Atapers
Atapers (bentuk tunggalnya: atapper) adalah penumpang atau kelompok penumpang yang naik kereta api atau kereta rel listrik namun berada di atap gerbongnya. Istilah ini merupakan istilah populer yang muncul pada dekade 1990-an hingga 2000-an ketika KA Commuter Jabodetabek masih berstatus sebagai KRL Ekonomi yang dikelola oleh Divisi Angkutan Perkotaan Jabodetabek.
Kata atapers berasal dari bahasa Indonesia atap dan diberi sufiks -er (dalam bahasa Inggris berarti 'pelaku suatu usaha'). Atapers merupakan bentuk "train surfing" (berselancar di kereta api) yang populer di Indonesia.
Umumnya KRL yang diasosiasikan terhadap para atapers adalah KRL Rheostatik, dikarenakan bentuk atapnya yang melengkung dan tidak dipasangi AC, sehingga mengakibatkan penumpang leluasa untuk naik di atapnya.[1]
Meskipun atapers biasanya naik di KRL Ekonomi, atapers juga sempat ada di KRL Ekonomi AC, khususnya di lintas Bogor. Namun kebijakan e-ticketing dan peningkatan keamanan stasiun dan kereta serta kebijakan tidak memberangkatkan kereta jika masih ada penumpang di atap, membuat tidak ada lagi atapers di Indonesia.
Alasan
Meskipun pemerintah maupun operator memandang bahwa atapers merupakan fenomena yang memalukan dalam sejarah transportasi publik, namun warga masyarakat yang rutin naik kereta api merasa tenang-tenang saja. Alasan yang mendasar dari munculnya atapers adalah:
- ingin naik kereta api tanpa tiket alias gratis;
- tidak ada pilihan moda transportasi lain; sementara KRL penuh pada jam-jam berangkat dan pulang kerja, sekolah, ataupun kuliah;
- ingin merasakan kegembiraan akan pemandangan di luar KRL;
- gerbong penuh sesak oleh penumpang atau mengalami kelebihan muatan;
- gerbong panas karena belum ada AC; atau
- armada yang dimiliki oleh operator tidak seimbang dengan jumlah penumpang harian.
Bahaya
Rupanya, praktik ini menuai kecaman. Ada berbagai macam bahaya yang akan menghantui, antara lain atapers akan jatuh dari atap kereta apabila berada di pinggir atap yang miring. Selain itu, peluang untuk tersetrum oleh kabel listrik aliran atas (LAA) dapat terjadi karena interaksi antara pantograf dengan LAA.
Salah satu insiden terakhir yang disebabkan oleh atapers antara lain, pada 8 April 2013, terjadi pelemparan kaca Stasiun Citayam, Stasiun Depok, dan Stasiun Universitas Indonesia akibat dari amukan para atapers, meskipun sudah ditertibkan.[2]
Tindakan
PT Kereta Api Indonesia telah melaksanakan langkah preventif guna mencegah kejadian yang tidak diinginkan dari atapers selama dekade 2000-an hingga 2010-an. Di antaranya, penambahan anjing pelacak, ceramah ustaz, dan pemasangan alat penyemprot cat ketika kereta lewat di dekatnya. Selain itu juga dengan memasang bola pejal dari beton seberat 3 kg dan alat sapu-sapu atap yang berbentuk seperti sapu lidi. Namun usaha itu sia-sia; banyak dari atapers melempari "senjata" yang disiapkan KAI itu dengan batu, yang mengakibatkan alat tersebut tidak berfungsi.[3]
Ketika KAI membentuk KCJ, anak perusahaannya yang ditugasi untuk mengoperasikan KRL, telah terjadi perubahan yang signifikan. Pemberlakuan tiket elektronik dan penambahan armada baru dari KRL bekas Jepang telah "menyulap" sistem perkeretaapian Jabodetabek yang semrawut menjadi nyaman dipandang. Selain itu, KCJ juga melakukan rekrutmen petugas pengamanan kereta api.[4]
Pada tanggal 28 Februari 2013, sempat terjadi bentrokan oleh para atapers terhadap polisi dan petugas hingga ada petugas yang terluka. Alasan yang mendasari bentrok tersebut disebabkan dari salah satu usaha PT KAI yang kemudian sukses yaitu, membuat peraturan yang menegaskan, jika masih ada penumpang di atas atap kereta (termasuk bergelantungan di pintu, mengganjal pintu otomatis di KRL, bergelantungan di lokomotif maupun naik di kabin masinis), maka kereta tidak akan dijalankan. Ironisnya, setelah kejadian bentrok tersebut, atapers tidak ada lagi saat ini, baik di KRL Commuter Jabodetabek maupun pada kereta jarak jauh dan lokal.[5]