Jazz Goes To Campus (JGTC) adalah rangkaian acara tahunan bertema musik jazz—dengan puncak acara festival musik jazz di FEUI—yang diprakarsai oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi UI. Kegiatan ini berlangsung sejak tahun 1978, satu tahun setelah dimulainya festival jazz tertua dan terbesar di dunia, North Sea Jazz Festival[1], dan diklaim sebagai festival jazz tertua di Indonesia.

poster JGTC ke-29

Sejarah

Ide awal JGTC dicetuskan oleh Candra Darusman pada tahun 1970-an, yang ketika itu masih menjadi mahasiswa di FE. Kebetulan musik jazz saat itu sedang diminati oleh masyarakat dan mahasiswa.[2] Pada awalnya, JGTC dilangsungkan di sebuah Taman 02 Kampus FEUI Salemba, Jakarta, dengan fasilitas seadanya.[3] Namun saat ini, JGTC diadakan di pelataran parkir kampus FEUI Depok—seiring dengan kepindahan FE ke sana—dengan dua panggung seluas 12x9x10m dan dukungan listrik 200.000 volt.

Sejak JGTC ke-32 yang diadakan tahun 2009, panitia menyelenggarakan roadshow sebagai bagian dari rangkaian acara. Roadshow menampilkan artis-artis jazz dan diselenggarakan di luar kampus UI, Depok.[4]

Selama bertahun-tahun, JGTC telah berkembang menjadi salah satu festival kampus yang paling dinanti dengan jumlah pengunjung di tahun 2006 lalu mencapai 20.000 orang. Bintang-bintang jazz yang pernah tampil dalam acara ini antara lain Bubi Chen, Bill Saragih, Benny Likumahuwa, Ireng Maulana, Jack Lesmana, Indra Lesmana Reborn, Riza Arshad, Tohpati, Syaharani, Elfa Secioria, Gilang Ramadhan, Bob James, Dave Koz, Ron Reeves, Coco York, Cabaleros, Claire Martin Quintet, Tompi, dan Andien.[5]

Kritik

Sebuah kritik mengatakan bahwa JGTC sulit berkembang menjadi sebuah festival bertaraf internasional karena tidak dikelola oleh panitia profesional. Panitia JGTC dianggap sebagai "panitia instan" karena selalu berganti setiap tahunnya. Hal ini menyebabkan JGTC seolah hanya menjadi ajang belajar atau mengenal bagaimana mengelola sebuah festival atau pertunjukan.[6] Menanggapi pendapat itu, tokoh jazz Indonesia Idang Rasjidi memberikan komentarnya, "JGTC bukan even profesional untuk mencari keuntungan tetapi merupakan peran psikologis dari mahasiswa yang ternyata memberi warna pada musik jazz di Indonesia. Malah bisa disebut tonggak pergelaran jazz. Yang dilihat bukan peningkatan, tetapi stamina. JGTC itu kerjaan seni bukan masalah yang ini lebih bagus dari angkatan sebelumnya."[7]

Kritik lainnya menyebutkan bahwa tujuan JGTC, yaitu melestarikan dan mensosialisasikan musik jazz, tidak tercapai. Banyak penonton hanya datang sebagai sebuah gengsi. Mengenal jazz sesaat, setelah itu hilang. Pada festival selanjutnya begitu terus dan penonton tidak memiliki pemahaman atas jazz.[8] Ada pula yang menyebutkan bahwa JGTC dijadikan ajang pergaulan anak muda. Banyak penonton yang memilih untuk berbincang daripada menikmati komposisi jazz yang memiliki tingkat apresiasi yang relatif tinggi.[9]

Referensi

Pranala luar