Kerajaan Tanah Hitu

kerajaan di Asia Tenggara

Kerajaan Tanah Hitu adalah kerajaan yang terletak di Pulau Ambon, Maluku, masa kejayaannya (1470-1682) dengan rajanya yang bergelar Upu Latu Sitania.


Peranan di Kepulauan Maluku

Selain sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Maluku, Kerajaan Tanah Hitu pernah memainkan peranan penting di Maluku yaitu sebagai bandar atau pusat perdagangan rempah-rempah.

Kerajaan Tanah Hitu juga melahirkan pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa melawan imperialisme barat Portugis maupun Belanda seperti

  1. Perang Hitu I (1520-1605)di pimpin oleh Tubanbessy-I, yaitu Kapitan Sepamole,
  2. Perang Hitu II (1634-1643) atau Perang Wawane yang dipimpin oleh Tubanbesi-2 yaitu Kapitan Tahalele dan Kapitan Pattiwane, dan
  3. Perang Kapahaha atau Perang Hitu III (1643-1646) yang dipimpin oleh Kapitan Talukabesi (Muhammad Uwen) dan Imam Ridjali.

KERAJAAN TANAH HITU

Geografis Pulau Ambon Pulau Ambon secara geografis terdiri dari dua Jazirah, Lei Hitu dan Lei Timur. Bagian utara berbatasan dengan Semenanjung Huamual (Seram Barat) bagian selatan berbatasa dengan laut banda dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Buru dan bagian Timur berbatasan dengan Pulau Haruku. Di Pulau Ambon juga terdapat Ibu Kota Propinsi Maluku yaitu Kota Ambon yang merupakan Pusat Kegiatan Nasional di Propinsi Maluku. Pada Jaman VOC Pulau Ambon sangat di kenal di seluruh dunia sebagai pusat rempah-rempat di Nusantara yang merupakan komoditi yang sangat penting pada jaman itu. Kependudukan Suku bangsa Maluku merupakan punduduk asli Pulau Ambon, penduduknya banyak beragama Islam dan Kristen, selain penduduk asli ada juga suku-suku lain di Indonesia yang puluhan tahun menetap di Maluku seperti suku buton dari Sulawesi Tenggara dan suku Bugis dari Sulawesi Selatan kehidupan mereka banyak yang bercocok dan pedagang. Penduduk yang beragama Islam sebagian besar mendiami Pulau Ambon bagian Utara (Lei Hitu) dan sebagian besar Penduduk yang beragama Kristen mendiami pulau Ambon bagian selatan (Lei Timur). Secara administrasi dalam pemerintahan Propinsi Maluku, Pulau Ambon di bagi mejadi dua bagian, bagian utara (Lei Hitu) masuk dalam administrasi Kabupaten Maluku Tengah dan bagian selatan (Lei Timur) masuk dalam administrasi Kotamadya Ambon.

Sejarah Sebelum kedatangan imprialisme barat ke wilayah Nusantara di Pulau Ambon terdapat sebuah Kerajaan Islam yakni Kerajaan Tanah Hitu didirikan oleh Empat Perdana Hitu, kerajaan ini pernah menjadi pusat perdagangan rempah - rempah dan memainkan peran yang sangat penting di Maluku, juga melahirkan intelektual dan para pahlawan gagah perkasa pada jamannya seperti Imam Ridjali, Talukabessy, Kakiali dan lain sebagainya yang tidak tertulis didalam Sejarah Maluku sekarang, yang beribu Kota Negeri Hitu. Juga mempunyai hubungan erat dengan barbagai kerajaan Islam di Jawa misalnya Kerjaan Islam Tuban, Kerjaan Islam Banten, Sunan Giri di Jawa Timur dan Kerajaan Goa di Makassar seperti dikisahkan oleh Imam Rijali dalam Hikayat Tanah Hitu begitu juga hubungan antara sesama kerjaan Islam di Maluku seperti Kerajaan Huamual (Seram Barat), Kerajaan Iha (Saparua), Kerjaan Ternate, Kerjaan Tidore, Kerajaan Jailolo dan Kerjaan Makian. Kata Perdana adalah asal kata dari bahasa sansekerta artinya Pertama. Empat Perdana Hitu adalah Empat kelompok atau empat soa yang pertama datang di Tanah Hitu, pemimpin dari Empat kelompok dalam bahasa Hitu disebut Hitu Upu Hata atau Empat Perdana Hitu. Kedatangan Empat Perdana merupakan awal datangnya manusia di Tanah Hitu sebagai penduduk asli Pulau Ambon. Empat Perdana Hitu juga merupakan bagian dari penyiar Islam di Maluku. Kedatangan Empat Perdana merupakan bukti sejarah syiar Islam di Maluku yang di tulis oleh penulis sejarah pribumi tua maupun Belanda dalam berbagai versi seperti Imam Ridjali, Imam Lamhitu, Imam Kulaba, Holeman, Rumphius dan Valentijn. Kedatangan Empat Perdana merupakan awal mula perjumpaan antara orang Alifur dan orang Melayu (Islam) di Pulau Ambon, perjumpaan antara pendatang pertama dengan pendatang kedua, begitu juga di pulau - pulau lain di Maluku seperti Ternate, Tidore, Halmahera, Seram, Buru dan sebagainya. Pendatang pertama yang masih primitif sedangkan pendatang kedua adalah orang-orang moderen pada jamannya, Pembauran antar kedua kasta ini menjadi orang asli Suku Bangsa Maluku. Orang Alifuru adalah sebutan untuk sub Ras Melanesia yang pertama mendiami Pulau Seram dan Pulau-Pulau lain di Maluku, adapun Alifuru berasal dari kata Alif dan kata Uru, Kata Alif adalah Abjad Arab yang pertama sedangkan kata Uru’ berasal dari Bahasa Hitu Kuno yang artinya datang secara perlahan maka Alifuru artinya Pertama datang atau Kasta pertama datang mendiami pulau-pulau di Maluku. Kehidupan orang Alifuru sangat primitif agama mereka sebelum Islam adalah agama animisme. Kedatangan Empat Perdana di Tanah Hitu yaitu pada Abad 14, Pemimpin dari Keempat Perdana itu adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru : mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan. Kedatangan Empat Perdana itu ke Tanah Hitu secara periodik  : 1. Pendatang Pertama adalah Pattisilang Binaur dari Gunung Binaya (Seram Barat) kemudian ke Nunusaku dari Nunusaku ke Tanah Hitu, tiba di Tanah Hitu pada waktu siang hari dalam bahasa Hitu Kuno di sebut Malakone artinya biru langit sesuai warna corak warna langit pada waktu siang hari, tahun kedatangannya tidak tertulis. Mereka mendiami suatu tempat yang bernama Bukit Paunusa, kemudian mendirikan negerinya bernama Soupele dengan Marganya Tomu Totohatu. Patisilang Binaur disebut juga Perdana Totohatu atau Perdana Jaman Jadi. 2. Pendatang Kedua adalah Kiyai Daud dan Kiyai Turi disebut juga Pattikawa dan Pattituri dengan saudara Perempuannya bernama Nyai Mas. Menurut silsilah Turunan Raja Hitu Lama bahwa Pattikawa, Pattituri dan Nyai Mas adalah anak dari : Muhammad Taha Bin Baina Mala Mala bin Baina Urati Bin Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah Bin Muhammad An Naqib yang nasabnya dari Ali Bin Abithalib dan Fattimah Binti Rasullah. Sedangkan Ibu mereka adalah asal dari keluarga Raja Mataram Islam yang tinggal di Kerajaan Tuban dan mereka di besarkan disana (menurut Imam Lamhitu salah satu pencatat kedatangan Empat perdana Hitu dengan aksara Arab Melayu 1689), Imam Rijali (1646) dalam Hikayat Tanah Hitu menyebutkan mereka orang Jawa, yang datang bersema kelengkapan dan hulubalangnya yang bernama Tubanbessi, artinya orang kuat atau orang perkasa dari Tuban. Adapun kedatangan mereka ke Tanah Hitu hendak mencari tempat tinggal leluhurnya yang jauh sebelum ke tiga perdana itu datang. Beliau ke Tanah Hitu yaitu pada Abad ke X masehi, dengan nama Saidina Zainal Abidin Baina Yasirullah (Yasirullah Artinya Rahasia Allah) yang menurut cerita turun temurun Raja Hitu Lama bahwa beliau ini tinggal di Mekah, dan melakukan perjalan rahasia mencari tempat tinggal untuk anak cucunya kelak kemudian hari, maka dengan kehendak Allah Ta’ala beliau singgah di suatu tempat yang sekarang bernama Negeri Hitu tepatnya di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a). Disana mereka temukan Keramat atau Kuburan beliau, tempatnya diatas batu karang. Tempat itu bernama Hatu Kursi atau Batu Kadera (Kira-Kira 1 Km dari Negeri Hitu). Peristiwa kedatangan beliau tidak ada yang mencatat, hanya berdasarkan cerita turun – temurun. Perdana Tanah Hitu Tiba di Tanah Hitu yaitu di Haita Huseka’a (Labuhan Huseka’a) pada tahun 1440 pada malam hari, dalam bahasa Hitu Kuno disebut Hasamete artinya hitam gelap gulita sesuai warna alam pada malam hari. Mereka tinggal disuatu tempat yang diberinama sama dengan asal Ibu mereka yaitu Tuban / Ama Tupan (Negeri Tuban) yakni Dusun Ama Tupan/Aman Tupan Sekarang Kira-kira lima ratus meter di belakang Negeri Hitu, kemudian mendirikan negerinya di Pesisir Pantai yang bernama Wapaliti di Muara Sungai Wai Paliti. Perdana Pattikawa disebut juga Perdana Tanah Hitu atau Perdana Mulai artinya orang yang pertama mendirikan negerinya di Pesisir pantai, nama negeri tersebut menjadi nama soa atau Ruma Tau yaitu Wapaliti dengan marganya Pelu. 3. Kemudian datang lagi Jamilu dari Jalolo Maluku Utara. Tiba di Tanah Hitu pada Tahun 1465 pada waktu magrib dalam bahasa Hitu Kuno disebut Kasumba Muda atau warna merah (warna bunga) sesuai dengan corak warna langit waktu magrib. Mendirikan negerinya bernama Laten, kemudian nama negeri tersebut menjadi nama marganya yaitu Lating. Jamilu disebut juga Perdana Jamilu atau Perdana Nustapi, Nustapi artinya Pendamai, karena dia dapat mendamaikan permusuhan antara Perdana Tanah Hitu dengan Perdana Totohatu, kata Nustapi asal kata dari Nusatau. 4. Sebagai Pendatang terakhir adalah Kie Patti dari Gorom (P. Seram bagian Timur) tiba di Tanah Hitu pada tahun 1468 yaitu pada waktu asar (Waktu Sholat) sore hari dalam bahasa Hitu kuno disebut Halo Pa’u artinya Kuning sesuai corak warna langit pada waktu Ashar (waktu sholat). Mendirikan negerinya bernama Olong, nama negeri tersebut menjadi marganya yaitu marga Olong. Kie Patti disebut juga Perdana Pattituban, kerena beliau pernah diutus ke Tuban untuk memastikan sistim pemerintahan disana yang akan menjadi dasar pemerintahan di Kerajaan Tanah Hitu. Oleh karena banyaknya pedagang-pegadang dari Arab, Persia, Jawa, Melayu dan Cina berdagang mencari rempah-rempah di Tanah Hitu dan banyaknya pendatang – pendatang dari Ternate, Jalilolo, Obi, Makian dan Seram ingin berdomisili di Tanah Hitu, maka atas gagasan Perdana Tanah Hitu, ke Empat Perdana itu bergabung untuk membentuk suatu organisasi politik yang kuat yaitu satu Kerajaan. Kemudian Empat Perdana itu mendirikan negeri yang letaknya kira-kira satu kilo meter dari Negeri Hitu (sekarang menjadi dusun Ama Hitu/Aman Hitu) disitulah awal berdirinya Negeri Hitu yang menjadi Pusat kegiatan kerajaan Tanah Hitu, bekasnya sampai sekarang adalah Pondasi Mesjid. Mesjid tersebut adalah mesjid pertama di Tanah Hitu, mesjid itu bernama mesjid PANGKAT TUJUH karena struktur pondasinya tujuh lapis. Setelah itu Empat Perdana mengadakan pertemuan yang di sebut TATALO GURU artinya kedudukan adat atas petunjuk UPUKATA’ALA (ALLAH TA’ALA), mereka bermusyawara untuk mengangkat pemimpin mereka, maka dipililah salah seorang anak muda yang cerdas dari keturunan Empat Perdana yaitu anak dari Pattituri adik kandung Perdana Pattikawa atau Perdana Tanah Hitu yang bernama Zainal Abidin dengan Pangkatnya Abubakar Na Sidiq sebagai Raja Kerajaan Tanah Hitu yang pertama yang bergelar Upu Latu Sitania pada tahun 1470. Latu Sitania terdiri dari dua kata yaitu Latu dan Sitania, dalam bahasa Hitu Kuno Latu artinya Raja dan Sitania adalah pembendaharaan dari kata Ile Isainyia artinya dia sendiri, maka Latu Sitania artinya Dia sendiri seorang Raja di Tanah Hitu, dalam bahasa Indonesia moderen artinya Raja Penguasa Tunggal. Sistim pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu Raja Sebagai pemegang pemerintahan tertinggi dan eksistensi Empat Perdana adalah menjalankan pemerintah dibawa perintah Raja. Sesudah terbentuk Negeri Hitu sebagai pusat Kerajaan Tanah Hitu kemudian datang lagi tiga clan Alifuru untuk bergabung, diantarannya Tomu, Hunut dan Masapal. Negeri Hitu yang mulanya hanya merupakan gabungan empat negeri, kini menjadi gabungan dari tujuh negeri. Ketujuh negeri ini terhimpun dalam satu tatanan adat atau satu Uli (Persekutuan) yang disebut Uli Halawan (Persekutuan Emas), dimana Uli Halawan merupakan tingkatan Uli yang Paling tinggi dari keenam Uli Hitu (Persekutuan Hitu). Pemimpin Ketujuh negeri dalam Uli Halawan disebut Tujuh Panggawa atau Upu Yitu. (sebutan kehormatan). Gabungan Tujuh Negeri menjadi Negeri Hitu diantaranya : 1. Negeri Soupele 2. Negeri Wapaliti 3. Negeri Laten 4. Negeri Olong 5. Negeri Tomu 6. Negeri Hunut 7. Negeri Masapal Lane atau Kapatah (Sastra bertutur) dari klen Hunut dalam bahasa Hitu yang masih hidup sampai sekarang yang menyatakan dibawah perintah Latu Hitu (Raja Hitu)  : “yami he’i lete, hei lete hunut – o “yami he’i lete, hei lete hunut – o aman-e hahu’e, aman-e hahu’e,-o aman-e hahu’e, aman-e hahu’e,-o yami le di bawah pelu-a tanah hitu-o yami le di bawah pelu-a tanah hitu-o waai-ya na silawa lete huni mua-o waai-ya na silawa lete huni mua-o suli na silai salane kutika-o suli na silai salane kutika-o awal le e jadi lete elia paunusa-o” awal le e jadi lete elia paunusa-o” Artinya : Kami dari Hunut, Kami dari Hunut Kami dari Hunut, Kami dari Hunut Negeri kami sudah kosong, Negeri kami sudah kosong, Negeri kami sudah kosong, Negeri kami sudah kosong, Kami dibawah Perintah Pengganti Kami ( Raja) Tanah Hitu Kami dibawah Perintah Pengganti Kami ( Raja) Tanah Hitu Orang Waai sudah Lari Pergi Ke Hunimua Orang Waai sudah Lari Pergi Ke Hunimua Orang Suli Sampai Sekarang Belum datang bergabung Orang Suli Sampai Sekarang Belum datang bergabung Kejadian ini terjadi pertama di gunung Elia Paunussa Kejadian ini terjadi pertama di gunung Elia Paunussa Kemudian pasca Perang Huamual banyak orang-orang dari Kerajaan Huamual meninggalkan negerinya dintaranya ada yang minta perlindungan dari Raja Hitu Latu Sitania dan menetap di Negeri Hitu yang disebut dengan LAINA MALONO LIMA / Lima Laki-laki dari Huamual beserta keluarganya, turananya masih ada sampai sekarang mejadi orang asli Negeri Hitu, yaitu marga Waliulu, Wail, Ruhunussa, Nunlehu, dan Totowalat. Kapatah Tanah Hitu dari Uli Halawan dalam bahasa Hitu  : Upu Lihalawan-e Sopo Himi - o Hitu Upu-a Hata Tomu-a Upu-a Telu Nusa Hu’ul Amana Lima Laina Malono Lima Pattiluhu Mata Ena Artinya Tuan Emas Yang di Junjung (Raja Tanah Hitu) Hitu Empat Perdana

Tomu Tiga Tuan (Tiga Pemimpin Ken Tomu)

Kampung Alifuru Lima Negeri Lima Lak-laiki/Lima Keluarga dari Hoamual (Waliulu, Wail, Ruhunussa, Nunlehu, Totowalat) Apabila ada pengumuman untuk acara adat di Uli Halawan selalu didahului dengan kapatah ini, kapatah ini manyatakan nama-nama klen yang hidup didalam naungan Uli Halawan sampai sekarang. Kekuasaan Kerajaan Tanah Hitu meliputi seluruh Jazirah Lehitu. Pada pemerintahan Raja Mateuna’ Negeri Hitu sebagai pusat kegiatan Kerjaan Tanah Hitu di Pindahkan ke Pesisir Pantai pada awal abad XV masehi kini Negeri Hitu sekarang, Raja Mateuna’ adalah Raja Kerajaan Tanah Hitu yang ke lima dan juga merupakan raja yang terakhir pada pusat kegiatan Kerajaan Tanah Hitu yang pertama sekarang menjadi dusun Ama Hitu letaknya kira-kira satu kilo meter dari negeri Hitu sekarang, beliau meninggal dunia pada 29 Juni 1634. Pada masa Raja Mateuna’ terjadi kontak pertama antara Portugis dengan Kerajaan Tanah Hitu, perlawanan fisik pada Perang Hitu- I Pada tahun 1520-1605 di pimpin oleh Tubanbessy-I, yaitu Kapitan Sepamole, dan akhirnya Portugis angkat kaki dari Tanah Hitu dan kemudian mendirikan Benteng Kota Laha di Teluk Ambon (Jazirah Lei timur) pada tahun 1575 dan mulai mengkristenkan Jazirah Lei Timur. Raja Mateuna meninggalkan dua Putra yaitu Silimual dan Hunilamu, sedangkan istrinya berasal dari Halong dan Ibunya berasal dari Negeri Soya Jazirah Leitimur (Hitu Selatan), beliau digantikan oleh Putranya yang ke dua yaitu Hunilamu mejadi Latu Sitania yang ke Enam (1637–1682). Sedangkan Putranya pertamanya Silimual ke Kerajaan Houamual (Seram Barat) berdomisili disana dan menjadi Kapitan Huamual, memimpin Perang melawan Belanda pada tahun 1625-1656 dikenal dengan Perang Hoamual dan seluruh keturunannya berdomisili disana sampai sekarang menjadi orang asli Negeri Luhu (Seram Barat) bermarga Silehu. Sesudah perginya Portugis Belanda makin mengembangkan pengaruhnya dan mendirikan Benteng pertahanan di Tanah Hitu bagian barat di pesisir pantai kaki gunung wawane, maka Raja Hunilamu memerintahkan ketiga Perdananya mendirikan negeri baru untuk berdampingan dengan Belanda (Benteng Amsterdam), agar bisa membendung pengaruh Belanda di Tanah Hitu, Negeri itu dalam bahasa Hitu bernama Hitu Helo artinya Hitu Baru, karena makin berkembangnya pangaruh dialek bahasa, akhirnya kata Helo menjadi Hila yaitu Negeri Hila sekarang dan negeri asal mereka Negeri Hitu berganti nama menjadi Negeri Hitu yang Lama. Belanda tiba di Tanah Hitu pada tahun 1599 dan kemudian mendirikan kongsi dagang bernama V.O.C pada tahun 1602 sejak itulah terjadi perlawanan antara Belanda dengan Kerjaan Tanah Hitu, karena mendirikan monopoli dagang tersebut, puncaknya terjadi Perang Hitu – II atau Perang Wawane yang dipimpin oleh Kapitan Pattiwane anaknya Perdana Jamilu dan Tubanbesi-2, yaitu Kapitan Tahalele tahun 1634 -1643 dan Kemudian perlawanan Terakhir yaitu perang Kapahaha 1643 - 1646 yang dipimpin oleh Kapitan Talukabesi (Muhammad Uwen) dan Imam Ridjali setelah Kapitan Tahalel menghilang, berakhirnya Perang Kapahaha ini Belanda dapat menguasi Jazirah Lei Hitu. Belanda melakukan perubahan besar-besaran dalam struktur pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu yaitu mengangkat Orang Kaya menjadi raja dari setiap Uli sebagai raja tandingan dari Kerajaan Tanah Hitu. Hitu yang lama sebagai pusat kegiatan pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu di bagi menjadi dua administrasi yaitu Hitulama dengan Hitumessing dengan politik pecah belah inilah (devidet et impera) Belanda benar-benar menghancurkan pemerintah Kerajaan Tanah Hitu sampai akar-akarnya dan berhasil mengkristenkan Maluku Tengah pada umumnya. Ketiga Perdana yang diperintahkan mendirikan Negeri Hila adalah Perdana Totohatu, Nustapi dan Pattituban, sedangkan Perdana Tanahitumessing tetap menetap di Negeri Hitu yang Lama. Perdana Tanahitumessing adalah Perdana Tanah Hitu yang menggatikan Perdana Pattikawa sebagai Perdana Tanah Hitu yang pertama, karena Perdana Pattikawa tidak mempunyai keturunan, maka dingkatlah seorang dari Keluarga Wapaliti yaitu Sopamole atau Tubanbessi-I sebagai pengganti beliau dengan gelar Perdana Tanahitumessing artinya Perdana Tanah Hitu yang baru (menurut Rumphius). Pada masa pemerintahan Raja Hunilamu terjadi perubahan nama gelar Perdana digantikan dengan Orang Kaya, artinya Struktur Pemerintahan Kerajaan Tanah Hitu awalnya Pemerintahan dilaksanakan oleh Empat Perdana dibawah Perintah Raja Hitu/Upu Latu Sitania, diganti dengan sebutan Orang Kaya. Nustapi, menjadi Orang Kaya Raja Hitulama yang Pertama (kini negeri Hitu) tetapi tidak lama dalam masa jabatannya, beliaupun meninggal dunia sebagai penggantinya, maka Raja Hunilamu mengakat JAMBIN HURASAN Orang Kaya Ternate, karena Ibunya orang Ternate dan dibesarkan disana, menjadi Orang Kaya Raja Hitulama dalam pengangkatan JAMBIN HURASAN ini di saksikan oleh seluruh utusan dari Uli Hitu (Persekutuan Hitu) yang dikenal dengan PERJANJIAN HITU BARAT naskahnya Perjanjiannya masih ada sampai sekarang yang ditulis dalam Arab Melayu. Karena berasal dari satu masyarakat maka Hitu yang Lama (kini Negeri Hitu) dan Hila mempunyai satu Uli yakni Uli Halawan. Negeri-negeri di dalam kekuasaan Kerajaan Tanah Hitu mempunyai suatu persekutuan yang di sebut persekutuan Hitu atau Uli Hitu. Dalam Struktur Pemerintahan Raja Hunilamu, ketujuh Uli itu di perintah langsung oleh Orang Kaya. Persekutuan Hitu (Uli Hitu) terdiri tujuh Uli. Negeri – Negeri di Jazirah Lei Hitu yang tidak termasuk di dalam Uli Hitu berarti negeri-negeri tersebut adalah negeri – negeri baru atau negeri-negeri yang belum ada pada Jaman Kekuasaan Kerjaan Tanah Hitu (1470-1682). Ketujuh Uli diantaranya : 1. Uli Halawan terdiri dari dua negeri yaitu a. Negeri Hitu b. Negeri Hila Central Ulinya di Negeri Hitu, 2. Uli Solemata terdiri dari tiga negeri yaitu  : a. Negeri Tial b. Negeri Suli c. Negeri Tulehu Central Ulinya di Negeri Tulehu 3. Uli Sailesi terdiri dari empat negeri yaitu : a. Negeri Mamala b. Negeri Morela c. Negeri Liang d. Negeri Waai Central Ulinya di Negeri Mamala 4. Uli Hatu Nuku terdiri dari satu negeri yaitu  : a. Negeri Kaitetu Central Ulinya di Kaitetu

5. Uli Lisawane terdiri dari satu negeri yaitu  : a. Negeri Wakal Central Ulinya di Wakal 6. Uli Yala terdiri dari tiga negeri yaitu  : a. Negeri Seith b. Negeri Ureng c. Negeri Allang Central Ulinya di Seith 7. Uli Lau Hena Helu terdiri dari satu negeri yaitu : a. Negeri Lima Central Ulinya di Negeri Lima Keterangan : 1. Peta Hitu dan Huamual Abad XV 2. Photo masyarakat Alifuru, sumber photo cover buku midden molukken 1900-1942 oleh P. Jobse 3. Gambar Mesjid Pangkat Tujuh, Mesjid Hitu Abad ke XIV berlokasi di Negeri Hitu Pertama (Dusun Ama Hitu) Kira-kira 1 Km. dari Negeri Hitu Sekarang; sumber gambar Hikayat Tanah Hitu Karya Imam Ridjali. 4. Photo Mesjid Benua, Mesjid Hitu Abad XV berlokasi di Mesjid Hitu Sekarang, Struktur bangunannya di rubah menjadi moderen tahun 1970 sumber : Buku Structure end Social Van Hitu oleh J. Manusama Penulis ;

Halim Pelu