Kerajaan Kutai Martapura

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 10 Juni 2015 01.56 oleh Nohirara (bicara | kontrib) (←Suntingan 180.249.172.39 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Anandasoni)

Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.[2][3] Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.

Kerajaan Kutai Martadipura
350[1]–1605
Ibu kotaMuara Kaman,Kalimantan Timur
Bahasa yang umum digunakanBahasa Melayu (dialek Kutai)
Agama
Hindu
PemerintahanMonarki
Maharaja 
• 350-375
Kudungga
• 400-446
Mulawarman Nala Dewa
• 1534-1605
Derma Setiya
Sejarah 
• Didirikan
350[1]
• Diambil alih oleh Kutai Kartanegara
1605
Digantikan oleh
kslKesultanan
Kutai Kartanegara
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Sejarah

Yupa

 
Salah satu yupa dengan inskripsi, kini di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para brahman atas kedermawanan raja Mulawarman. Dalam agama hindu sapi tidak disembelih seperti kurban yang dilakukan umat islam. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Dapat diketahui bahwa menurut Buku Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno yang ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto yang diterbitkan oleh Balai Pustaka halaman 36, transliterasi prasasti diatas adalah sebagai berikut:

śrīmatah śrī-narendrasya; kuṇḍuṅgasya mahātmanaḥ; putro śvavarmmo vikhyātah; vaṅśakarttā yathāṅśumān; tasya putrā mahātmānaḥ; trayas traya ivāgnayaḥ; teṣān trayāṇām pravaraḥ; tapo-bala-damānvitaḥ; śrī mūlavarmmā rājendro; yaṣṭvā bahusuvarṇnakam; tasya yajñasya yūpo ‘yam; dvijendrais samprakalpitaḥ.

Artinya:

Sang Mahārāja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Aśwawarmman namanya, yang seperti Angśuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aśwawarmman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci). Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mūlawarmman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mūlawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana.

Aswawarman

Aswawarman adalah Anak Raja Kudungga.Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.

Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.

Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.

Mulawarman

 
Prasasti Kerajaan Kutai

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.

Berakhir

Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu ibukota di Kutai Lama (Tanjung Kute).

Kutai Kartanegara inilah, pada tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

Nama-Nama Raja Kutai

 
Peta Kecamatan Muara Kaman
  1. Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)
  2. Maharaja Asmawarman (anak Kundungga)
  3. Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman)
  4. Maharaja Marawijaya Warman
  5. Maharaja Gajayana Warman
  6. Maharaja Tungga Warman
  7. Maharaja Jayanaga Warman
  8. Maharaja Nalasinga Warman
  9. Maharaja Nala Parana Tungga Warman
  10. Maharaja Gadingga Warman Dewa
  11. Maharaja Indra Warman Dewa
  12. Maharaja Sangga Warman Dewa
  13. Maharaja Candrawarman
  14. Maharaja Sri Langka Dewa Warman
  15. Maharaja Guna Parana Dewa Warman
  16. Maharaja Wijaya Warman
  17. Maharaja Sri Aji Dewa Warman
  18. Maharaja Mulia Putera Warman
  19. Maharaja Nala Pandita Warman
  20. Maharaja Indra Paruta Dewa Warman
  21. Maharaja Dharma Setia Warman

Lain-lain

Nama Maharaja Kudungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.

Referensi

  1. ^ Krisna Bayu Aji (2014). Ensiklopedia Raja-Raja Nusantara: Menyingkap Tuntas Riwayat Hidup Raja-Raja Nusantara. Indonesia: Araska. ISBN 9786023000005. 
  2. ^ Hinduism and Buddhism in the archipelago, 4th-13th centuries
  3. ^ States and courts in the archipelago, ca A.D. 450

Pranala luar