Danyang
Danyang (Jawa) adalah roh halus tertinggi yang tinggal di gunung, sumber mata air, desa, mata angin, atau bukit.[1] [2] Danyang dipercaya (oleh masyarakat Jawa khususnya) menetap pada suatu tempat yang disebut punden. [2] Para danyang diyakini menerima permohonan orang yang meminta pertolongan.[2] Imbalan yang mesti diberikan kepada danyang adalah slametan.[2] Danyang merupakan [roh halus]] yang tidak mengganggu ataupun menyakiti, melainkan melindungi.[2] Danyang sebenarnya roh para tokoh pendahulu atau leluhur sebuah desa yang sudah meninggal.[2] Para leluhur ini adalah pendiri sebuah desa atau orang pertama yang membuka lahan suatu desa.[2]
Sejarah Danyang
Danyang desa, ketika masih hidup sebagai manusia, datang ke sebuah daerah yang masih berupa hutan belantara, lalu membersihkan daerah itu untuk kemudian mendirikan sebuah desa. [3] Danyang tersebut kemudian yang berperan menjadi lurah atau pemimpin desa tersebut.[3] Dia berhak untuk membagikan tanah kepada pengikut atau keluarganya.[3] Ketika meninggal danyang biasanya dimakamkan di dekat pusat desa yang kemudian menjadi punden.[3] Danyang akan selalu memperhatikan kesejahteraan desanya dan melindunginya walaupun ia sudah mati.[3] Akan tetapi, tidak semua desa mempunyai makam khusus untuk para Danyangnya.[3]
Danyang dan Pulung
Roh para danyang masih diyakini secara magis mengawasi dan menentukan siapa yang akan menjadi kepala desa.[3]. Roh danyang akan menjelma menjadi pulung.[3] Beberapa orang bisa melihat pulung itu turun kepada calon yang terpilih pada malam sebelum pemilihan.[3] Pulung berbentuk seperti bulan yang bersinar dan bergerak menuju rumah calon kepala desa yang dikehendaki danyang.[3] Hanya ada satu pulung untuk setiap desa, maka ketika seorang kepala desa meninggal atau mundur, pulung akan meninggalkannya dan mencari lurah baru.[3] Para calon kepada desa biasanya melakukan banyak cara untuk menarik pulung itu, salah satunya dengan slametan.[3]
Kumara
Kumara adalah daerah yang berada di bawah kekuasaan danyang desa.[3] Kumara atau kemara artinya suara yang muncul dari kekosongan.[3] Misalnya ketika seorang dukun ternama di sebuah desa meninggal, maka akan terdengar suara yang muncul tiba-tiba tanpa diketahui asalnya.[3] Maka kumara adalah seluruh ruang angkasa desa, tidak hanya yang berada di atas permukaan tanah.[3]
Anak Danyang
Anak danyang merupakan roh halus yang membantu danyang untuk yang mengawasi dan melindungi desa.[3] Anak-anak danyang tinggal masing-masing di keempat sudut atau pojok desa.[3]
Danyang dan Animisme Jawa
Animisme menjadi dasar kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat jawa.[4] Kepercayaan ini meliputi keyakinan tentang keberadaan makhluk halus dan roh leluhur yang mendiami tempat-tempat tertentu.[4] Walaupun orang Jawa telah melewati beberapa periode perkembangan keagaaman, Animisme masih hidup dalam kepercayaan orang Jawa sampai sekarang.[4] Animisme Jawa yang mempercayai keberadaan roh-roh di tempat-tempat tertentu mengelompokkan makhluk halus menjadi tiga jenis, yaitu: Danyang, lelembut, dan roh leluhur atau yang sudah meninggal.[4]
Danyang dan Upacara Adat Jawa
Upacara adat Jawa yang berupa ritual untuk menghormati Danyang sebagai pelindung desa di adakan pada bulan Sura dan Ruwah. [5] Tujuan upaca ini adalah membangun hubungan dengan dunia roh, terutama roh Danyang desa.[5] Upacara-upacara pada bulan sura ini disebut Suran.[5] Selanjutnya pada bulan Ruwah (sering disebut masa sadranan) orang-orang desa akan membersihkan makam para leluhur dan memberi sesaji.[5] Sadranan mengharuskan keluarga-keluarga untuk mengunjungi makam leluhur mereka.[5] Akan tetapi, yang utama adalah memberi sesaji kepada Danyang sebagai pelindung desa atau juga makam tokoh-tokoh legendaris yang dianggap sakti.[5]
Rujukan
- ^ Suwardi Endraswara (2005). Buku Pinter Budaya Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang. hlm. 80. ISBN 979-98385-8-4.
- ^ a b c d e f g Clifford Geertz (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. hlm. 32.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r Clifford Geertz (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. hlm. 33.
- ^ a b c d Suwardi Endraswara (2005). Buku Pinter Budaya Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang. hlm. 77. ISBN 979-98385-8-4.
- ^ a b c d e f John Pemberton (2003). Jawa. Yogyakarta: MataBangsa. hlm. 331. ISBN 979-9471-10-9.