Suku Dayak Kanayatn
Dayak Kanayatn adalah salah satu dari sekian ratus sub suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, tepatnya di daerah kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak, Serta Kabupaten Bengkayang.
Dayak Kanayatn | |
---|---|
Seorang penari berpakaian Dayak Kanayatn menarikan tarian perarakan pada acara pemberkatan gereja di Kabupaten Landak | |
Wilayah Penyebaran | Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Pontianak& Kabupaten Kubu Raya |
Bahasa Asli | Ahe/Nana', Damea/Jare |
Agama | Protestan, Katolik & Animisme |
Kelompok etnis yang berhubungan | Orang Dayak Bukit, Dayak Selakau/Salako |
Dayak Kanayatn dikelompokan ke dalam golongan Land Dayak-Klemantan oleh H.J. Mallinckrodt (1928), dan W.Stohr (1959). Namun Menurut C.H. Duman, Dayak Kanayatn adalah bagian dari sub-suku Ot Danum-Maanyan-Ngaju. Akan tetapi penelitian selanjutnya menyatakan bahwa pendapat C.H. Duman adalah salah karena jika dilihat dari wilayah, bahasa, serta hukum adat, Dayak Kanayatn tidak menunjukan adanya hubungan dengan kelompok Ot-Danum-Maanyan-Ngaju.
Pakaian Tradisional suku Dayak Kanayatn terbuat dari kulit Tarab atau Kapuak/Kapoa'. Bajunya berbentuk Rompi yang disebut Baju Marote atau baju uncit. Cawatnya terbuat dari Kain tenun atau kulit Kayu yang disebut Kapoa'. Serta mahkota atau ikat kepala yang dalam bahasa ahe disebut Tangkulas. Tangkulas ini biasanya dihiasi dengan bulu Ruai/Kuau Raja, serta bulu Enggang. Terkadang, jika bulu burung Ruai tidak ada, bisa diganti dengan Anjuang Merah (Hanjuang).
Upacara adat yang biasa diadakan oleh suku ini antara lain Naik Dango, Muakng Rate, Notokng, Gawai Dayak, dan lain-lain.
Sistem Religi
Religi asli suku Dayak Kanayatn tidak terlepas dari adat istiadat mereka. Bahkan dapat dikatakan adat menegaskan identitas religius mereka. Dalam praktik sehari-hari, orang dayak kanayatn tidak pernah menyebut agama sebagai normativitas mereka, melainkan adat. Sistem religi ini bukanlah sistem hindu Kahuringan seperti yang dikenal oleh orang-orang pada umumnya.
Orang Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah Jubata. Jubata inilah yang dikatakan menurunkan adat kepada nenek moyang Dayak Kanayatn yang berlokasi di bukit bawakng ( sekarang masuk wilayah kabupaten Bengkayang ). Dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Jubata, mereka memiliki tempat ibadah yang disebut panyugu atau padagi. Selain itu diperlukan juga seorang imam panyangahatn yang menjadi seorang penghubung, antara manusia dengan Tuhan ( Jubata ).
Sekarang ini banyak orang Dayak Kanayatn yang menganut agama Kristen dan segelintir memeluk Islam. Kendati sudah memeluk agama, tidak bisa dikatakan bahwa orang Dayak Kanayatn meninggalkan adatnya. Hal menarik ialah jika seorang Dayak Kanayan memeluk agama Islam, ia tidak lagi disebut Dayak, melainkan Melayu atau orang Laut
Bahasa
Dayak Kanayatn memakai bahasa ahe/nana' serta damea/jare dan yang serumpun. Sebenarnya secara isologis (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata yang serumpun) sangat sulit merinci khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai sarat dengan berbagai dialek dan juga logat pengucapan. Beberapa contohnya ialah : orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti (Landak) yang memakai bahasa ahe/nana' terbagi lagi ke dalam bahasa behe, padakng bekambai, dan bahasa moro. Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke (Landak) terbagi dalam bahasa satolo-ngelampa', songga batukng-ngalampa' dan angkabakng-ngabukit. selain itu percampuran dialek dan logat menyebabkan percampuran bahasa menjadi bahasa baru.
Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak mengerti akan bahasa yang dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat ini, banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan kemudian "di-Dayak-kan". Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia : seperti ,bahasa ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh generasi muda mudah dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia atau melayu.
Lembaga Adat
Suku Dayak merupakan bagian dari masyarakat adat. Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul keturunan diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budayanya diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah teritorial yang dusebut binua. Binua merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa kampung (dulunya radakng/ bantang). Masing masing binua punya otonominya sendiri, sehingga komunitas binua yang satu tidak dapat mengintervensi hukum adat di binua lain.
Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong(kepala desa). timanggong memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah (pengurus adat) dan pangaraga (pengacara adat). Ketiga pilar inilah yang menjadi lembaga adat Dayak Kanayatn
Sistem Kekerabatan
Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu. Hubungan kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan ini penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada perkara perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan.
Lagu Daerah Dayak Kanayatn
Pranala luar
- Dayak Kanayatn
- http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2546/nyangahatan-upacara-musim-tanam-dan-panen-suku-dayak-kanayatn
- http://banuadayak.blogspot.com/2010/08/upacara-dan-kesenian-dalam-masyarakat.html
- http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Dayak_Kanayatn
- http://pendakigunung.wordpress.com/2009/03/29/adat-sabuah-siampahar-kab-landak-kalbar/
- http://www.gatra.com/nusantara/kalimantan/3817-rumah-betang-rumah-kehidupan-suku-dayak-.html
- http://bilayuk.blogspot.com/2008/05/dayak-kanayatn-di-persimpangan-jalan.html
- http://malahiacorner.blogspot.com/
- http://catatankoas.blogspot.com/2012/04/bahasa-ahe-boh.html
Referensi
- Dayak Kanayatn di situs Burung-keto.blogspot.com
- Thesis : Tradisi Pantak Suku Dayak Kanayatn, Fidelis Sajimin, STT Pastor Bonus Pontianak, 2006.
- Dunselman Donatus, Bijdrage Tot Kennis van Taal En Adat der Kendajan-Dajaks van West Borneo, 1949.
- Kedaulatan Masyarakat Adat Yang Teraniaya, Pontianak, Lembaga Bela Banua Talino, 2003.