Purwodadi, Barat, Magetan

desa di Kabupaten Magetan, Jawa Timur
Revisi sejak 2 November 2014 08.14 oleh 36.82.16.250 (bicara) (Sejarah desa Purwodadi)

Pada zaman dahulu desa Purwodadi sebenarnya adalah sebuah hutan , dan didirikanlah sebuah pemukiman penduduk hingga berdiri sebuah Kadipaten yang megah pada saat itu, bangunan Kadipaten yang dengan luas kurang lebih sekitar 4 hektar. Berdirinya Kadipaten ini menunjukan bahwa Purwodadi pada waktu itu memiliki peran penting terhadap Kabupaten Magetan pada masa Perang Diponegoro berlangsung. Sebuah desa yang terletak di perbatasan Kecamatan Barat dan Kecamatan Karangrejo, dan memiliki letak lapangan yang sangat strategis yang dahulunya ini adalah sebuah alun-alun kota pada saat Kadipaten Purwodadi masih aktif.

Semenjak kedatangan para priyayi dari Puro Mangkunegaran yang bernama Raden Ahmad, daerah hutan tersebut dirubahnya menjadi sebuah pemukiman penduduk. Beliau adalah seorang bangsawan dari Praja Mangkunegaran yang kalah perang dengan kompeni Belanda, karena pada saat itu daerah Jawa Tengah telah menjadi daerah yang rawan serangan kompeni Belanda. Raden Ahmad mendapat saran dari Adipati Semarang untuk pergi ke daerah Gunung Lawu, akhirnya beliau dan para pengikutnya menerima masukan tersebut dan pergi ke arah Gunung Lawu ditemani dengan Raden Damar putra dari Adipati Semarang, setelah sampai disekitaran Gunung Lawu, Raden Damar memberi saran kepada Raden Ahmad untuk berhenti dan mendirikan sebuah pemukiman di daerah tersebut. Seiring berjalannya waktu pemukiman semakin hari semakin ramai dan kedatangan rombongan bangsawan dari Yogyakarta dan meminta izin untuk menidirikan sebuah Kadipaten di daerah ini karena telah dibaginya sistem pemerintahan di Magetan menjadi 7 daerah kekuasaan oleh Belanda. Bangsawan tersebut bernama Pangeran Dipokusumo/R.M Dipokusumo/R.M Dipoatmodjo/Pangeran Abdul Azis'', beliau datang bersama dengan para pengikutnya dan menjadi Adipati sebelum diangkatnya R. Ng Mangunnegoro sebagai Adipati di Kadipaten Purwodadi setelah “Perjanjian Sepreh”, karena R.M Dipokusumo yang harus mengikuti perang di berbagai daerah bersama dengan ayahnya Pangeran Diponegoro melawan kompeni Belanda. Pangeran Dipokusumo adalah anak kedua dari B.P.H Diponegoro/Pangeran Diponegoro/R.M Ontowirjo/Sultan Abdulhamid Cokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Khalifatullah Tanah Jowo' dari isteri pertamanya R. Ay Retno Madubrongto putri Kyai Gedhe Dadapan. Kadipaten tersebut diberi nama Kadipaten Purwodadi, nama Purwodadi berasal dari kata “Purwo” yang berarti “wiwitan” dan “dadi” yang berarti “dumadi”, dengan maksut awal berdirinya sebuah Kadipaten.

Politik devide et impera Hindia Belanda, menghasilkan sebuah Perjanjian “Perjanjian Sepreh” pada tanggal 3-4 Juli 1830 atau tanggal 12-13 bulan suro 1758 tahun Je. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang dipimpin oleh Raad Van Indie Mr.Pieter Markus, Ridder Van de Orde Van de Nederlandsche leeuw, Commisaris ter Regelling de Vorstenlanden dalam rangka mengatur daerah-daerah Mancanegara Timur Kasunanan Surakarta atau Kasultanan Yogyakarta. Pertemuan itu diikuti oleh semua bupati se-wilayah Mancanegara Wetan, pertemuan dilaksanakan di Desa Sepreh, Kabupaten Ngawi. Pada Pertemuan itu Hindia Belanda mengharuskan semua bupati Mancanegara Wetan untuk menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta dan harus tunduk kepada pemerintah Belanda di Batavia.

Dan akhirnya, pertemuan tersebut  menghasilkan sebuah “Perjanjian Sepreh Tahun 1830” yang ditandatangani dengan teraan-teraan cap dan bermaterai oleh 23 Bupati dari residensi kediri dan residensi Madiun, dengan disaksikan oleh Raad Van Indie, Komisaris yang mengurus daerah-daerah keraton serta tuan-tuan Van Lawick Van Pabst dan J.B. de Solis, residen Rembang. Berdasarkan persetujuan tersebut mulai saat itu Nederlandsch Gouverment melaksanakan pengawasan tertinggi dan menguasai daerah-daerah mancanegara.

Sejak tahun 1830 Kabupaten Magetan menjadi daerah jajahan Belanda. Pada masa itu yang menjabat Bupati Magetan adalah R.T. Sasrawinata (wafat tahun 1837). Kabupaten Magetan dipecah menjadi 7 daerah Kabupaten , yaitu :

1.      Kabupaten Magetan I (kota) dengan Bupati R.T. Sasrawinata

2.      Kabupaten Magetan II (Plaosan) dengan Bupati R.T. Purwawinata

3.      Kabupaten Magetan III (Panekan) dengan Bupati R.T. Sastradipura

4.      Kabupaten Magetan IV (Goranggareng Genengan) dengan Bupati R.T. Sasraprawiro yang berasal dari Madura.

5.      Kabupaten Magetan V (Goranggareng Ngadirejo) dengan Bupati R.T. Sastradirya

6.      Kabupaten Maospati (setelah ditinggalkan oleh Bupati wedana R. Ronggo Prawiradirja), Bupatinya R.T. Yudaprawiro.

7.      Kabupaten Purwodadi, Bupatinya R. Ngabehi Mangunprawiro (sejak tahun 1825 disebut R. Ngabehi Mangunnagara).

Pada tanggal 31 Agustus 1830, atau hampir dua bulan setelah Perjanjian Sepreh, pemerintahan Hindia Belanda mulai mengadakan penataan-penataan / pengaturan-pengaturan atas kabupaten-kabupaten yang telah berada dibawah pengwaasan dan kekuasaanya. Tentang penataan ini dapat dilihat dalam surat pemerintahan Hindia Belanda Y1.La.A.No.1, Semarang, 31 Agustus 1830, yang berisikan tentang hasil konperensi dari Gubernur Jendral dengan komisaris-komisaris yang mengurus / mengatur daerah-daerah keraton.

Dari hasil konferensi tersebut, kemudian keluar satu keputusan tentang rencana dari Pemerintah Hindia Belanda, yang antara lain menerangkan bahwa:

Pertama : Menentukan bahwa daerah mancanegara bagian timur akan terdiri dari dua residensi,  yaitu Residensi Kediri dan Residensi Madiun

Kedua         : Bahwa Residensi Madiun akan terdiri dari kabupaten-kabupaten: Magetan, Poerwodadie,  Toenggoel, Magetan, Gorang-gareng, Djogorogo, Tjaruban dan kabupaten Kecil di   wilayah  sekitar Madiun lainnya. baik batas dari kabupaten-kabupaten maupun distrik  juga akan diatur  kemudian.

Ketiga          : Bahwa Residensi Kediri akan terdiri dari kabupaten-kabupaten :Kedirie, Kertosono,  Ngandjoek, Berbek, Ngrowo dan Kalangbret. Dan selanjutnya dari Distrik-dastrik Blitar, Trenggalek, Kampak dan yang lebih ke Timur sampai dengan batas-batas dari Malang: baik batas dari Kabupaten-kabupaten maupun Distrik-distrik juga akan diatur kemudian.

Pada tahun 1870 kabupaten Purwodadi dihapuskan. Berturut-turut yang menjabat Bupati di Purwodadi setelah ”Perjanjian Sepreh” adalah :

·         R. Ng. Mangunprawiro alias R. Ng. Mangunnagara

·         R. T. Ranadirja

·         R. T. Sumodilaga

·         R. T. Surakusumo

·         R. M. T. Sasranegara (1856-1870)

Pada waktu permulaan perang Diponegoro di daerah Madiun, para Bupati di wilayah Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah adalah sebagai berikut :

- Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo ( saudara sepupu Pangeran Diponegoro )

- Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati kepala II di Tunggul/ Wonokerto

- Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati Keniten

- Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati Maospati

- Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati Muneng

- Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati Bagi

- Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati Purwodadi

 

Pemimpin peperangan yang berasal dari Madiun ada dua orang yaitu : Mas Kartodirjo dan Raden Ngabehi Mangunprawiro, putra Raden Tumenggung Mangunnegoro yang telah gugur dalam medan perang, selaku panglima perang Pangeran Diponegoro. Awal perang terjadi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur Bubuk semuanya di perbatasan Kabupaten Madiun.

Kemudian, setelah Kadipaten Purwodadi dihapuskan, Purwodadi menjadi daerah kademangan yang dipimpin oleh seorang “Demang” yang bernama R. Madijosentono. Oleh demang R. Madijosentono, Purwodadi dibaginya menjadi 2  desa yang bernama :

1. Temulus, yang dipimpin oleh Sastro Gatok

2. Purwodadi, yang dipimpin oleh Marto Ikromo

Setelah beberapa bulan menjabat kedua kepala desa tersebut meninggal dunia dan digantikan oleh Riwuk untuk desa Purwodadi dan Martowidjojo untuk desa Temulus. Tidak lama kemudian Riwuk mengundurkan diri dan digantikan oleh R.M Kromoredjo ( Mbah Gong ) yang ditunjuk langsung oleh R.M.A Kertohadinegoro ( Gusti Ridder ) seorang bupati Magetan, sedangkan kepala desa Temulus meninggal dunia dan digantikan oleh Pontjoredjo. R.M Kromoredjo adalah cucu dari R.M Dipokusumo dari puteranya yang bernama R.M Dipokromo. Beliau menjabat sebagai lurah desa Purwodadi dari tahun 1902 sampai 1920. Pada masa kepemimpinannya datanglah seorang bangsawan dari Yogyakarta yang bernama R.M Papak ( Gusti Papak ) yang ingin mendiami bangunan bekas Kadipaten Purwodadi. Beliau merupakan cucu dari Nyi Ageng Serang dan sama-sama sentono dalem Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang membantu dalam proses perang Diponegoro. Namun niat tersebut digagalkan oleh R.M Kromoredjo/Mbah Gong, kemudian bangunan pendopo ageng beserta bangunan-bangunan lainya didalam tembok Kadipaten Purwodadi dibongkar dan dibawa Belanda untuk menambahi sebuah bangunan di kantor Residensi Madiun. Tidak hanya itu, pada zaman penjajahan Jepang, Jepang memiliki akal tidak baik dan ingin memanfaatkan batu bata bekas kadipaten ini untuk dibuat bangunan Bandara di Surabaya. Karena waktu itu yang memegang alih bekas Kadipaten ini adalah R.M Kromoredjo/Mbah Gong, Jepang pun meminta ijin kepada Mbah Gong. Dengan rasa berat hati, beliau memberi ijin penjajah Jepang untuk membawa batu bata pagar dari bekas kadipaten ini karena Jepang memintanya dengan paksaan. Namun setelah dibawa oleh penjajah Jepang, dalam perjalanannya menurut cerita dari para pegawai Jepang ada beberapa hal keanehan yang terjadi. Sesampainya batu bata di Surabaya, banyak dari pekerja dan penjajah Jepang yang meninggal misterius. Mereka banyak yang meninggal dengan keadaan perut buncit dan akhirnya meledak. Banyak dari mereka yang bermimpi aneh yang menyuruh untuk mengembalikan batu bata ini ke asalnya. Dalam mimpi mereka konon kalau batu bata ini tidak dikembalikan ke asalnya di desa Purwodadi, maka tempat yang dibangun dengan menggunakan batu bata ini akan menjadi tempat yang angker dan memakan banyak korban sampai meninggal dunia. Setelah berakhirnya jabatan Mbah Gong sebagai kepala desa Purwodadi, keluarlah sebuah peraturan yang menerangkan bahwa kedua desa tersebut digabungkan menjadi satu dan dipimpin oleh lurah yang bernama Toredjo. Pada tahun 1953 lurah Toredjo menngundurkan diri karena sudah berusia lanjut dan digantikan oleh R. Losodihardjo. Tahun 1968 lurah desa Purwodadi meninggal  dan diadakan pemilihan kepala desa, kemudian dimenangkan oleh R. Karmo. Beliau menjabat sebagai kepala desa sampai tahun 1990, dan diadakanlah pemilihan kepala desa yang dimenangkan oleh R. Latianto. Setelah 8 tahun menjabat, diadakanlah pemilihan kepala desa pada tahun 1998 dan dimenangkan oleh R. Didik Diarto, beliau menjabat kepala desa selama dua periode sampai tahun 2013. Pada tanggal 20 Oktober 2013 diadakan pemilihan kepala desa dan dimenangkan oleh R. Ngt Suci Minarni yang merupakan kepala desa perempuan pertama di desa Purwodadi.