Teologi kontekstual
Artikel ini merupakan artikel yang dikerjakan oleh Peserta Kompetisi Menulis Bebaskan Pengetahuan 2014 yakni BP25Vanya (bicara). Untuk sementara waktu (hingga 25 Mei 2014), guna menghindari konflik penyuntingan, dimohon jangan melakukan penyuntingan selama pesan ini ditampilkan selain oleh Peserta dan Panitia. Peserta kompetisi harap menghapus tag ini jika artikel telah selesai ditulis atau dapat dihapus siapa saja jika kompetisi telah berakhir. Tag ini diberikan pada 1 April 2014. Halaman ini terakhir disunting oleh BP25Vanya (Kontrib • Log) 3879 hari 1232 menit lalu. |
Teologi kontekstual adalah cabang ilmu teologi Kristen yang menelaah bagaimana ajaran Kristen dapat menjadi relevan di konteks-konteks yang berbeda. Teologi ini merupakan bagian dari teologi pembebasan.[1] Beberapa contoh teolog yang mengangkat isu teologi kontekstual adalah Kosuke Koyama, C. S. Song, dan Gustavo Gutierrez.[2]
Sejarah Singkat
Istilah kontekstualisasi telah digunakan secara populer dalam dunia teologi pada akhir abad ke-20.[3] Kata ini ditambahkan pada perbendaharaan kata dalam bidang misi dan teologi sejak diperkenalkan oleh Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972.[4] Ada kelompok yang mempergunakan dan mempertahankan penggunaan istilah kontekstualisasi.[3] Namun, ada pula yang menggunakan istilah lain, seperti teologi lokal, teologi inkulturasi, dan teologi pribumi.[3]
Konteks pembicaraan tentang kontekstualisasi dalam diskusi TEF adalah pendidikan teologi di negara-negara Dunia Ketiga.[4] Namun, para teolog menyadari bahwa ide dari kontekstualisasi itu sendiri sebetulnya sudah ada jauh sebelum TEF bersidang, yaitu terdapat dalam Alkitab.[4] Contohnya adalah inkarnasi Yesus dan pendekatan Paulus pada waktu ia mengkomunikasikan Injil kepada orang bukan Yahudi.[4] Oleh karena itu, para teolog beranggapan bahwa kontekstualisasi hanya merupakan istilah baru dari istilah-istilah yang telah ada dan dipakai sebelumnya.[4] Istilah-istilah itu adalah pribumi, inkulturasi, akomodasi dan adaptasi.[4]
Model-model Pendekatan Kontekstual
Dalam penerapannya, teologi kontekstual memiliki beberapa model pendekatan.[3] Model-model pendekatan ini memberikan gambaran umum tentang usaha berteologi dalam suatu konteks.[3]
Model Akomodasi
Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli.[3] Sikap ini dinyatakan dalam bentuk kelakuan, perbuatan, dan perkataan, baik dalam ranah ilmiah maupun praktis.[3] Objek akomodasi adalah kehidupan busaya yang menyeluruh dari suatu bangsa, baik dari segi fisik, sosial, dan ideal. [3] Dalam pendekatan ini, terjadi sebuah pengambilalihan nilai-nilai budaya dan dipadukan dengan nilai-nilai Kristiani.[3] Dengan demikian, terdapat pandangan positif bagi Alkitab.[3] Selama ini, Alkitab dipandang menghancurkan nilai-nilai dalam suatu budaya.[3]
Model Adaptasi
Model ini berbeda dengan model akomodasi.[3] Model ini tidak mengasimilasikan unsur budaya dalam nilai-nilai Kristiani. Model ini menggunakan bentuk atau pemahaman yang ada dalam suatu budaya untuk menjelaskan suatu pemahaman dalam Kekristenan.[3] Tujuan dari model ini adalah untuk mengekspresikan dan menerjemahkan Alkitab dalam istilah setempat (indigenous terms).[3] Hal ini dilakukan agar istilah Kristiani tersenut dapat dipahami oleh suatu masyarakat dengan konteks yang berbeda.[3]
Model Prossesio
Prossesio adalah sikap yang menanggapi budaya secara negatif.[3] Proses prossesio terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi, dan rededikasi.[3] Kelompok yang menganut model ini memahami bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang telah dirusak oleh dosa.[3] Tidak ada kebaikan di dalam kebudayaan.[3] Model ini juga memahami bahwa hanya Kekristenan dan Alkitab yang kudus dan tidak berdosa.[3]
Model Transformasi
Model ini berakar pada pemahaman Richard Niebuhr mengenai Allah dan kebudayaan. Allah dipahami berada di atas kebudayaan.[3] Melalui kebudayaan, Allah berinteraksi dengan manusia.[3] Bila seseorang dibaharui oleh Allah, maka kebudayaan tersebut juga ikut dibaharui.[3]
Model Dialek
Model ini menekankan interkasi yang dinamis antara teks dan konteks. Konsep ini didukung oleh pemahaman yang kuat bahwa kebudayaan juga membawa perubahan.[3] Tidak hanya Kekristenan yang membawa perubahan bagi konteks, tetapi konteks juga memberi perubahan bagi Kekristenan.[3] Contohnya dalam teologi, kebudayaan memberi warna baru bagi teologi dalam usahanya menghadirkan Kekristenan di tengah konteks yang ada.[3]
Tokoh
Matteo Ricci
Matteo Ricci adalah pastur dari Ordo Yesuit di Italia.[5] Ia diutus menjadi misionaris di Cina selama Dinasti Ming.[5] Ia memperkenalkan budaya Barat ke Cina.[5] Ia juga salah satu misionaris yang menggunakan model pendekatan akomodasi.[5]
Gustavo Gutierrez
Gustavo Gutierrez adalah seorang imam Katolik.[6] Ia juga seorang teolog.[6] Ia lebih dikenal sebagai teolog pembebasan.[6] Ia mencetuskan ide teologi pembebasan.[6] Ide itu berakar pada konteks saat itu.[6] Ia melihat bahwa gereja tidak memihak kepada yang miskin.[6] Gereja hanya mementingkan dirinya sendiri.[6]
C. S. Song
Choang Seng Song atau yang dikenal sebagai C. S. Song adalah salah satu teolog kontekstual di Asia.[7] Ia memahami bahwa ilmu teologi yang selama ini diajarkan dan dikembangkan oleh gereja-gereja di Asia tidak menyentuh budaya lokal.[7] Dalam pandangannya, teologi semestinya menyentuh konteks.[7]
Kosuke Koyama
Kosuke Koyama adalah salah satu teolog yang mengembangkan teologi kontekstual di Jepang.[8] Ia tidak hanya seorang teolog, tetapi juga seorang misionaris.[8] Salah satu teologi kontekstual yang ia kembangkan adalah teologi kerbau.[8]
Aloysius Pieris
Aloysius Pieris adalah seorang teolog dari Sri Lanka.[9] Ia juga ikut mengembangkan teologi kontekstual di negara tersebut.[9] Salah satu bentuk teologinya adalah teologi kemiskinan dan kaitannya dengan pluralisme.[9]
Hope S. Antone
Hope S. Antone adalah salah satu teolog dari Filipina.[10] Ia mengembangkan teologi kontekstual dengan pendekatan pendidikan Kristiani.[10] Ia memahami bahwa Filipina memiliki teologinya sendiri dari budaya yang ada di negara tersebut.[10] Hal ini dicetuskan karena adanya dominasi teologi Barat yang dianggap mengabaikan konteks masyarakat Filipina.[10]
Tokoh yang Mengembangkan Teologi Kontekstual di Indonesia
Andreas A. Yewangoe
Referensi
- ^ (Indonesia)Drewes, B. F. dan Julianus Mojau. 2007. Apa itu Teologi: Pengantar ke dalam Ilmu Teologi.Jakarta: BPK Gunung Mulia.
- ^ (Inggris)Douglas J. Elwood. 2006. Teologi Kristen Asia: tema-tema yang tampil ke permukaan.Jakarta: BPK Gunung Mulia.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z (Indonesia)Y. Tomatala. 1993. Teologi Kontekstual: Suatu Pengantar.hal 2. Malang: Gandum Mas.
- ^ a b c d e f (Inggris)Theological Education Fund Staff. 1972. Ministry in Context: The Third Mandate Programme of The Theological Education Fund.England: Theological Education Fund.
- ^ a b c d (Inggris)Sunquist, Scott W. 2001. A Dictionary of Asian Christianity.Michigan: William B. Eerdman Publishing Co.
- ^ a b c d e f g (Indonesia)Lane, Tony. 2007. Runtut Pijar.Jakarta: BPK Gunung Mulia
- ^ a b c (Inggris)Song, C. S. 1982. The Compassionate God.New York: Orbis Books
- ^ a b c (Inggris)Koyama, Kosuke. 2009. Water Buffalo Theology.New York: Orbis Books
- ^ a b c (Inggris)England, John C. 2009. Asian Christian Theologies: A Research Guide to Authors, Movements, Sources. Volume 1: Asia Region, South Asia, Austral Asia.New Delhi: ISPCK
- ^ a b c d (Indonesia)Antone, Hope S. 2003. Pendidikan Kristiani Kontekstual: Mempertimbangkan Realitas Kemajemukan dalam Pendidikan Agama.Jakarta: BPK Gunung Mulia