Epoché
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP75Jajang (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 11 April ), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 1 April 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh 55hans (Kontrib • Log) 3934 hari 507 menit lalu. |
Epoché adalah istilah dalam Fenomenologi Agama yang digunakan untuk mengatakan objektivitas dalam analisis sebuah fenomena keagamaan dengan cara menunda penilaian normatif agama dan membiarkan fakta yang berbicara apa adanya.[1] Secara etimologi, epoché berasal dari bahasa Yunani (ἐποχή dibaca epoché) yang berarti waktu, dalam konteks ini diartikan sebagai suspension of judgement atau penangguhan keputusan dalam arti bahasa Indonesia.[2]
Sejarah
Meskipun berasal dari bahasa Yunani yang klasik, namun istilah epoché mulai sering digunakan dalam Fenomenologi Agama pada abad ke-19 yang disebut dengan Abad Pencerahan sebagai respon para ilmuwan dan filsuf terhadap subjektivitas umat beragama waktu itu.[3] Istilah epoché pertama kali digunakan oleh Edmund Husserl, seorang filsuf Jerman. [3] Namun menurut Kockelmas, istilah epoché ini telah digunakan pada tahun 1765 dalam tulisan-tulisan Kant. [3]
Karakteristik
Epoché memiliki sifat netral dalam penelitian keagamaan, terhindar dari penilaian yang dikonsepkan sebelumnya oleh seorang pemeluk agama yang meneliti fenomena keagamaan.[4] Sehingga seorang fenomenolog dituntut untuk mendeskripsikan dan menjelaskan secara empiris suatu fenomena keagamaan, tanpa sudut pandang subjektif fenomenolog sebagai pemeluk agama.[4] Epoché berada pada wilayah filsafat sekaligus teologi.[4] Namun fakta bahwa manusia religius memberikan penilaian-penilaian terhadap agama dapat mempengaruhi tindakan-tindakan dan tingkah lakunya, sehingga ketika ungkapan keagamaan tersebut muncul maka akan memasuki wilayah yang faktual. Artinya seorang fenomenolog tetap perlu mempertanyakan hakikat sebenarnya sebuah fenomena keagamaan melalui prinsip epoché tanpa harus terlibat untuk merumuskan baik-buruknya religius atau moral suatu kasus.[4]
Rujukan
- ^ Editor: Burhanuddin Daya, H. L. Beck. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda: Kumpul Makalah Seminar. Jakarta: INIS. 1992. Hlm 54.
- ^ http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3Atext%3A1999.04.0057%3Aentry%3De%29poxh%2F
- ^ a b c Rusli. Pendekatan Fenomenologi di dalam Studi Agama. Surabaya: UIN Sunan Ampel. 2008. Hlm 3.
- ^ a b c d Mariasusai Dhavamony. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. 1995. Hlm 34.