Hasan Mustapa

Revisi sejak 6 September 2007 16.46 oleh Zwobot (bicara | kontrib) (bot Menambah: ms:Hasan Mustapa)

Hasan Mustapa (Cikajang, Garut, 1852-Bandung, 1930). Penghulu besar, ulama, pujangga Sunda yang terbesar. Ayahnya, Mas Sastramanggala, setelah naik haji disebut Haji Usman, camat perkebunan. Meskipun Haji Usman sendiri waktu kecil bersekolah, tetapi Hasan Mustapa tidak disekolahkannya, melainkan disuruh belajar di berbagai pesantren. Pada umur 7 tahun, ia dibawa ayahnya naik haji ke Mekkah, dan sekembalinya disuruh belajar di beberapa pesantren. Pada usia kira-kira 17 tahun dikirim ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama dan bermukim di sana l.k. 10 tahun. Setelah kembali ia masih disuruh belajar lagi kepada beberapa kiai.

Guru-gurunya di tanah air, antara lain Kiai Haji Hasan Basri (Kiara Koneng, Garut), Kiai Haji Yahya (Garut), Kiai Abdul Hasan (Tanjungsari, Sumedang), Kiai Muhamad (Cibunut Garut), Muhamad Ijra'i (murid Kiai Abdulkadir, Dasarema, Surabaya) dan Kiai Khalil (Bangkalan, Madura). Setelah menikah dan beranak satu, sekitar 1880, ia berangkat lagi dengan anak istrinya ke Mekkah untuk belajar lebih jauh. Guru-gurunya di Mekah antara lain Syekh Muhamad, Syekh Abdulhamid Dagastani atau Sarawani, Syekh Ali Rahbani, Syekh Umar Syami, Syekh Mustafa al-Afifi, Sayid Abubakar al-Sathahasbulah, Syekh Nawawi Al-Bantani, Abdullah Al-Zawawi, dan lain lain. Pada waktu itu, Hasan Mustapa sendiri sudah mengajar di Masjidil Haram.

Menurut Dr. Snouck Hurgronje yang berkenalan dengannya di Mekkah, Hasan Mustapa diikuti oleh beberapa lusin murid setiap kali ia mengajar. Menurut Abubakar Djajadiningrat yang memberikan bahan-bahan sumber kepada Snouck Hurgronje, dalam naskah yang bertitimangsa (bertanggal) 17 Desember 1887, Hasan Mustapa mempunyai murid di Masjidil Haram lebih kurang 30 orang, berilmu luas dan telah menerbitkan buku dalam bahasa Arab. Pada sekitar 1885 di Garut timbul pertikaian paham antara golongan tua dengan kaum muda pembaharu yang cukup ramai, sehingga Penghulu Besar Haji Muhamad Musa mengirimkan orang untuk menjemput Haji Hasan Mustapa memenuhi panggilan itu, ia berhasil memadamkan pertikaian paham itu, lalu mendirikan pesantren di Sindangbarang, Garut.

Tahun 1889 ia diajak oleh Dr. Snouck Hurgronje yang ketika itu berada di Jawa (karena tidak diizinkan oleh pemerintah menyelundup ke Aceh), untuk berkeliling di Jawa menemui para kiai terkenal sambil menyelidiki kehidupan agama Islam dan folklor. Catatan Dr. Snouck Hurgronje tentang perjalanannya selama kira-kira dua tahun itu, yang tebalnya 1337 halaman, diikhtisarkan oleh Dr. Ph. van Ronkel kemudian dalam "Aanteekeningen over Islam en folklore in west-en Midden Java" (Bijdragen KITLV No.101, 1942).

Hasan Mustapa dianggap sebagai orang yang benar-benar ahli tentang adat-istiadat Sunda, sehingga kemudian ia diminta menulis buku tentang hal itu (Bab Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta [Bab adat-adat orang proangan dan Sunda selain dari itu], Jakarta, 1913). Tahun 1893, ada lowongan jabatan penghulu besar di Aceh, Dr. Snouck membujuk Hasan Mustapa agar bersedia mengisi lowongan itu. Hasan Mustapa menerimanya dengan berbagai syarat di antaranya agar ia dipindahkan langsung ke Priangan segera setelah ada lowongan. Selama lebih kurang dua setengah tahun menjadi Penghulu Besar Aceh, Hasan Mustapa memberikan laporan-laporan itu, sekarang tersimpan di perpustakaan Universitas Kerajaan di Leiden, Belanda. Belum diselidiki seberapa jauh laporan itu dimanfaatkan oleh Snouck dalam penulisan bukunya tentang Aceh (De Atjehers, dua jilid, Jakarta, 1892-1894).

Selain itu Hasan Mustapa menulis naskah dalam bahasa melayu Kasful Sarair Fihakikati Aceh wa Fidir (Buku Rahasia sebetulnya Aceh dan Fidi) yang sampai sekarang naskahnya tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden. Tahun 1895, Hasan Mustapa dipindahkan dan diangkat menjadi Penghulu Besar Bandung sampai pensiun (1916). Selama menjadi penghulu besar di Bandung sampai setelah pensiun ia banyak menulis karangan dalam bahasa Sunda dan juga dalam bahasa Jawa, baik berupa prosa maupun puisi. Tapi kecuali bukunya tentang adat Sunda dan kemudian beberapa buku kecil yang disunting oleh Wangsaatmadja (yang antara 1923-1930 menjadi sekretarisnya), kebanyakan karyanya tidak pernah diterbitkan sebagai buku. Saluran yang dipakainya untuk menyebarkannya adalah saluran naskah Islam tradisional, yaitu dengan melalui saling salin. Sekretarisnya di Kantor Kepenghuluan Wangsadireja membuat salinan karangan-karangannya itu untuk dikirimkan kepada Dr. Snouck Hurgronje di Leiden dan sampai sekarang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden.

Sekitar tahun 1900 ia menulis lebih dari 10.000 bait Dangding yang mutunya dianggap sangat tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda, umumnya membahas masalah Suluk, terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti). Metafora yang sering yang sering digunakannya untuk menggambarkan hubungan itu ialah seperti rebung dengan bambu, seperti pohon aren dengan caruluk (bahan aren), yang menyebabkan sebagian ulama menuduhnya pengikut mazhab Wihdatul-Wujud. Terhadap tuduhan itu, ia sempat membuat bantahan Injazu'l-Wa'd,fi ithfa-I- r-Ra'd (membalas kontan sekalian membekap guntur menyambar) dalam bahasa Arab yang salah satu salinan naskahnya masih tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden.

Pranala luar

Templat:Link FA