Bungaya, Bebandem, Karangasem
Desa Bungaya merupakan salah satu dari dari Desa yang terletak di Ibu Kota Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Desa Bungaya didukung oleh 15 Banjar Adat, 2 Desa Dinas dan 17 Desa Adat penyanggra Dangsil.
Bungaya | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Bali | ||||
Kabupaten | Karangasem | ||||
Kecamatan | Bebandem | ||||
Kode pos | 80861 | ||||
Kode Kemendagri | 51.07.06.2001 | ||||
Luas | ... km² | ||||
Jumlah penduduk | 4.354 jiwa [1] | ||||
Kepadatan | ... jiwa/km² | ||||
Jumlah KK | ... KK | ||||
|
Sejarah
Desa Bungaya bersama dengan Desa Bungaya Kangin adalah salah satu desa tua di Bali. Desa adat ini terdiri atas 13 banjar adat dengan jumlah penduduk kurang lebih 15.000 jiwa dan 3.021 KK. Desa Bungaya merupakan desa tua yang pernah menjadi pusat pemerintahan Raja Gelgel (Dalem Waturenggong), di mana pada saat pemberontakan Maruti, I Gusti Batan Jeruk gugur di Desa Bungaya ini tepatnya di Jungutan/Penataran pada abad ke-16 dan termuat dalam Babad Dalem. Dalam perkembangannya sampai dengan pemerintahan Raja Gelgel Dalem Dimade, telah dikukuhkan I Gusti Alit Ngurah Bungaya keturunan Pangeran Asak/Arya Kepakisan sebagai pemacek (pemimpin) Desa Bungaya pada abad ke-18. Ini dibuktikan dengan pemberian 40 buah Biring Agung besin tumbak dan 40 keris iluk Bungaya serta sawah dan pelaba sebanyak 108 saih (tanpa pipil) untuk biaya upacara (aci) seperti Usaba Dalem, Usaba Aya, Usaba di Pura Puseh, Balai Agung, dll.
Bukti Desa Adat Bungaya sebagai desa tua dapat dilihat dari tatanan kehidupan adat-istiadatnya sangat melekat sampai sekarang, di antaranya, adanya peninggalan sejarah berupa instrumen Selonding atau dapat disebut palinggih Ida Batara Bagus Selonding yang berasal dari zaman kerajaan Raja Bali lebih kurang abad ke-10 yaitu pada pemerintahan Sri Wira Dalem Kesari dengan Pemerajan Selondingnya di Besakih. Secara autentik, sejarah desa bungaya sulit dipecahkan dikarenakan prasasti desa bungaya telah lama sirna akibat pengaruh kekuasaan politik di jaman Raja Karangasem, dikisahkan kembali oleh Gede Wayan Tamu dan Penyarikan Desa, De Salah Darmana, bahwa Ki Bendesa Bungaya yang dijabat oleh De Kabayan Sakti (I Gusti Ngurah Kubayan Bungaya) dianggap congah/congkak (durhaka) pada raja saat membawa bawaan ke Puri Karangasem, akibatnya Prasasti Desa Bungaya diamankan oleh pihak istana dan dibawa ke Lombok oleh seorang bendega kapal menggunakan kapal dagang cina waktu itu, di tengah perjalanan kapal dihadang gelombang besar dan angin kencang yang diyakini amembawa pusaka keramat yang dititipkan oleh Raja Karangasem. Ketika akhirnya perahu tersebut terdampar di Tulamben maka ditaruhlah pusaka titipan raja tersebut di cabang pohon jarak. Setelah itu ia melanjutkan kembali perjalanan dengan lancar ke Lombok dan pulau Jawa. Prasasti titipan raja tadi kemudian ditemukan dan diambil oleh seorang penggembala sapi dan diberikan ke Bendesa Tulamben, sejak saat itu keluarga dari bendesa ini menjadi sering tertimpa musibah dan sakit-sakitan, dak karena hal inilah kemudian prasasti ini diberikan pada teman baiknya bernama Pasek Sri Bubun (Bendesa Songan). Kemudian ada pula yang menyebutkan pernyataan Dalem De Made (Raja Gelgel 1665-1686) kepada I Gusti Ketut Alit Ngurah Bungaya (Pemimpin Desa Adat Bungaya) yang meminta agar dicarikan nyuh aya (kelapa besar), dan setelah dapat dan diperlihatkan kepada Dalem De Made maka raja pun tatkala melihatnya sembari bersabda:
“Ah, ih, iki ngaran nyuh aya, ah jati sajan madan nyuh aya jati nyuh ngaran nyah, aya ngaran agung”. Dan setelah diteliti secara morfologi sebutan kata “nyuh aya” menjadi Nyah Aya (Keturunan Orang Besar).
Tinjauan secara etimologi, Bungaya berasal dari Bung dan Aya, Bung/Bong/Wong yang berarti orang dan Aya berarti besar. Jadi sebutan semula Desa Bungaya adalah Nyuh Aya/ Nyah Aya kemudian menjadi Bungaya/Bongaya yang artinya keturunan orang besar, ada juga yang mengkonotasikan Bungaya menjadi Bungahya/Bunga Aya yang menjadi simbolis dari keramahtamahan penduduk serta kecantikan dan kemolekan para gadis (daha) dengan tari rejangnya. Pada masa kepemimpinan I Gusti Ketut Alit Ngurah Bungaya, Desa Bungaya mencapai puncak keemasan dan beliau juga yang mengadakan piodalan (upacara) desa yakni Usaba Gede yang kini disebut Usaba Dangsil.
Referensi
- ^ Penduduk Indonesia Menurut Desa - 2010, hal 1390