Kelir

layar tempat memainkan wayang
Revisi sejak 6 Oktober 2016 05.20 oleh AABot (bicara | kontrib) (Robot: Perubahan kosmetika)

Kelirdi dalam istilah [[pedalangan]] lebih menunjuk kepada layar tempat memainkan boneka wayang.Sedangkan istilah lain juga berarti warna, misalnya saya memakai baju dengan [[kelir]] [[merah]], berarti memakai bau berwarna merah.

'''Kelir''' dalam kaitannya dengan [[pergelaran]] wayang adalah sebuah layar berwarna putih benbentuk empat persegi panjang dengan panjang 2 hingga 12 meter dan lebar 1,5 hingga 2,5 meter. Namun pada perkembanganya ada yang membuat kelir dengan bentuk setengah lingkaran, kelir Ki Entus Susmono Dalang dari Tegal Jawa Tengah.

Seperti dikataka oleh Redi Suta seorang dalang Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta bahwa panjang kelir yang dipergunakan oleh Keraton Surakarta antara 3,75 meter sampai 4 meter. Kelir ukuran 3,75 meter untuk pementasan wayang [[Kyai Para]], yang dalam pergelaranya boleh dilihat oleh [[penonton]] umum dan peralatan ini juga disewakan kepada masyarakat luas yang membutuhkannya.

Sedangkan kelir panjang 4 meter untuk wayang [[Kyai Jimat]], [[Kyai Kadung]] dan [[Kyai Kanyut]]. Ketiga jenis wayang ini hanya dipergelarkan khusus untuk keluarga Raja saja.Di daerah Surakarta panjang kelir antara 2meter ,3,75 meter,4 dan 6 meter.

Hal tersebut karena masyarakat [[pedalangan]] di Surakarta meniru atau berkiblat kepada ukuran kelir yang ada di Keraton Kasunanan Surakarta. Kelir yang terpendek biasanya hanya digunakan untuk kebutuhan belajar bagi para calon Dalang, tanpa menggunakan simpingan.

Menurut K.P.A Kusumadilaga, bagian kelir baik panjang dan lebarnya dibagi menjadi tiga bagaian, pertama bagian tengah diukur dari tengah-tengah kelir di mana terdapat Blencong atau lampu untuk menerangi pergelaran. Kedua, bagian samping kanan jaraknya satu lengan dari tangan kanan Dalang, diperuntukan sebagai tempat simpingan wayang kanan. Ketiga, bagian kiri, jaraknya satu lengan lebih satu jengkal dari tangan Dalang, sebagai tempat simpingan wayang kiri.

Mengapa bagian kiri kelir yang untuk memainkan wayang lebih panjang satu [[jengkal]] dibagian kanan Dalang? hal ini untuk mengantisipasi adegan kerajaan, karena kiri tempat [[pungawa]] raja menghadap, yang jumlahnya pasti lebih banyak dibandingkan sebelah kanan yang untuk menancapkan Raja dan [[dayang-dayang]] saja. Sedangkan lebar kelir Menurut [[Kusumadilaga]] dibagi tiga baian juga. Pertama, bagian atas yang disebut dengan langitan, bagian tengah [[jagatan]] dan bagian bawah [[palemahan]] (Kamajaya, Sudibya Z.Hadi Sucipto 1981:51-52).

Kelir ini terbuat dari bahan kain sejenis catoon bukan nilon atau orang jawa sering menyebutnya [[mekao]]. Bahan ini dipilih karena tidak terlalu licin sehingga jika wayang ditempelkan ke kelir tidak akan mudah goyang ke kanan dan ke kiri, dalang bisa mengendalikan gerak wayang dengan mudah.

Di semua sisi pinggirnya kelir di balut dengan kain warna hitam, dengan lekukan tertentu. Sisi atas disebut sebagai [[pelangitan]] sedangkan sisi bawah disebut [[palemahan]]. Disebut [[pelangitan]] karena letaknya di atas dan difungsikan sebagai langitnya wayang. Bila suatu tokoh boneka wayang dalam posisi [[terbang]], maka akan sampai menyentuh kelir bagian atas ini. Sedangkan [[palemahan]] berasal dari kata [[lemah]] yang berarti tanah sehingga dalam pakeliran lebih difungsikan sebagai tempat berpijaknya wayang. Jika tancepan wayang di atas garis [[palemahan]], wayang tersebut akan terlihat mengambang.

Sisi kanan kiri kelir dijahit berlubang untuk tempat meletakkan [[sligi]], yakni semacam tiang kecil yang terbuat dari bambu atau kayu untuk membentangkan kelir di bagaian kanan dan kiri yang ditancapkan pada batang pisang di bagian bawahnya sedangkan bagian atas dihubungkan dengan [[gawangan]] kelir.

Disi atas dan bawah kelir juga di jahitkan besi benbentuk bulatan atau segitiga kecil yang berfungsi untuk mengencangkan kelir dengan tali di bagian atas yang bernama [[pluntur]] dan dengan [[placak]] atau [[placek]] di bagian bawah.

Informasi tentang pertunjukan wayang menggunakan kelir sudah ada sejak abad XII, seperti yang termuat dalam kitab Wrettasancaya yang dilukiskan dengan kata-kata "Lwir mawayang tahen gati nikang wukir kineliran himarang anipis". Tulisan tersebut diterjemahkan oleh Kern "Semua pepohonan seperti wayang dengan mega-mega yang mengawang menutupi seperti kelir atau layar. (Hazeu 1978:42).

Berita lain adanya kelir juga termuat dalam Kitab Tantu Panggelaran, bahwa [[pertunjukan]] wayang sudah menggunakan kelir. Hal itu diceritakan turunnya para dewa ke mayapada yakni, Batara Icwara (Syiwa), Batara Brahma dan Batara Wisnu mendalang dengan menggunakan peralatan [[pangung]] dan kelir atau layar. (1979: 42-44).

Pada perkembangannya bentuk kelir ini tidak hanya benbentuk empat persegi panjang, tetapi untuk kebutuhan tertentu kelir ada yang dibuat dengan bentuk setengah lingkaran sebagaimana separoh bola dunia dengan bergambarkan pulau-pulau di sisi bagian atas. Kelir sangat berkaitan erat dengan [[gawangan kelir]], [[gedebog]], [[tapakdoro]], kotak wayang, keprak, [[samir]] atau [[semyok]].

Referensi

  • Hazeu, G.A.J, dan RM.Mangkoedimedjo 1979 Kawruh Asalipun Ringgit Sarta magepokanipun Kaliyan Agami Ing Jaman Kino. Trans. Sumarsana, Transk. Harjana HP. Jakarta : Proyek Penerbitan Buku Bacaan dab Sastra Indonesia dan daerah.
  • Kamajaya dan Sudibyo Z. Hadi Sucipto 1981 Sastramiruda. Jakrata: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan daerah.