Bhikkhu Jinadhammo Mahathera atau Bhante Jin merupakan salah satu dari lima bhikkhu yang pertama kali ditahbiskan oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita di Candi Borobudur pada tahun 1970. Ia juga termasuk sebagai bhikkhu dengan vassa tertua di Indonesia yang masih tetap lincah dan bersemangat dalam mengembangkan Buddha Dharma, khususnya di Indonesia. Ia dikagumi bukan saja karena kesederhanaan hidupnya, tetapi juga keteguhan prinsipnya.[1]

Jinadhammo
Lahir(1944-09-03)3 September 1944
Indonesia Desa Gempok, Simo, Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia
PekerjaanBhikkhu

Bhikkhu Jinadhammo dikenal sangat disiplin dalam tata susila (vinaya). Ia juga banyak melakukan sumbangsih seperti pembangunan vihara, menjadi guru dan dosen Agama Buddha, mengikuti aktivis-aktivis Buddhis, sekolah, proyek sosial, dan sebagainya. Seorang aktivis Buddhis berkata:[1]

"Bhante Jinadhammo itu titisan Raja Sriwijaya. Ia membuat Buddha Dharma berkilau di Pulau Sumatera. Kilaunya sampai ke seluruh pelosok nusantara."

Biografi

Masa kecil

Bhikkhu Jinadhammo dilahirkan di Desa Gempok, Simo, Boyolali, Jawa Tengah, pada tanggal 3 September 1944 dengan nama kecil Soenardi. Ayahnya bernama Adma Mustam dan ibunya Sadiem. Ia bukan berasal dari keluarga Buddhis.[1][2] Ia adalah putera ketiga dari enam bersaudara.[3]

Sunardi kecil sering sakit-sakitan. Terlebih karena Indonesia baru merdeka, keluarganya selalu berpindah-pindah ke berbagai pelosok Jawa[1] untuk menghindari perang. Pada waktu itu, makan nasi dengan lauk kacang serta minum air kendi gentong yang ada di Lembaga Sosial Desa (LSD) sudah merupakan suatu yang sangat nikmat dan patut disyukuri. Ia pernah menderita sakit cacar ular yang hampir merengut nyawanya.[2] Namun, ia tetap bisa menamatkan Sekolah Rakyat dan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi karena semangat belajarnya cukup tinggi. Setiap hari Sabtu, ada kegiatan ekstrakulikuler dari sekolah, Beliau memilih pengajaran ketrampilan mencukur rambut yang diajarkan sekolah. Beliau tidak menjadi tukang cukur, hanya belajar mencukur tiap hari Sabtu. [1]

Kerajinan tangan

Semasa di Sekolah Rakyat, Sunardi sangat menyukai kerajinan tangan.[3] Semasa di SMP, ada kegiatan krida setiap hari Sabtu, yaitu kegiatan yang mengajarkan siswa-siswi keterampilan agar dapat hidup mandiri di tengah masyarakat.[2] Sunardi terampil mengukir batu dan batok kelapa serta membuat anyaman daun pandan menjadi topi dan sebagainya, setidaknya sebagai hiburan dalam suasana perang. Sewaktu menerima upahan tetangga untuk mengembalakan ternak kerbau dan kambing, ia menunggu gembalaannya sambil mencari batu atau sesuatu yang bisa diukir.[3]

Wayang kulit

Sunardi remaja kerap mengunjungi tempat-tempat keramaian, terutama pertunjukkan wayang kulit. Ia betah menonton pagelaran wayang kulit berhari-hari sampai hapal dengan lakon dan tokoh pewayangan. Rudiyanto Tan, Pimpinan Redaksi Majalah Dhammavira, berkata:[1]

"Bhante Jinadhammo itu menguasai sekali masalah perwayangan. Satu kali, kami pernah membahas hal ini, mulai dari Ramayana, Mahabrata, sampai dengan lakon Asmara Bhumi."

Pelatihan militer

Setelah lulus, Soenardi mengikuti pelatihan militer selama 6 bulan. Di sana, ia mempelajari disiplin yang sangat keras. Suatu hari ada seorang rekan yang mencuri senjata, harganya tidak mampu terbayar meski harus menjual tanah dan rumah. Soenardi ditugaskan menemukan kembali senjata tersebut dan akhirnya berhasil menemukan rekannya untuk diserahkan ke komandan. Ternyata rekannya malah dipukuli hingga babak belur. Kekerasan fisik tersebut membekas di hati Soenardi sehingga ia memilih untuk mengundurkan diri dari pelatihan dan kembali ke rumah.[2]

Awal kehidupan religius

Mengenal agama Buddha

Sunardi mengenal agama Buddha saat ia bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Ia penasaran dengan kemegahan candi tersebut, tentang pemembuatnya, untuk apa dibangun, dan apa manfaatnya. Pertanyaannya terjawab ketika Sunardi membaca Majalah Mutiara Minggu yang memuat tentang agama-agama besar di Indonesia. Sunardi menjadi tertarik dengan Agama Buddha dan sejak itu ia rutin mempelajari Agama Buddha melalui majalah sederhana tersebut.[1][3]

Menjadi Upasaka

Sunardi akhirnya bertemu dengan Ashin Jinarakkhita di Bandung. Dari Bhikkhu Ashin, Sunardi giat mempelajari Paritta-Paritta suci dan Buddha Dharma secara mendalam. Akhirnya ia dipilih sebagai pemimpin kebaktian (Upacarika) untuk mahasiswa-mahasiswi di Vihara Vimala Dharma, Bandung, di awal tahun 1960. Hal ini membawanya bergabung dalam organisasi Agama Buddha di Bandung pada tahun 1962. Setelah setahun di Bandung, Sunardi ditugaskan Ashin Jinarakkhita untuk mengembangkan Buddha Dharma di wilayah Sumatera, khususnya Medan, Padang, dan Pekanbaru.[1]

Sunardi ditahbiskan sebagai upasaka oleh Ashin Jinarakkhita kemudian sering mendampinginya berkeliling Sumatera, bahkan Indonesia. Hal tersebut menjadi kebanggaan tersendiri karena dapat terpilih sebagai upasaka Ashin Jinarakkhita.[1] Setelah mengabdi selama tiga tahun di Sumatera. Ia berlatih Vippassana-Bhavana intensif dibawah bimbingan langsung Ashin Jinarakkhita bersama dengan puluhan peserta lain dengan disiplin yang ketat dan keras. Dalam pelatihan tersebut, Upasaka Sunardi mempunyai pengalaman yang sangat berkesan. Ia adalah pribadi yang menyukai kebersihan dan paling tidak suka melihat tempat yang kotor dan tidak dibersihkan. Dalam pelatihan, ia terusik keberadaan sarang laba-laba di tempatnya latihan dan segera tergerak untuk membersihkan sabut. Namun, sebelum sempat terjadi, Ashin Jinarakkhita membentaknya untuk menggunakan waktunya dengan sebaik-baiknya. Bentakan tersebut meninggalkan kesan yang kuat bagi Samanera Sunardi dan ia menjadi salah satu dari lima peserta yang dinyatakan lulus dari sekian puluh orang peserta.[3]

Penahbisan

Upasaka Sunardi ditahbiskan menjadi samanera oleh Ashin Jinarakkhita dengan nama Dhammasushiyo.[1] Sebelumnya, Ashin Jinarakkhita sering meminta Upasaka Sunardi untuk menjadi Samanera karena jumlah Bhikkhu di Indonesia pada masa itu dapat dihitung jari tangan. Sampai enam tahun, Upasaka Sunardi terus menolak hingga akhirnya Ashin Jinarakkhita berkata:

"Mengapa bukan Jenderal Gatot Subroto? Mengapa Jenderal Sumantri? Mengapa bukan Maha Upasaka Mangun Kawotjo yang menjadi Bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha? Mengapa saya yang menjadi Bhikkhu? Itu karena saya membayar hutang."

Mendengar pertanyaan itu, Sunardi yang asli berdarah Jawa sebagaimana Jendral Gatot Soebroto, Sumantri, dan M.U. Mangun Kawotjo, merasa tergugah dan membulatkan tekad untuk menjadi anggota Sangha.[3]

Akhirnya Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi seorang Bhikkhu. Beliau diupasampada dengan nama Bhikkhu Jinadhammo, bersama dengan empat orang samanera lain. Upacara upasampada dilakukan di stupa induk Candi Borobudur, bertepatan dengan hari Vesakha Puja, tanggal 08 Mei 1970. Penabhisan kelima samanera menjadu Bhikkhu tersebut dilakukan oleh:

1. Phra Sasana Sobana (kelak menjadi Somdet Phra Nana Samvara Somdet Phra Sangharaja - wafat) sebagai Upajjhaya.

2. Phra Dhammasobhana (gelar terakhir Phra Nanavarodom - wafat) dan Phra Kru Palat Atthacariyanukit (gelar terakhir Phra Rajvaracharn / Bhikkhu Vin - wafat) sebagai Acariya.

3. Phra Kru Palat Sambibatanaviriyacariya ( Gelar terakhir Phra Dhammacetiyacharn / Bhikkhu Suvirayan).

4. Phra Khantipalo.

5. Phra Subhato (Muktar Rashyid - wafat).

Kelima orang Samanera yang menjadi Bhikkhu pada saat itu adalah, yaitu Samanera Jinasuryabhumi (U.P.Dhamapala atau Nirihuwa Bermandus, kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Aggajinamitto), Samanera Dhammasila (Tan Hiap Kik, kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Uggadhammo), Samanera Dhammavijaya (Tiong Khouw Siw, dikenal dengan Bhikkhu Sirivijoyo, telah lepas jubah), Samanera Dhammasushiyo (Soenardi, yang dikenal dengan nama Bhikkhu Jinadhammo) dan Samanera Dhammabhumi (Djumadi, dikenal sebagai Bhikkhu Saccamano, telah lepas jubah), mereka diupasampada menjadi bhikkhu.[1]

Perjalanan sebagai Bhikkhu

Masa pelatihan

Bhikkhu Jinadhammo menetap selama sekitar 3 tahun di Wat Bowonniwet Vihara Rajavaravihara, yang merupakan pusat pembelajaran Dhamma tradisi Thammayut Nikaya, Setelah Beliau berlatih meditasi di Wat Ban Tad, Udonthani, Timur Laut Kota Bangkok, dibawah pengawasan Ajahn Maha Boowa Nanasampanno selama sekitar tiga tahun. Wat Ban Tad adalah salah satu nama vihara sekaligus pusat pelatihan meditasi terkenal di Muangthai, selain Wat Ba Phong tempat Ajahn Chah melatih murid-muridnya.

[1] Ketika tinggal di vihara hutan, ia mengalami kesederhanaan kehidupan para Bhikkhu di sana. Pagi-pagi sekali mereka keluar untuk Pindapatta dari rumah ke rumah. Dari setiap rumah, seorang Bhikkhu menerima nasi ketan secuil yang dikumpulkan hingga menjadi banyak. Lauknya biasanya adalah katak rebus atau ulat kelapa. Karena mengambil penahbisan sebagai Bhikkhu Theravada, ia diperbolehkan untuk mengonsumsi daging asalkan tidak dengan membunuh sendiri atau menyebabkan makhluk tersebut dibunuh.[3]

Setelah sekitar tiga tahun bermeditasi, Bhikkhu Jinadhammo kembali ke Indonesia dan bertugas untuk membina Umat Buddha di Pulau Sumatera. Ia bermukim di Vihara Borobudur, Medan.[1]

Pelayanan

Bersama Wirawan Giriputra dan Otong Hirawan, Bhikkhu Jinadhammo bekerja keras memajukan Agama Buddha di Kota Medan. Ia berjasa mendatangkan tenaga pengajar Agama Buddha dari pulau Jawa ke Sumatera, khususnya Medan dan sekitarnya. Ia juga mengangkat guru-guru tersebut sebagai upasaka pandita agar dapat mewakili Sangha yang pada masa itu tercatat masih sangat minim jumlahnya. Guru-guru tersebut antara lain Pandita Widyaputra Suwidi Sastro Atmojo yang berperan besar mendirikan Vihara Buddha Jayanti di Rantau Prapat dan Pandita Kumala Kusumah yang berjasa memajukan pendidikan Agama Buddha di Kisaran.[1]

Bhikkhu Jinadhammo antusias melaksanakan program latih diri Umat Buddha, misalnya Program Latih Diri Vipassana Bhavana rutin, Pekan Penghayatan Dharma, Latih diri Atthangasila/Pabbaja Samanera-Samaneri, dan sebagainya. Didukung Romo Ombun Natio, Bhikkhu Jinadhammo menggagas pendirian Institut Agama Buddha Smaratungga Cabang Medan (sekarang bernama Sekolah Tinggi Agama Buddha Bodhi Dharma). Ia juga memiliki banyak anak asuh dari keluarga Buddhis kurang mampu yang berkeingan melanjutkan pendidikan.[1]

Tsunami Aceh

Bhikkhu Jinadhammo pertama kali datang ke Banda Aceh pada tahun 1976 dan selanjutnya melakukan perjalanan ke berbagai wilayah Aceh. Pada tanggal 23 Desember 2004, ia datang ke Banda Aceh ditemani oleh Bhikkhu Paññasami. Pada Tanggal 24 Desember 2004, ia datang ke Museum Negeri Banda Aceh yang memiliki koleksi lonceng besar Cakra Donya atau Poros Dunia, hadiah dari Kerajaan Cina yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho. Legenda setempat mengatakan bahwa lonceng tersebut tidak boleh dipukul karena bisa mendatangkan bencana. Pada saat itu, ternyata ada seorang pengunjung yang memukul lonceng. Pada malam harinya, Bhikkhu Paññasami mengisahkan bahwa Bhante Jinadhammo terus-menerus merasa kepanasan. Ia juga terus menghindari pertanyaan umat di Vihara Buddha Dhamma yang menanyakan mengenai mimpinya. Ia hanya berpesan agar jangan pergi jauh-jauh dari rumah karena bencana sudah dekat. Ternyata, rasa panas yang dialami Bhikkhu Jinadhammo disebabkan ia bermimpi merasakan lumpur yang sangat panas dan banyak mayat bergelimpangan.[2]

Tanggal 25 Desember 2004, Bhikkhu Jinadhammo dan Bhikkhu Paññasami berangkat menuju Sabang. Tanggal 26 Desember 2004 pukul 06.00, keduanya dengan ditemani tujuh orang umat kembali ke Banda Aceh dengan naik kapal feri melalui Pelabuhan Balohan, Pulau Weh. Pukul 08.30 terjadi gempa kecil, semua penumpang bergegas naik karena kapal dijadwalkan untuk berangkat pukul 08.30. Setelah berlayar sekitar 100 meter dari pantai, Bhikkhu Paññasami melihat ada kejanggalan, karena air tiba-tiba menyusut hampir 500 meter jauhnya. Para penumpang melihat daratan mengalami gempa besar, tetapi di laut tidak terasa apa-apa. Sesampai di Banda Aceh, kapal tidak bisa berlabuh karena wilayah tersebut sudah dihantam tsunami semenjak mereka masih di Sabang. Kapal feri kembali ke Balohan dan melihat pelabuhan sudah roboh. Kapten bersikeras supaya para penumpang segera turun dan menuju daratan tinggi. Malam itu, rombongan Bhikkhu Jinadhammo menginap di Vihara Dewa Bumi, tetapi ada gempa susulan. Rombongan akhirnya memutuskan pergi ke gedung kantor walikota yang berada di tempat lebih tinggi. Sinyal telepon dan listrik terputus.[2]

Tanggal 27 Desember 2004, rombongan Bhikkhu Jinadhammo menginap di Hotel Sabang yang dimiliki oleh seorang ketua yayasan vihara di Aceh. Tanggal 28 Desember 2004, atas permintaan seorang umat yang mengkhawatirkan keluarganya, mereka pulang ke Banda Aceh yang telah hancur. Malam harinya, Bhikkhu Jinadhammo dan Bhikkhu Paññasami membaca doa pelimpahan jasa untuk para korban tsunami, sementara di luar para umat Nichiren Shoshu berkumpul memanjatkan doa keselamatan. Sementara itu di Medan, umat Vihara Borobudur sangat mengkhawatirkan keselamatan Bhikkhu Jinadhammo karena terputusnya jaringan komunikasi. Tanggal 29 Desember 2004, atas bantuan seorang relawan Tzu Chi, Bhikkhu Jinadhammo dapat pulang ke Medan.[2]

40 Vassa

Perayaan 40 Vassa Bhikkhu Jinadhammo dirayakan di Vihara Buddha Dharma, Bagan Batu, yang dilanjutkan dengan perayaan Kathinadana. Perayaan juga dimeriahkan pahelaran wayang kulit dengan lakon Bisma Gugur.[4]

Penghargaan

Pada Oktober 1998, dalam rangka ulang tahun Raja Bhumibol, Kerajaan Thailand memberikan penghargaan kepada para bhikkhu senior mancanegara, termasuk Bhikkhu Jinadhammo. Kipas Penghargaan dan Kathinadana diserahkan oleh Putri Galyani Vadhana, yaitu kakak dari raja, atas nama Raja Bhumibol. Ia didampingi oleh Duta Besar Thailand untuk Indonesia dan rombongan Vihara Borobudur, Medan.[4]

Pemerintah Thailand, melalui Samangama Mahathera yang merupakan komite Sangha di Thailand, menganugerahkan gelar Phra Khru Buddhadhamprakat kepada Yang Mulia Bhikkhu Jinadhammo Mahathera pada hari Selasa, 8 Januari 2013. Gelar tersebut diterjemahkan sebagai Penyebar Buddha Dharma, diberikan kepada Bhikkhu Jinadhammo Mahathera atas jasa-jasanya dalam mengembangkan agama Buddha di Indonesia. Ia adalah satu-satunya Bhikkhu Indonesia dari antara 500 bhikkhu sangha dari berbagai wilayah negara yang dinilai memiliki prestasi pengabdian luar biasa dalam mengembangkan ajaran Buddha Dharma di daerahnya masing-masing. Upasaka Ir. Ony Hindra Kusuma, MBA., selaku Ketua Majelis Buddhayana Indonesia Provinsi Sumatera Utara (MBI Sumut), memberikan sambutan:

"Kami mewakili Keluarga Buddhayana Indonesia khususnya dari provinsi Sumatera Utara merasa ber-mudita dan berbangga hati dalam arti yang positif, atas penghargaan yang diterima oleh Yang Mulia Bhikkhu Jinadhammo Mahathera."[5]

Pandangan hidup

Dalam pengabdiannya, Bhikkhu Jinadhammo dikenal sebagai sosok non-sekterian. Meski tercatat sebagai salah satu senior di Sangha Agung Indonesia, ia juga menjadi penasihat Cetiya Maha Sampatti dan Vihara Maha Sampatti yang berada di bawah naungan Sangha Theravada Indonesia. Ia juga sering memberi ceramah dan menghadiri perayaan hari besar Agama Buddha di vihara-bihara Mahayana.[1]

Nasihat

  1. "Agama hanya sebagai baju saja, bicaranya saja yang peduli, tapi nyatanya tidak sama dengan yang diomongkan, kalau mau jadi siswa Buddha, ya jangan begitu.... jalannya muluk-muluk dan tidak mengerti sama sekali, malu pada umat lain."[6]
  2. "Dhamma itu mencakup semuanya, bukan hanya (untuk) yang baik-baik saja, namun juga yang buruk; bukan hanya (untuk) yang benar-benar saja, namun juga yang salah-salah."[2]
  3. "Sedikit sekali manusia yang tahu berterima kasih. Jadilah orang yang selalu berterima kasih kepada setiap hal yang datang dan kepada semua orang yang pernah menjadi guru."[2]
  4. "Umat Buddha banyak yang pandai liam keng dan menghafal sila di luar kepala, namun apakah sila-sila itu sudah dipraktikkan? Jangan sampai teorinya yang bagus tapi praktiknya tidak becus. Kalau Pañca Sīla benar-benar dipraktikkan, orang dijamin masuk surga dan bisa menjadi orang suci."[2]
  5. "Setiap orang punya kepintaran, tapi kepintaran itu tidak bekerja sendiri-sendiri. Kita harus saling mengisi dan dapat bekerja sama." "Kesadaran akan kebersamaan itu penting, terutama kerja sama tim dalam menyelenggarakan suatu acara agar berjalan baik dan sukses."[2]
  6. "Ingat, jangan percaya dan terima bersih begitu saja perkataan orang, sekalipun dari orang yang sangat kita percaya. Setiap hal harus dibuktikan kebenarannya."[2]
  7. "Jangan menilai dari barang, persahabatan lebih diutamakan daripada pemberian barang."[2]
  8. "Di dunia ini semua kondisi tidak tetap dan hendaknnya dapat diterima apa pun kondisinya, baik sakit maupun sehat, baik sedih maupun senang. Bila dapat menerima segala kondisi, maka kita dapat merasakan kebahagiaan."[2]

Testimonial

  1. "Bhante Jinadhammo Mahāthera adalah seorang bhikkhu yang sangat sederhana, mendedikasikan diri bagi perkembangan agama Buddha Indonesia. Ia telah mewariskan nilai-nilai kearifan lokal dan Dharma dalam kehidupan secara sederhana dan bersahaja." (Bhikkhu Ñāņasuryanadi Mahāthera - Ketua Umum Sangha Agung Indonesia)[2]
  2. "Bhante Jinadhammo Mahāthera sangat dihormati karena ia memberikan kearifan, kasih sayang, konsistensi, dan kesabaran dengan perilaku keteladanan kepada semua umat Buddha." (Bhikkhu Sri Paññavaro Mahāthera - Kepala Sangha Theravāda Indonesia)[2]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Tim Thammavira. 2009. Y.M Bhikkhu Jinadhammo Mahathera, Majalah Dhammavira.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Tim Indonesia Vidya Carita. Desember 2012. "Warisan Eyang - Biografi Bhikkhu Jinadhammo Mahāthera". ISBN 978-602-8194-06-8. Cetakan 1. Medan: Indonesia Vidya Carita.
  3. ^ a b c d e f g Dharma Prabha. 18 Oktober 2012. Buku. Riwayat hidup Bhikkhu Jinadhammo Mahathera.
  4. ^ a b Panitia Perayaan 40 Vassa Bhikkhu Jinadhammo Mahathera. Juni 2010. Catatan dalam Gambar Pengabdian 40 Vassa Bhikkhu Jinadhammo Mahathera.
  5. ^ Bus Sinabung Jaya. 12 Januari 2013. PENGANUGERAHAN GELAR PHRA KHRU BUDDHADHAMPRAKAT KEPADA YM BHIKKHU JINADHAMMO MAHATHERA.
  6. ^ Fudin Pang. 26 April 2012. Kutipan Bhikkhu Jinadhammo Maha Thera.

Pranala luar