Hassan al-Hudaybi

Revisi sejak 6 April 2013 09.47 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 6 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q736571)

Hassan Al-Hudaibi adalah Mursyid Am Ikhwanul Muslimin kedua. Ia berprofesi sebagai konsultan dan jaksa, bernama lengkap Hasan Ismail Al-Hudaibi, jabatan terakhirnya sebagai mursyid kedua jamaah Ikhwanul Muslimin, dan merupakan mursyid yang mengalami masa sulit dan penuh dengan ujian dan cobaan, karena pada saat beliau diangkat menjadi mursyid berada pada masa terjadinya perselisihan antara para pejuang revolusi, terutama mantan presiden Jamal Abdul Naser. Dan sebagai masa dimana para anggota jamaah banyak yang ditangkap, dipenjara dan disiksa; dan pemerintah pada saat itu berusaha melakukan pembersihan jamaah Ikhwanul Muslimin dengan kekuatan dan kekerasan dari bumi Mesir dan dunia.

Perjalanan hidup, sejarah singkat kepribadian dan karakter Hassan Al-Hudaibi

Hasan Al-Hudaibi lahir di desa Arab Al-Shawalihah, distrik Syibin Al-Qanatir, tahun 1309 yang bertepatan pada bulan Desember 1891 M. menghafal Qur’an di desanya sejak kecil, kemudian masuk sekolah formal di Al-Azhar yang semangat keagamaan nya yang tinggi dan ketakwaan yang suci. Kemudian setelah itu pindah ke sekolah negeri dan mendapatkan ijazah SD pada tahun 1907, lalu masuk sekolah Aliyah Al-Khadiwiyah (setingkat SMA) dan mendapat gelar BA pada tahun 1911, kemudian meneruskan kuliah di bagian hukum, dan lulus darinya pada tahun 1915. Setelah itu menjalankan masa percobaan menjadi pengacara di Kairo dan secara bertahap menjadi pengacara yang sesungguhnya. Setelah menjadi pengacara, beliau bekerja sesuai profesinya di distrik Syibin Al-Qanatir, lalu untuk pertama kali dalam hidupnya dan tanpa diketahui oleh seorang pun, beliau pergi ke daerah Sohaj dan tinggal di sana hingga tahun 1924, dan di sana beliau menjadi jaksa. kemudian pindah ke daerah Qana, lalu pindah ke daerah Naja’ Hamady tahun 1925, lalu pindah lagi ke daerah El-Manshurah tahun 1930, dan tinggal di daerah Al-Mania selama satu tahun, kemudian pindah ke daerah Asyuth, lalu ke Zaqaziq, lalu ke Giza pada tahun 1933, dan pada akhirnya menetap di Kairo.

Tahapan beliau menjabat sebagai jaksa diawali dengan menjabat sebagai direktur administrasi kepaniteraan, lalu menjadi ketua badan pemeriksa kejaksaan, lalu sebagai konsultan di mahkamah konstitusi. Kemudian mengundurkan diri sebagai jaksa setelah terpilih menjadi mursyid Ikhwanul Muslimin pada tahun 1951. Pertama kali beliau menjabat, dirinya dan para ikhwan lainnya ditangkap tanggal 13 Januari 1953, namun pada bulan maret pada tahun sama beliau dibebaskan kembali, setelah dijenguk oleh para senior dan jenderal revolusi sambil meminta maaf kepadanya. Kemudian ditangkap lagi untuk yang kedua kalinya pada akhir tahun 1954 dan divonis hukuman mati, namun akhirnya diberikan keringanan dengan hukuman seumur hidup. Kemudian hukuman dipindah dari penjara menjadi tahanan rumah, akibat menderita sakit dan usia lanjut. Kemudian pada tahun 1961 hukuman tahanan rumah dihapus atasnya. Dan beliau kembali ditangkap pada tanggal 23 Agustus 1965 di Alexandria dan dijatuhi hukuman dengan wajib lapor, kemudian dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun, walaupun pada saat itu umur beliau telah mencapai 70 an tahun, dan kemudian diberikan izin keluar untuk ke rumah sakit selama 15 hari, kemudian dipindah ke rumahnya, lalu dikembalikan ke penjara untuk melengkapi masa tahanannya. Dan masa tahanannya menjadi panjang –melewati batas yang dijatuhkan- hingga tanggal 15 Oktober tahun 1971. Dan beliau wafat pada hari kamis, jam 07 pagi waktu setempat, pada tanggal 14 Syawal 1939 bertepatan dengan tanggal 11 November 1973.

Karakter Hasan Al-Hudaibi

Hassan al-Hudaibi adalah sosok seorang Muslim sejati, hafal Al-Qur’an sejak belia, memiliki komitmen untuk selalu taat kepada Allah, beliau tidak pernah lengah dan tidak pernah merasa bosan dalam menunaikan tugas dan kewajiban agama.

Beliau adalah sosok manusia yang dermawan dan tidak pernah memiliki keraguan sejak dia menjadi seorang siswa hingga menjadi konsultan dalam berpegang pada prinsip dan kebenaran. Beliau merupakan contoh dan teladan di antara teman-temannya dan orang-orang yang dekat dengannya atas ke istiqamahannya, keteguhan akhlaqnya dan kemuliaan karakternya, keengganannya bermujamalah (bermain-main) pada kebenaran dan ketidak takutannya kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Beliau juga mampu mencetak rumah tangganya dengan tabiat dan shibghah Islam; adab-adabnya, kebiasaan-kebiasaannya dan pakaian-pakaiannya, sehingga tampak dengan akan keteguhan agamanya dan Ittiba’nya dengan nama agama melebihi jabatan dan julukan yang telah dimiliki dan diraihnya.

Hassan Al-Hudaibi juga merupakan sosok yang sangat disegani oleh teman sejawatnya dan para konsultan lainnya; terutama yang berani bermain-main dengan undang-undang sipil, dan yang melakukan pelanggaran dasar-dasar syariah Islam. Suatu kali; pada jiwa-jiwa terhenti tanpa dapat melakukan apa-apa, dan cukup dengan memberikan agenda kritikan yang lembut, beliau pergi dengan sendirinya ke pusat revisi undang-undang, dan memberikan pernyataan secara resmi bahwa dirinya menentang dan mengutuk berbagai produk undang-undang yang tidak berasal dan bersumber dari syariat Islam, atau kandungan bab dan fasal-fasalnya yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah. Sehingga, dengan sikap tersebut menjadi berita headline di seluruh surat kabar di Mesir saat itu; bahkan koran Al-Ikhwan menerbitkan berita dengan tema “Hasan Al-Hudaibi, semoga Allah menolongnya” yang berasal dari surat kabar “Akhbar Al-Youm.” Dan karakter yang agung yang terdapat dalam diri Al Hassan Al-Hudaibi adalah ketegarannya dan keberaniannya dalam menentang kebatilan, dan terhadap para pelaku dan pendukung kebatilan, ketegarannya berdiri dihadapan kekuatan zhalim dan para pelaku kezhaliman, sekalipun usia beliau sudah lanjut dan sering sakit-sakitan beliau tetap melakukan aktivitas. Sebagaimana beliau juga memiliki karakter membenci terhadap hal-hal yang berbau pamer dan pujian, jauh dari pantauan, karena itu –kadang- beliau selalu menghindar dari sorotan kamera, menolak untuk ditulis tentang jati dirinya dan perjalanan hidupnya; karena yang beliau harapkan hanyalah ganjaran dari Allah. Jika seorang imam memilih banyak diam dan jauh dari sorotan masa, adalah merupakan ketawadhuan dan kelebihan yang dimilikinya, namun di antara haknya –dan juga hak imam Al-Banna dan seluruh ulama dan umat yang membawa amanah setelah mereka hingga hari akhir zaman, untuk selalu menjadi uswah dan qudwah (contoh dan teladan), bahkan beliau menjadi menara yang mengarahkan para pembawa risalah dakwah dan pengarah jalan di dalamnya, sehingga dapat dijadikan pegangan bagi para pengemban amanah dakwah dan menerangi jalan mereka, karena para pemuda zaman sekarang ini, banyak yang sering mentaqlid dari sana sini, menemukan kebesaran jiwa dari sebagian tokoh. Karena itu, jika mereka mengambil kebesaran jiwa maka mereka kelak akan menjadi jiwa yang memiliki kepribadian yang tinggi pula.

Perjuangan beliau

Adapun Perjuangan pada bidang pekerjaan dan spesialisasinya memiliki sejarah yang sangat menarik. Suatu ketika ketua mahkamah konstitusi bertanya kepadanya: Ya Hasan, bukankah engkau bersama saya, bahwa kebanyakan dari undang-undang sipil saat ini berkaitan erat dengan hukum-hukum yang ada dalam fiqh Islam? Hasan Hudaibi berkata: betul. Orang tersebut berkata lagi: jadi apa dasarnya tuntutan Anda untuk kembali pada syariat Islam dan menerapkan hukum-hukumnya?”. Beliau menjawab: Hal tersebut karena Allah SWT. Dia berfirman: “Dan hendaklah saat memutuskan hukum di antara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan Allah”. Dan tidak mengatakan: Dan berhukumlah seperti yang diturunkan Allah. Dan bahwa berhukum pada syariat Allah menurut seorang muslim adalah ibadah dan menunjukkan ketaatan kepada perintah Allah, dan itulah sumber keberkahannya, rahasia kekuatan yang ada dalam jiwa orang-orang yang beriman dengannya dan dalam komunitas jamaah muslimah.

Ketika dijabarkan rancangan revisi undang-undang sipil Mesir pada tahun 1945 di hadapan ustadz Al-Hudaibi, tertulis disitu bahwa beliau menolak mendiskusikan proyek tersebut dari sisi prinsipnya; karena tidak berdasarkan pada al-kitab dan as-sunnah.

Dan pada tahun 1947 Ustadz Hasan Al-Hudaibi menerbitkan sebuah artikel di koran Mesir “Akhbar Al-Youm,” yang membantah amandemen rancangan undang-undang sipil Mesir, beliau berkata, “bahwa amandemen terbaik menurut pandangan saya adalah yang mengacu pada sebuah undang-undang yang satu; untuk menerapkan hukum syariah dalam kasus pidana dan perdata kemudian beliau berkata: “Aku telah menyatakan pendapat di komisi revisi undang-undang sipil dalam Senat, dan saya sampaikan: Bahwa undang-undang kita harus berdasarkan Al-Quran dan Sunnah dalam berbagai sendi kehidupa, bukan hanya dalam urusan syariat saja. Bahwa Islam adalah agama yang koheren dan terpadu tidak boleh dipisah-pisah, sehingga harus diterapkan seluruh ketentuannya oleh setiap orang yang menganutnya” Inilah pendapat yang saya kemukakan, dan saya berharap bahwa saya telah menyelesaikan tugas dalam melakukan revisi undang-undang, berusaha mempelajarinya hingga tidak terdapat di dalamnya undang-undang asing yang tidak konsideran dengan Al-Qur’an Al-Karim, yang tidak bisa membedakan antara yang halal dan yang haram, padahal keduanya sangat jelas karakter dan batasan-batasannya hingga hari kiamat.

Dan inilah yang saya sampaikan di hadapan tim revisi, dan saya yakin bahwa mereka tidak akan menerima dan mengambilnya, namun bagi saya tidak mengapa selama saya yakin dengan apa yang saya sampaikan, namun menurut praduga saya, kelak setelah berjalan 20 atau 30 tahun opini akan mengarah pada pengambilan pendapat saya; setiap kali Allah melapangkan dada umat manusia dengan Al-Qur’an pada hari yang meliputi opini dan pendapat ini”.

Kami telah melihat bahwa berbagai undang-undang yang bersumber pada undang-undang asing tidak memberikan kemaslahatan pada negeri kami, tidak mencapai apa yang diharapkan, penjara ini penuh narapidana, kejahatan meningkat, kemiskinan menyebar, dan moral dan akhlak menurun, hubungan sosial memburuk hingga terjadi setiap hari sejak para pendahulunya, dan ini semua tidak mampu diubah kecuali jika kita menyusun kembali hubungan kita dengan sunnah kauniyah yang telah diturunkan melalui wahyu dengan berbagai rahasia-rahasianya, dan tanda-tandanya yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan dengan itu semua, maka kita akan dapat tinggal di rumah, di tengah keluarga dan masyarakat, bersama anak-anak kita, dan bersama semua orang yang hidup bersama Al-Qur’an “.

Pada tanggal sepuluh Desember 1952, konstitusi Klasik Mesir mengumumkan revisi dan setelah berlalu dua hari ditetapkan seratus anggota untuk membuat konstitusi baru yang mana di antara mereka ada tiga orang yang berasal dari Ikhwanul Muslimin. Akhirnya majalah “El-dakwah” menerbitkan artikel yang mengajak untuk mendukung konstitusi berdasarkan Islam. Hasan Al-Hudaibi mengajak untuk dilakukan referendum; guna mengetahui apakah Mesir memilih syariat Islam atau undang-undang barat? Jika memilih berhukum pada Islam maka pemerintah harus komitmen melaksanakan pilihan tersebut, dan jika memilih undang-undang Barat –yang tidak mungkin keluar dari diri seorang muslim- maka kita harus mengaca diri, mengajarkan umat akan perintah Tuhannya dan apa yang seharusnya mereka lakukan”.

Awal Hasan Al-Hudaibi mengenal Ikhwanul Muslimin

Dikisahkan bahwa hubungan beliau dengan Ikhwanul Muslimin dimulai sejak tahun 1942, yaitu saat beliau mendapatkan kepuasan dengan dakwah al-Ikhwan melalui praktek sebelum mendapatkannya secara teori. Hal tersebut terjadi ketika beliau melihat sebagian anggota kerabatnya dari para petani yang sedang menghadapi berbagai macam masalah; agama dan politik, yang kebanyakan dari masyarakat umum tidak memahami hal tersebut, terutama karena kebanyakan dari mereka adalah berasal kalangan umi (buta huruf), dan ketika diketahui bahwa hal tersebut kembali kepada para Ikhwan, beliau tertarik dengan cara dakwahnya, sehingga beliau sangat antusias untuk menghadiri khutbah Jum’at di masjid-masjid yang diisi oleh pendiri jamaah Ikhwan; Hasan Al-Banna. Dan sejak tahun 1942 beliau mulai menjalin hubungan dengan dakwah yang penuh berkah ini melalui pendirinya langsung terutama di saat beliau melakukan kunjungan ke kota Zaqaziq.

Adapun awal begitu tertariknya beliau dengan dakwah Ikhwanul Muslimin adalah saat mendengar ceramah ustadz Hasan Al-Banna tentang masalah membersihkan jiwa, menumbuhkan perasaan, menggelorakan ruh. Ketika beliau mendengarkan uraiannya ada perasaan aliran darah yang deras dan kencang merasuk ke dalam jiwanya, bergelora ruhnya, akalnya, hatinya dan perasaannya, sehingga tidak membutuhkan waktu lama dan usaha yang keras, segera terdorong jiwanya untuk bergabung dengan dakwah yang penuh berkah ini, dakwah yang membawa kebenaran, dan siap bekerja untuknya, terikat dengannya serta komitmen untuk berjihad di jalannya. Pada saat itu Imam Hasan memandang telah terjadi kehancuran di tengah umat Islam sehingga perlu adanya kerja keras untuk menolong dan menyelamatkannya. Dan ditambah kecemburuan iman Hasan Al-Banna yang bergelora di dadanya, yang mana hal tersebut dapat diketahui saat beliau berbicara, baik dihadapan para ulama yang shalih dan dihadapan orang-orang yang duduk-duduk dan nongkrong di kedai kopi.

Pada saat itu –setelah mendengar uraian imam Hasan Al-Banna- beliau langsung menghadap, dan setelah berbicara singkat, beliau melakukan janji, ikatan dan baiat. Baiat yang mengikat dirinya dan kehidupannya untuk selamanya, dan berada di jalan dakwah yang penuh berkah ini, mengarungi masa depan dakwah. Dan inilah model kejujuran para rijal dakwah. Mengikat jiwa mereka dengan dakwah kehidupan masa lalunya, yang sedang berjalan dan yang akan datang dengan kebenaran.

Dan karena karakter imam Hasan Al-Hudaibi memiliki kecerdasan dan kejelian, jiwa yang kokoh, ruh yang bersih, sehingga ketika mendengar dakwah imam Hasan Al-Banna yang bersumber dari kejujuran dan keikhlasan, dan totalitas yang begitu dalam, beliau yakin bahwa ini adalah dakwah yang akan memberikan air kesejukan bagi siapa saja yang haus hatinya, perasaannya dan jiwanya.

Bai’at ustadz Hasan Al-Hudaibi

Pada tanggal 12 Pebruari tahun 1949 para pesuruh kerajaan Mesir Raja Farouk berhasil membunuh Hasan Al-Banna sehingga membuat kosong kursi Mursyid Am Ikhwanul Muslimin, dan pada saat itulah, para pendiri Ikhwan berusaha mencari menggantinya, dan akhirnya mereka menetapkan Hasan Al-Hudaibi menjadi Mursyid Am Ikhwanul Muslimin. Pada 6 bulan pertama Hasan Al-Hudaibi menjabat sebagai mursyid secara tersembunyi dan diam-diam, tanpa tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai jaksa selama masa tersebut. Dan ketika pemerintahan An-Nuhas Pasya memberikan izin kepada lembaga pendiri Ikhwanul Muslimin untuk melakukan pertemuan, para anggota tersebut mempersilakan kepada Hasan Al-Hudaibi untuk memimpin pertemuan dan menjabat sebagai mursyid am Ikhwanul muslimin, namun saat itu beliau menolak permintaan mereka, karena beliau menganggap saat pemilihan atas dirinya menjadi Mursyid oleh anggota lembaga pendiri hanya pada marhalah sirriyah dan tidak mewakili pendapat anggota Ikhwan lainnya, dan beliau meminta untuk memilih Ikhwan lain menjabat sebagai mursyid, namun para Ikhwan lainnya menolak permintaan tersebut dan meminta beliau untuk melanjutkan jabatannya sebagai mursyid Ikhwanul muslimin, akhirnya beliau menerima permintaan utusan para Ikhwan dan setelah itu beliau mulai mengurus pengunduran diri dari pekerjaannya untuk fokus pada jabatan barunya yaitu mursyid Am Ikhwanul muslimin.

Dab tepat pada tanggal 17 Oktober 1951 Hasan Al-Hudaibi resmi menjadi mursyid am jamaah Ikhwanul muslimin. Dan setelah itu beliau melakukan jaulah ke berbagai tempat dan daerah yang terdapat di dalamnya anggota Ikhwanul Muslimin untuk menegaskan bahwa mereka mendukung keputusan tersebut. Dan akhirnya beliau mendapatkan kepastian tersebut…, bahkan semua anggota yang bertemu dengannya melakukan baiat kepadanya. Dan sebelum baiat beliau berkata: “Sebenarnya saya tahu, bahwa saya sedang menyerahkan diri pada kepemimpinan dakwah yang mengakibatkan syahidnya sang pionir, muassis dan mursyid pertama, berhadapan dengan ancaman pembunuhan, penyiksaan para pengikutnya, pengusiran di jalan Allah, mereka telah mendapatkan apa yang mereka harapkan, dan saya tidak yakin pada diri ini akan mampu melakukan dari apa yang ditinggalkan oleh sang imam dan membawa maslahat di dalamnya seperti imam Hasan Al-Banna, namun walau begitu saya akan berusaha menghadirkan dan melakukan sesuai dengan amanah dan keinginan para Ikhwan, menunaikan amanah untuk Allah SWT, tidak mencari dan berharap apapun kecuali ganjaran dan ridha Allah, dan saya tidak meminta pertolongan kepada siapapun kecuali pada kekuasaan dan kekuatan Allah SWT.

Apa yang diberikan oleh Hasan Al-Hudaibi untuk jamaah Ikhwan?

  • Dukungan beliau terhadap jamaah dan pembelaannya sangat besar sekali, bahkan kontribusi yang mulia beliau tampakkan ketika membeli rumah markas al-am (kantor pusat).
  • Menunjukkan amanah dakwahnya saat beliau marah terhadap kekejaman Zionis guna membela Palestina.
  • Memiliki jiwa perhatian terhadap keluarganya, dengan membentuk kantor cabang di desanya “Arab As-shawalihah” dan desa-desa yang berdekatan dengannya.
  • Dengan retorika dan metode khas beliau dan berpenampilan tenang dan penuh tawadhu mampu menghidupkan dakwah di daerah Syibin Al-Qanatir.
  • Beliau tidak pernah putus menjalin hubungan dengan imam syahid, dan bahkan beliau tidak pernah lepas dalam bertukar pikiran dan memberikan pendapat yang konstruktif pada setiap langkah dan sikap sebelum terjadinya pembunuhan dan setelahnya, bahkan beliau selalu ikut dalam jalasah yang diikuti oleh mukhlisin dan pejabat teras Ikhwanul Muslimin, yang sedang berjual melakukan pemetaan strategi dakwah untuk jamaah sebelum dan sesudah syahidnya Mursyid pertama.
  • Setelah beliau bergabung dengan dakwah, maka seluruh jiwanya, rumahnya, anak-anaknya, jabatannya, dan seluruh hartanya diserahkan untuk dakwah dan dibawah kendali dakwah.
  • Beliau adalah satu-satunya orang yang jujur dalam dakwah yang berasal dari kalangan kejaksaan sehingga beliau menjadi pionir dan satu-satunya orang yang mampu membersihkan kewibawaan jamaah, membersihkan kejaksaan dari pengaruh kedustaan dan kebohongan, yang sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk mengubah kejaksaan dari kerja yang serius dan bertanggung jawab pada tindakan melakukan kezhaliman dengan berbagai tuduhan yang dibuat-buat.
  • Hasan Al-Hudaibi juga selalu mengikuti perkembangan berita Ikhwan, terutama setelah terbunuhnya imam Hasan Al-Banna, selalu membekali diri dengan nasihat-nasihat yang membuatnya memiliki kekuatan dan imunitas dari gelora kekejian pemerintah dan kekuasaan undang-undang, dan mampu melakukan banyak kebaikan menuju jalan yang pasti; yaitu melakukan penyatuan barisan, memberikan dukungan untuk tsabat dan tsiqah kepada Allah di antara para Ikhwan.
  • Beliau memiliki perhatian kepada keluarga Ikhwan yang ditangkap dan dipenjara.

Hasan Al-Hudaibi saat di penjara

Mursyid memulai hidup barunya menjadi Mursyid Am Ikwahnul Muslimin berhadapan dengan berbagai ujian dan cobaan yang begitu keras; berbagai penangkapan, vonis hukuman penjara, bahkan menerima siksaan dan hukuman mati atasnya, yang kemudian berganti menjadi hukuman kerja paksa.

Pendapat para ulama tentang Hasan Al-Hudaibi

Saat memulai kehidupannya menjadi mursyid am kedua Ikhwanul Muslimin, beliau mulai mengalami kehidupan yang keras dan tidak pernah berhenti, beban yang berat dan ujian yang tidak pernah putus, cobaan terhadap jamaah terutama pemimpinnya terus berlanjut; dimasukkan di dalam penjara, disiksa, dijatuhi hukuman mati, kemudian di ganti dengan hukuman kerja paksa. Di tengah ujian tersebut beliau berkata:”Tegakkanlah daulah Islam di dalam hati-hati kalian, niscaya dia akan tegak di negeri kalian”. Pada kondisi yang mengenaskan berada dipenjara yang terisolir -sementara para Ikhwan yang lain dan termasuk anak-anaknya ikut disiksa dan dipecut – beliau memperkokoh jiwa mereka dan mengajak mereka untuk mempertahankan keimanan mereka.

DR. Ahmad Al-’Asal berkata tentangnya: “Beliau selalu menghadirkan kepada mereka untuk memiliki hati yang tsabat, dan jiwa yang tenang; dengan mengatakan di hadapan para pelaku penyiksaan: “Mereka adalah sebaik-baik pemuda Mesir, karena itu, jagalah mereka untuk menjadi saham bagi negerinya, cukuplah kalian mengambil dan memenjarakan diri saya dan melakukan apa yang kalian inginkan”.

Selama di penjara kesehatan beliau sering terganggu, sehingga harus dipindah ke rumah sakit, namun setelah itu hukuman terhadapnya tidak berhenti namun dikembalikan ke tempat semula untuk ikut merasakan penderitaan Ikhwan lainnya serta anak-anaknya. Beliau berkta: “Penjara adalah sebaik-baik tempat pengkondisian jiwa bukan sekadar tembok dan jeruji besi”. Ahmad Al-’Asal juga berkata: “saya tidak pernah lupa terhadap apa yang diceritakan beliau kepada kami, beliau meneteskan air mata saat bercerita tentang kondisi seorang Ikhwan yang miskin yang mendapatkan waktu berharga pada salah seorang Pasya saat dirinya membersihkan WC di tempat salah seorang terpidana, maka salah seorang dari teman-temannya berinisiatif memberikan uang atas amanah yang dikerjakannya dan kembali bekerja. Maka Ikhwan tersebut berdiri sambil menegakkan badannya berkata: “Sungguh saya ingin menambah pekerjaan ini sesuai dengan amanah, dan saya tidak menginginkan upah tersebut kecuali karena Allah, dan saya tidak butuh harta tersebut”. Kemudian Ustadz berkata: “Padahal saya tahu betul kondisinya, dirinya pasti membutuhkan harta tersebut, namun karena kesucian dan kebersihan dirinya, ia tidak mau menerima uang tersebut”. Kemudian air matanya meleleh kembali.

Ahmad Husain pemimpin pemuda Mesir berkata, kami dimasukkan di penjara perang pada bulan Maret tahun 1954, dan saya melihat Syeikh Hasan Al-Hudaibi ada di dalamnya bersama kami, dan ketika beliau berada sama saya, seakan saya melihat dirinya penuh dengan kemuliaan dan ketawadhuan, serta berinteraksi dengannya yang penuh dengan kelembutan dan kasih sayang, dan saya mengira bahwa kemuliaan yang besar ini baginya adalah kemuliaan bersama Ikhwanul Muslimin. Salah seorang wartawan bertanya kepada saya; apa pendapatmu terhadap Ikhwan pada perang di Palestina? Maka saya jawab bahwa hal tersebut merupakan fenomena yang sangat mulia; karena merekalah yang telah berhasil menyelamatkan tentara Mesir dari kekalahan, yaitu mereka berhasil melindungi pasukan terakhir saat mundur, dan hendaknya dunia mesti memahami, bahwa orang yang memerangi Ikhwan dengan besi dan api, telah melakukan perbuatan demi kepentingan syaitan, janganlah kalian mengira wahai saudaraku bahwa saya mengucapkan ini saat ini sah; karena saya telah meninggalkan Mesir sejak tahun 1955; dan terakhir kali saya bertemu dengan Abdul Nasher adalah karena terkait permasalahan ini. Kemudian dia berkata: “Bahwa syahid kalian dan syuhada Islam, sedang menikmati kenikmatan di sisi Tuhannya, dan kelak sejarah akan mencatat seperti Ibnu Hambal, yang menolak untuk disamakan atau dijauhkan terhadap apa yang dianggapnya benar”.

Buku-buku karangan beliau

  1. Duat la qudhat
  2. Inna hadzal Qur’an
  3. Al-islam wa ad-da’iyah, kumpulan tulisan yang disusun oleh As’ad Sayyid Ahmad

Pranala luar