Taqiyyuddin an-Nabhani

Ilmuwan Muslim di bidang agama, akhlak, bahasa, politik, dan sastra

Syekh Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani dilahirkan pada 1909 di daerah Ijzim. Namanya dinisbatkan kepada kabilah Bani Nabhan, yang termasuk orang Arab penghuni padang sahara di Palestina. Mereka bermukim di daerah Ijzim yang termasuk wilayah Haifa di Palestina Utara.

Masa kecil

Ia mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayahnya sendiri, seorang syekh yang faqih fid din. Ayahnya seorang pengajar ilmu-ilmu syari'ah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu syari'ah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syekh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An Nabhani. Ia adalah seorang qadi (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka di daerah Turki Utsmani. Pertumbuhan Syekh Taqiyyuddin dalam suasana keagamaan yang kental seperti itu mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidupnya. Ia telah hafal Al Qur'an seluruhnya dalam usia yang amat muda, yaitu di bawah usia 13 tahun.

Syeikh Yusuf an-Nabhani adalah termasuk tokoh sejarah masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Ia berpendapat bahwa Khalifah Utsmaniyah merupakan penjaga agama dan akidah, simbol kesatuan kaum Muslimin, dan mempertahankan institusi umat. Syeikh Yusuf bertentangan dengan Muhammad Abduh dalam metode tafsir. Muhammad Abduh menyerukan perlunya penakwilan nas agar tafsir merujuk pada tuntutan situasi dan waktu. Ia juga bertentangan dengan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya yang sering menyerukan reformasi agama. Menurut dia, tuntutan reformasi itu meniru Protestan. Dalam Islam tidak ada reformasi agama (seperti dalam pemahaman Protestan). Ia juga menentang gerakan misionaris dan sekolah-sekolah misionaris yang mulai tersebar pada saat itu.

Oleh karena itu, di samping seorang ulama yang faqih, Syeikh Yusuf an-Nabhani juga terkenal sebagai seorang politikus yang selalu memperhatikan dan mengurus urusan umat. Berkenaan Syeikh Yusuf An-Nabhani, beberapa penulis biografi menyebutkan,

"(Dia adalah) Yusuf bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad an-Nabhani asy Syafi'i. Julukan baginya adalah Abu al-Mahasin. Dia adalah seorang penyair, sufi, dan termasuk salah seorang qadhi yang terkemuka. Dia menangani peradilan (qadha') di Qushbah Janin, yang termasuk wilayah Nablus. Kemudian ia berpindah ke Konstantinopel (Istanbul) dan diangkat sebagai qadhi untuk menangani peradilan di Sinjiq yang termasuk wilayah Moshul. Dia kemudian menjabat sebagai ketua Mahkamah jaza' di al-Ladziqiyah, sebelum pindah ke al-Quds. Selanjutnya ia menjabat sebagai ketua Mahkamah Huquq di Beirut. Dia menulis banyak kitab yang jumlahnya mencapai hingga 80 buah."

Pembesaran Syeikh Taqiyuddin dalam suasana keagamaan seperti itu, ternyata memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidupnya. Syeikh Taqiyuddin telah menghafal Al-Quran dalam usia yang sangat muda, yaitu sebelum ia mencapai umur 13 tahun. Dia banyak mendapat pengaruh dari kakeknya, Syeikh Yusuf an-Nabhani dalam banyak hal. Syeikh Taqiyuddin juga sudah mulai mengerti masalah-masalah politik yang penting, di mana kakeknya menempuh atau pun mengalami kejadian tersebut secara langsung karena hubungannya yang erat dengan para Khalifah Daulah Utsmaniyah saat itu. Ia banyak menimba ilmu melalui dewan dan diskusi-diskusi fiqih yang diselenggarakan oleh kakeknya.

Kecerdasan dan kecerdikan Syeikh Taqiyuddin yang menonjol tatkala mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya. Oleh sebab itu, kakeknya begitu memerhatikan Syeikh Taqiyuddin dan berusaha meyakinkan ayahnya -Syeikh Ibrahim bin Musthafa-tentang perlunya mengirim Syeikh Taqiyuddin ke al-Azhar untuk melanjutkan pendidikan nya dalam ilmu syariah.

Pendidikan

Syekh Taqiyyuddin menerima pendidikan dasar-dasar ilmu syari'ah dari ayah dan kakeknya, yang telah mengajarkan hafalan Al Qur'an sehingga ia hafal Al Qur'an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, ia juga mendapatkan pendidikannya di sekolah-sekolah negeri ketika ia bersekolah di sekolah dasar di daerah Ijzim.

Kemudian ia berpindah ke sebuah sekolah di Akko untuk melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah. Sebelum ia menamatkan sekolahnya di Akko, ia telah bertolak ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya di Al Azhar, hasil dorongan kakeknya, Syekh Yusuf An Nabhani.

Syekh Taqiyyuddin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama ia meraih ijazah dengan predikat sangat cemerlang. Lalu ia melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar. Di samping itu ia banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di Al Azhar yang diikuti oleh syekh-syekh Al Azhar, semisal Syekh Muhammad Al Hidlir Husain --rahimahullah-- seperti yang pernah disarankan oleh kakeknya. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran lama Al Azhar memungkinkannya.

Meskipun Syekh Taqiyyuddin menghimpun sistem Al Azhar lama dengan Darul Ulum, akan tetapi ia tetap menampakkan keunggulan dan keistimewaan dalam kesungguhan dan ketekunan belajar.

Syekh Taqiyyuddin telah menarik perhatian kawan-kawan dan pensyarah-pensyarahnya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya pendapat seta hujjah yang dilontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi fikriyah, yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang ada saat itu di Kairo dan di negeri-negeri Islam lainnya.

Syekh Taqiyyuddin An Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama beliau menamatkan pula kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif menurut sistem lama, di mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syekh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu syari'ah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.

Dalam forum-forum halaqah ilmiyah tersebut, An Nabhani dikenal oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat terdekatnya dari kalangan Al Azhar, sebagai seseorang dengan pemikiran yang genius, pendapat yang kukuh, pemahaman dan pemikiran yang mendalam, serta berkemampuan tinggi untuk meyakinkan orang dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi fikriyah. Demikian juga ia sangat bersungguh-sungguh, tekun, dan bersemangat dalam memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syekh Taqiyyuddin An Nabhani kembali ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haifa. Di samping itu ia juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah di Haifa.

Pada tahun 1940, ia diangkat sebagai Musyawir (Pembantu Qadi) dan ia terus memegang jabatan ini hingga tahun 1945, yakni saat ia dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadi di Mahkamah Ramallah hingga tahun 1948. Setelah itu, ia keluar dari Ramallah menuju Syam sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi.

Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya Al Ustadz Anwar Al Khatib mengirim surat kepadanya, yang isinya meminta agar ia kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai qadi di Mahkamah Syar'iyah Al Quds. Syekh Taqiyyuddin mengabulkan permintaan itu dan kemudian beliau diangkat sebagai qadi di Mahkamah Syar'iyah Al Quds pada tahun 1948.

Pada tahun 1951, Syekh An Nabhani menziarahi kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sehingga awal tahun 1953, ketika ia mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang telah dirintis antara tahun 1949 hingga 1953.

Sejak remaja Syekh An Nabhani sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syekh Yusuf An Nabhani. Pengalaman itulah yang mengantarkannya mendirikan partai politik berasas Islam, Hizbut Tahrir di Al Quds (Yerusalem) pada tahun 1953. Syekh Taqiyyuddin An Nabhani meninggal dunia pada tahun 1398 H/ 1977 M dan dikuburkan di Pekuburan Al Auza'i di Beirut.

Sumbangan kepada Islam

Ia telah meninggalkan kitab-kitab penting yang dapat dianggap sebagai kekayaan pemikiran yang tak ternilai harganya. Karya-karya ini menunjukkan bahwa Syekh Taqiyyuddin An Nabhani merupakan seorang yang mempunyai pemikiran brilian dan analisis yang cermat. Karya-karya Syekh Taqiyyuddin An Nabhani yang paling terkenal, yang memuat pemikiran dan ijtihadnya antara lain :

  1. Nizhamul Islam.
  2. At Takattul Al Hizbi.
  3. Mahafim Hizbut Tahrir
  4. An Nizhamul Iqthishadi fil Islam.
  5. An Nizhamul Ijtima'i fil Islam.
  6. Nizhamul Hukm fil Islam.
  7. Ad Dustur.
  8. Muqaddimah Dustur.
  9. Ad Daulatul Islamiyah.
  10. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah (3 jilid).
  11. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
  12. Nazharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
  13. Nida' Haar.
  14. Al Khilafah.
  15. At Tafkir.
  16. Ad Dusiyah.
  17. Sur'atul Badihah.
  18. Nuqthatul Inthilaq.
  19. Dukhulul Mujtama'.
  20. Inqadzu Filisthin.
  21. Risalatul Arab.
  22. Tasalluh Mishr.
  23. Al Ittifaqiyyah Ats Tsana'iyyah Al Mishriyyah As Suriyyah wal Yamaniyyah
  24. Hallu Qadliyah Filisthin ala Ath Thariqah Al Amrikiyyah wal Inkiliziyyah.
  25. Nazhariyatul Firagh As Siyasi Haula Masyru' Aizanhawar.

Semua ini belum termasuk ribuan risalah (nasyrah) mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir.