdekaan, para santri terus melakukan penyerangan-penyerangan terhadap pos-pos tentara Belanda pada malam hari. Maka benar saja, lama kelamaan perlawanan mereka pun tercium oleh Belanda. Sehingga pondok pesantren yang dipimpinnya pun digerebek oleh tentara Belanda.
Seluruh bangunan dibakar, termasuk bangunan pesantren dan tempat tingaal KH Dimyathi diratakan dengan tanah oleh Belanda. Seluruh kitab-kitab Beliau sebanyak dua lemari besar pun habis di makan api. Karena di bawah bangunan pesantren banyak tertanam amunisi dan mesiu hasil rampasan para santri ketika bergerilya malam hari, maka akibat pembakaran semakin menjadi-jadi. Mesiu-mesiu ini mengakibatkkan api yang melalap gedung pesantren semakin menyala menjadi-jadi dan menimbulkan ledakan-ledakan hebat.
Meski para santri telah diperintahkan menyingkir dan berpencar, salah seorang santri bernama Muhammad Fadlan tertembak dan gugur pada penyerangan Belanda tersebut. Muhammad Fadlan kemudian dikuburkan sebagai syuhada dan dipindahkan ke Makam Pahlawan Banyuwangi pada tahun 1962.
Sementara KH Dimyathi ditangkap oleh Belanda dan ditahan selama 27 bulan hingga pertengahan tahun 1949. Komandan Hizbullah Blambangan selatan ini sebenarnya sudah hampir dieksekusi oleh Belanda. Namun menurut beberapa cerita, ketika menjelang hari-hari eksekusi, dokumen-dokumen pidananya oleh Belanda ternyata hilang dan tidak pernah ditemukan lagi. Sehingga eksekusi tidak pernah benar-benar dilaksanakan, sampai waktunya ia dibebaskan karena kekalahan-kelahan Belanda di Indonesia.
Dedikasi KH. Dimyathi Syafi’ie Dalam NU
KH Dimyathi benar-benar menjadikan hidupnya sebagai pengabdian sepenuhnya kepada sesama, termasuk kepada orang-orang dari tanah kelahirannya, Yogyakarta. Di manapun para alumni berada, biasanya mereka mendapatkan solusi terkait relasi yang ditunjukkan oleh KH Dimyathi.
Dalam memperjuangkan NU KH Dimyathi tidak pernah melupakan silaturahmi, dibuktikan dengan keberadaan kunjungan berkala dari ketiga menteri agama Republik Indoensia ke Pondok Pesantren Nahdlatuth Thullabb, yakni KH A. Wahid Hasjim, KH Saifuddin Zuhri dan KH Ahmad Dahlan. Meski sudah menjadi pejabat negara di tingkat pusat, namun tamu-tamu ini tetap bersikap santai di pesantren. Mereka biasa tiduran dan bercengkerama dengan santri di pendopo pesantren.
Terpenting KH Dimyathi selalu menanamkan jiwa ke-NU-an di hati anak didiknya. Beliau menyatakan ingin hidup sebagai orang NU dan kelak jika meninggal pun sebagai orang NU.KH Dimyathi mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemajuan NU.
Sekilas Kehidupan KH. Dimyathi Syafi’ie
Pandangan KH Dimyathi untuk masa depan anak-anaknya adalah tawakkal dalam artian semua garis masa depan ada pada kehendak Allah SWT, KH. Dimyathi menyatakan bahwa putra-putra saya kelak bisa mengembangkan kehidupan mereka sesuai dengan dunianya masing-masing. Sebagai orang tua do'a adalah elemen penting dalam mengarahkan kehidupan anak-anaknya, untuk itu urusan anak-anaknya Beliau pasrahkan sama Allah SWT. Termasuk kepada putra Beliau KH. Khamadullah Dimyathi yang waktu itu masih berusia balita, sudah harus ditinggal oleh KH Dimyathi untuk berpulang ke rahmatullah di tanah suci Mekkah atau Makkah al-Mukarramah.
Tokoh Kharismatik dari Blambangan selatan yang terlahir pada tahun 1912 ini yang berasal dari Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, sekitar tahun 1915-an sudah harus pindah ke kawasan Blambangan selatan beserta keluarganya yang dibawa oleh Kakaknya Kyai Maksum, dan setelah banyak belajar dari Pesantren akhirnya pada tahun 1936 KH Dimyathi mendirikan pesantren untuk berdakwah di daerah Blambangan selatan.
Pada tahun 1959 setelah usai merampungkan pembangunan gedung pesantrennya dan menyediakan cukup lahan untuk para santrinya menopang kehidupan dan biaya belajar selama di sana, KH Dimyathi berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah atau Makkah al-Mukarramah. Namun di sanalah rupanya Beliau datang untuk menghadap kepada Rabb-nya pada usia 47 tahun. Sebuah pemakaman tanpa penghormatan militer, meskipun Beliau selalu berada di garis terdepan dalam pertempuran melawan tentara-tentara Belanda. Selamat jalan Komandan Hizbullah Blambangan selatan. Semoga generasi masa kini dapat meneruskan perjuanganmu mengusir imperialisme dari bumi Nusantara