Ismail Al-Khalidi Al-Minangkabawi

Ulama Islam dari Indonesia
Revisi sejak 4 Mei 2014 18.59 oleh BP79Pandu (bicara | kontrib) (ubah inuse)

Syeikh Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi (lahir pada tahun 1712 di Teluk Belanga, Simabur, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat - meninggal pada tahun 1844 di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada umur 132 tahun) adalah seorang ulama penyebar Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah pada abad ke-19.[1][2] Ia dianggap sebagai pelopor ajaran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau khususnya dan di Indonesia pada umumnya.[2][3] Selain itu, ia juga dikenal sebagai ulama ahli ilmu fikih, kalam (teologi), dan tasawuf.[1]

Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi
LahirKerajaan Pagaruyung Simabur, Tanah Datar, Minangkabau
KebangsaanKerajaan Pagaruyung Minangkabau
PekerjaanUlama
Dikenal atasPenyebar ajaran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiah

Kehidupan awal dan pendidikan

Syeikh Ismail lahir di lingkungan keluarga yang taat beragama.[1] Ia telah mendapat pendidikan agama sejak kanak-kanak.[1] Setelah mengaji al-Qur'an di beberapa surau di kampungnya, kemudian ia mempelajari dasar-dasar ilmu keislaman melalui kitab-kitab berbahasa Melayu dan kitab kuning berbahasa Arab.[1] Berbagai bidang keilmuan Islam yang ia pelajari meliputi ilmu fikih, tauhid, tafsir, hadits, dan ilmu alat (bahasa Arab, nahwu, sharaf, balaghah).[1]

Berkas:Mekkah-1850.jpg
Kota Mekah merupakan tempat Syeikh Ismail al-Khalidi memperdalam ilmu keislamannya selama 30 tahun

Selanjutnya, ia pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman yang sebelumnya ia dapatkan.[1] Di samping itu, ia juga sempat belajar di Madinah selama lima tahun.[4]

Di Mekah, Syeikh Ismail berguru kepada beberapa ulama besar yang memiliki keahlian pada masing-masing bidangnya.[1] Ia mempelajari ilmu kalam kepada Syeikh Muhammad Ibnu 'Ali Assyanwani,seorang ulama besar ahli ilmu kalam.[1] Di bidang ilmu fikih, ia belajar kepada Syeikh al-Azhar dan Syeikh Abdullah asy-Syarqawi, keduanya terkenal sebagai ulama ahli fikih dari mazhab Syafi'i.[1] Syeikh Ismail juga mempelajari ilmu tasawuf kepada dua orang sufi besar bernama Syeikh 'Abdullah Afandi dan Syeikh Khalid al-Utsmani al-Kurdi (Syeikh Dhiyauddin Khalid).[1] Keduanya merupakan mursyid (guru pembimbing rohani) tarekat Naqsyabandiyah.[1]

Setelah belajar dari Mekah selama 30 tahun, ia pulang dan memulai penyebaran ajaran tarekat ini dari kampung halamannya, Simabur, Tanah Datar, Minangkabau.[4] Ajaran Tarekat Syeikh Ismail kemudian menyebar dan berkembang ke luar Minangkabau, seperti Riau, Kerajaan Langkat serta Deli, dan berlanjut sampai ke Kesultanan Johor.[4][5]

Mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah

Setiba di kampung halamannya, Syeikh Ismail mulai mendidik, mengajar dan membina masyarakat Minangkabau.[1] Ia mengajarkan ilmu tauhid berdasarkan faham As'ariyah atau Ahlussunah wal Jama'ah dan mengajarkan ilmu fikih berdasarkan mahzab Syafi'i.[1] Sedangkan dalam mengajar ilmu tasaawuf, Syeikh Ismail mengikuti tasawuf Sunni dari Syeikh Juneid Imam Abu Hamid al-Ghazali.[1]

Syeikh Ismail mulai menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah setelah dibai'at oleh Syeikh Khalid al-Kurdi, salah seorang gurunya di Mekah.[1] Ketika Syeikh Ismail menyebarkan tarekatnya, di Minangkabau sendiri telah berkembang Tarekat Shatariyah yang dikembangkan oleh Syeikh Burhanuddin Ulakan sebelumnya.[1] Syeikh Burhanuddin telah mengembangkan tarekatnya tersebut pertama kali di Nusantara pada abad ke-17.[1] Namun tarekat tersebut tidak menghalangi usaha Syeikh Ismail dalam mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.[1] Keduanya dapat berkembang di masyarakat Minangkabau.[1]

Karya-karya

Selain mengajar dan mengembangkan tarekat, Syeikh Ismail juga menulis beberapa kitab dan risalah.[6] Di antara kitab dan risalah karya Syeikh Ismail yaitu:

  1. Kitab Ar-Rahmatul Habithah fi Zikri Ismiz Zati wa ar-Rabithah, membahas tentang masalah-masalah tasawuf seperti rabithah (hubungan) dan washilah (perantara) dalam beribadah kepada Allah.[1][6]
  2. Risalah Muqaranah Sembahyang, membahas tentang niat sembahyang (shalat).[6]
  3. Kitab Kifayatul Ghulam fi Bayani Arkanil Islam wa Syurutihi, membahas tentang masalah-masalah rubu' ibadat (dalam artian sempit: rukun Islam) dalam fikih.[4][6]
  4. Kitab Al-Muqaddimatul Kubra allati Tafarra'at minhan Nuskhatus Shughra.[6]
  5. Kitab Muqaddimatul Mubtadin.[6]
  6. Kitab Mawabib Rabbil Falaq Syarh Bintil Milaq, membahas tentang persoalan tasawuf.[6]

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u H.M. Bibit Suprapto (2009). Ensiklopedi Ulama Nusantara. Gelegar Media Indonesia. ISBN 979-98066-1114-5.  Halaman 436-439.
  2. ^ a b Abdul Rahman Haji Abdullah (1997). Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran. Gema Insani. ISBN 978-97956-1430-2.  Halaman 53.
  3. ^ Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa Ahmad Syafii Mufid, Yayasan Obor Indonesia. Diakses 18 Agustus 2013.
  4. ^ a b c d www.academia.edu: Sejarah Kemasukan Tarekat di Malaysia. Diakses 3 Mei 2014
  5. ^ Ini Dia Dua Tarekat Tasawuf yang Ditakuti Penjajah Belanda www.republika.co.id, 12 April 2012. Diakses 18 Agustus 2013.
  6. ^ a b c d e f g www.pelitatangerang.xtgem.com: Syekh Ismail Al Minankabawi. Diakses 5 Mei 2014