Dewa Ruci

dewa ruci adalah nama seorang dewa kerdil yang di jumpai oleh bima atau werkudara dalam perjalanan mencari air kehidupan

Dewa Ruci adalah sebuah ajaran filsafat moral orang Jawa yang dituangkan dalam sebuah kisah wayang yang menjadi bagian dari epos Mahabarata dengan aktor utama Bima yang bertemu dengan seorang dewa kerdil bernama Dewa Ruci.[1][2] Kisah Dewa Ruci ini banyak disunting oleh penulis buku-buku etika Jawa, misalnya Frans Magnis Suseno [3] , Hazim Amir[4], Ignas G. Saksana dan Djoko Dwijanto[5] Kisah Dewa Ruci menggambarkan sebuah kepatuhan seorang murid kepada guru, kemandirian bertindak, dan perjuangan keras menemukan jati diri. Pengenalan jati diri akan membawa seseorang mengenal asal-usul diri sebagai ciptaan dari Tuhan.[3] Pengenalan akan Tuhan itu menimbulkan hasrat untuk bertindak selaras dengan kehendak Tuhan, bahkan menyatu dengan Tuhan atau sering disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba Gusti).[3][1] Walaupun bukan bagian asli dari kisah utama dalam wayang, cerita ini sangat populer dalam masyarakat Jawa dan dipentaskan oleh kebanyakan dhalang di Jawa.[1]

Berkas:Dewa ruci.jpg
Isi Buku Serat Dewa Ruci berbahasa Jawa dan juga berhuruf Jawa tulisan Mas Ngabehi Mangunwijaya dan diterbitkan oleh Tan Khoen Swie Kediri tahun 1922

Ajaran dan Bukti sejarah Serat Dewa Ruci

Menurut beberapa tulisan, salah satunya dikarang oleh Yasadipura I (konon adalah guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, nuansa dari kisah Dewa Ruci sarat dengan ajaran kebatinan masyarakat Jawa, yakni berisi pencarian jati diri seorang manusia.[1] Kisah Dewa Ruci yang menjadi rujukan para dhalang dan para pencerita masa kini merujuk pada tulisan Yasadipura I yang hidup pada masa Pakubuwoni III (1749-1788) dan Pakubuwono IV (1788-1820). Yasadipura I sendiri dijuluki sebagai pujangga “penutup” Kraton Surakarta. [1] Beberapa naskah transformasi Dewa Ruci dalam bentuk cetakan antara lain:

  1. Serat Dewa Ruci cetakan pertama yang diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramapawira tahun 1870, dicetak oleh Percetakan Van Dorp Semarang dengan tulisan aksara Jawa.[1]
  2. Serat Dewa Ruci berbahasa Jawa dan juga berhuruf Jawa tulisan Mas Ngabehi Mangunwijaya dan diterbitkan oleh Tan Khoen Swie Kediri tahun 1922.[1]
  3. Cerita Dewa Roetji yang dimuat di majalan Belanda Djawa pada tahun 1940, dengan contributor R.M. Poerbatjaraka.[1]
  4. Serat Dewa Ruci Kidung dari Bentuk Kakawin yang diterbitkan oleh Penerbit Dahara Prize Semarang tahun 1991, berhuruf Latin, berbahasa Jawa, dan ada terjemahan bahasa Indonesia secara tekstual. Dalam versi tersebut hanya disebutkan penulisnya adalah pujangga Surakarta.[1]

Kisah Dewa Ruci

Dikisahkan Bima memiliki seorang guru bernama Resi Drona. Kemudian Drona memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan (tirta perwita) yang akan membuat Bima mencapai taraf tertinggi dalam olah rasa.[1] Perintah ini sesungguhnya hanyalah siasat untuk melenyapkan Bima supaya tidak turut berperang dalam Perang Baratayuda yang kala itu sedang dipersiapkan. Bima yang memiliki jiwa seorang murid tanpa bertanya langsung menjalankan titah sang guru. Ia berangkat menuju tempat-tempat berbahaya yang sudah ditentukan Drona. Bukannya mati, justru Bima mendapatkan berbagai kesaktian dari betara-betara yang ia temuai. Hingga akhirnya di Samudra Selatan ia bertemu dengan seorang Dewa kerdil bernama Dewa Ruci yang wajahnya menyerupai Bima sendiri. Besar dari Dewa Ruci tidak lebih besar dibanding telapak tangan Bima.[6] Dewa Ruci memerintahkan Bima untuk memasuki telinga Dewa Ruci, sebuah perintah yang mustahil.[6] Namun, dengan sebuah keajaiban, Bima berhasil masuk ke telinga Dewa kerdil itu dan di dalamnya Bima mendapati dunia yang maha luas.[6] Dewa Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak ada di mana-mana, percuma mencari air kehidupan di segala tempat di dunia, sebab air kehidupan berada di dalam diri manusia itu sendiri.

Bima memahami wejangan Dewa Ruci yang sesungguhnya adalah representasi dirinya sendiri, yang muncul dan memberi pengajaran kepadanya karena ia telah mematuhi segenap perintah gurunya (Drona) dengan sepenuh hati.


Makna Religi Kisah Dewa Ruci

Kisah Dewa Ruci ingin menyampaikan ihwal hasrat manusia yang terus dan terus ingin melacak keberadaan Yang Ilahi, dengan nalarnya ia melakukan penjelajahan.[6] Manusia disebut sebagai jagad cilik atau mikrokosmos atau dunia kecil, sedangkan semesta raya disebut sebagai makrokosmos atau jagad gede yang merupakan manifestasi dari Tuhan sendiri.[6] Dalam penjelajahan itu, sebelum orang melangkah lebih jauh ke dalam dirinya, ia niscaya melakukan pendefinisian diri.[6] Sayangnya pendefinisian ini bukanlah tindakan yang mudah dilakukan. Karena, tiap kali pendefinisian itu, pada akhirnya justru mempersempit hakikat diri yang sesungguhnya.[6] Pendefinisian selalu selalu saja hanya menghadirkan sepotong dari kenyataan yang kompleks.[6]

Jagad mikrikosmos sama luasnya dengan jagad makrokosmos.[6] Di sana, rahasia ke-Tuhanannya disembunyikan, "Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya."[6] Keyakinan ini mengendap dalam keyakinan orang-orang Jawa pada masa silam.[6]


Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j (Indonesia)Yudhi A.W., Serat Dewa Ruci, Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2012, 11
  2. ^ (Indonesia)Mahendra Sucipta., Ensiklopedia Wayang dan Silsilahnya, Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2010, 125
  3. ^ a b c (Indonesia)Frans Magnis Suseno., Wayang dan Panggilan Manusia., Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991, Hal.48-51
  4. ^ (Indonesia)Hazim Amir., Nilai-nilai Etis dalam Wayang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994, Hal. 163
  5. ^ (Indonesia)Ignas G. Saksana dan Djoko Dwijanto., Terbelahnya Kepribadian Orang Jawa, Yogyakarta: Keluarga Besar Marhaenisme DIY, 2011, hal. 136-137
  6. ^ a b c d e f g h i j k (Indonesia)M. Darwis Hude., Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis Emosi Manusia di dalam Alquran, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006, vi-vii