Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta

Revisi sejak 9 September 2007 05.03 oleh Den Mazze (bicara | kontrib)

Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk salah satu propinsi tertua yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Propinsi ini juga memiliki status istimewa, atau dengan bahasa saat ini otonomi khusus, bila dibandingkan dengan propinsi lainnya. Status otsus ini bukanlah turun begitu saja dari langit dan bukan pula, sepanjang tercatat oleh sejarah resmi, hasil dari upaya untuk meredam gejolak separatisme. Status ini boleh dikatakan merupakan sebuah “warisan” dari zaman sebelum kemerdekaan yang kemudian diakui oleh para founding fathers yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI.

Status keistimewaan bagi Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dapat dirunut jauh sekali ke belakang sebelum proklamasi Negara Indonesia. Pada tahun 1749, setelah menderita sakit parah yang berkepanjangan, Raja Mataram kesembilan, Susuhunan Paku Buwono II, menandatangani sebuah perjanjian pendek yang pada intinya “menitipkan” Kerajaan Mataram kepada VOC yang diwakili oleh Gubernur dan Direktur Jawa (lihat naskah di wikisource). Dengan demikian Kerajaan Mataram yang sejak tahun 1677 digerogoti Kompeni bukan lagi sebagai negara berdaulat penuh melainkan hanya semacam kerajaan protektorat dari VOC. Namun, perjanjian tersebut hanya di atas kertas belaka dan baru dilaksanakan sepenuhnya setelah kedatangan Gubernur Jenderal Perancis Daendels serta Letnan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles.

Dengan status semacam protektorat itulah Kesultanan Yogyakarta (mulai 1812) dan juga Kadipaten Paku Alaman (mulai 1813/1829?) diberi hak oleh pemerintah penjajahan Inggris untuk memerintah daerahnya sendiri dengan pengawasan teramat ketat dari gubermen di Buitenzorg/Batavia. Keadaan ini diteruskan oleh Pemerintah Nederlands Indië yang menerima kekuasaan dari Inggris pada 1816 dengan sebutan Zelfbestuurende Lanschappen. Status inilah yang dapat dipandang sebagai asal-usul status istimewa atau otonomi khusus bagi Yogyakarta dalam ketatanegaraan Indonesia. Perlu dicatat bahwa daerah yang tidak memiliki status zelfbestuur hanyalah daerah administratif belaka yang tidak memiliki otonomi sedikitpun dan dikendalikan sepenuhnya oleh Batavia.

Predikat sebagai “Zelfbestuur” bagi dua monarki di Yogyakarta pada waktu itu tidak membawa permasalahan yang berarti karena Hindia Belanda maupun Nederland sama-sama berbentuk monarki. Tidak aneh dalam tata negara sebuah kerajaan kesatuan memiliki beberapa kerajaan vassal di bawahnya. Status ini tidak dihapus pada 1942 oleh Tentara Angkatan Darat XVI Jepang di Jawa, melainkan kedudukannya hanya dialihkan menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang dan Asia Timur Raya dengan sebutan Koti/Kooti. Bahkan pada tahun 1943 Hamengkubuwono IX Yogyakarta Koo pernah mengajukan sebuah konsep Kemaharajaan Jawa kepada Dai Nippon di Betawi. Dalam sidang kedua Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai 10-15 Juli 1945 disepakati bahwa kooti akan menjadi daerah (bukan negara!) yang memiliki “otonomi khusus” atau dalam bahasa saat itu “status istimewa”.

Sementara itu di Yogyakarta sendiri terjadi beberapa perubahan kecil namun cukup signifikan. Pertama, sejak 1942 Hamengku Buwono IX secara pelan namun pasti mengambil kekuasaan yang ada di tangan Pepatih Dalem (Chief of Administrative Officer, berfungsi semacam kepala pemerintahan sehari-hari) dengan cara memindahkan kantor Pepatih Dalem dari nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri) ke Karaton (Kraton/Istana Kerajaan) Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini menyebabkan pihak Kooti Zimukyoku jika ingin berhubungan dengan Pepatih Dalem harus dengan izin Sultan. Dengan demikian Hamengku Buwono IX dapat mengetahui seluruh kegiatan pemerintahan sehari-hari yang diselenggarakan oleh Pepatih Dalem bersama-sama Koti Zimukyoku Tyookan. Kedua, ketika Pepatih Dalem KPHH Danurejo VIII diberhentikan dengan hormat atas permohonan sendiri pada 14 Juli 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) tidak mengangkat Pepatih Dalem untuk menggantikannya. Sultan HB IX lebih memilih untuk mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan sehari-hari yang sebelumnya ada di tangan Pepatih Dalem. Untuk membantu melaksanakan kekuasaan tersebut Sultan HB IX membentuk beberapa Departemen Pemerintahan modern yang disebut dengan Paniradya yang dikepalai oleh Paniradyapati. Pembaruan pemerintahan ini diumumkan pada 1 Agustus 1945.