Alawy Muhammad

Revisi sejak 7 Agustus 2018 15.10 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Kiai Haji Alawy Muhammad (meninggal pada 9 November 2014) merupakan seorang ulama asal Madura. Berbeda dengan ulama pengasuh pondok pesantren lainnya di Pulau Madura yang menjadi pengasuh pondok pesantren karena warisan orang tuanya, namun KH Alawy Muhammad justru dari kalangan orang biasa, yakni dari keluarga petani.

Alawy Muhammad
NamaAlawy Muhammad
KebangsaanIndonesia

Saat masih muda, KH Alawi bahkan sempat merantau ke Jawa dengan menjadi pedagang, sebagaimana kebanyakan warga Madura pada umumnya.

Beberapa sumber menyebutkan, pada usia 27 tahun KH Alawy menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah hingga tiga kali berturut-turut dan yang terakhir pada tahun 1985. Ketika itulah, ia belajar agama kepada ulama-ulama ternama di Makkah, selain kepada keluarganya sendiri di Sampang, Madura.

Dakwah, ketokohan & pengaruh

KH Alawy kemudian menjadi pengasuh pondok pesantren, karena saat itu pengasuh pondok yang merupakan adiknya meninggal dalam usia muda, hingga akhirnya dialah yang diminta untuk menggantikan kepengasuhan pondok. Tidak hanya itu, ia juga aktif di partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yakni partai politik yang menjadi wadah perjuangan politik umat Islam kala itu.

Nama KH Alawy Muhammad mulai dikenal banyak orang setelah tragedi Nipah yang terjadi pada 25 September 1993. KH Alawy getol membela petani Sampang yang terdampak pembangunan Waduk Nipah di Kecamatan Banyuates, Sampang itu.Konflik itu bermula dari permasalahan tanah milik masyarakat yang akan dijadikan waduk. Bagi sebagian masyarakat di wilayah ini, tanah bukan hanya bermakna ekonomis, namun juga bermakna kultural, yakni tanah dipahami sebagai sebuah pusaka, yakni peninggalan leluhur yang harus dijaga dan dipertahankan. Tanah pusaka, atau tanah warisan bagi warga Nipah dan Madura pada umumnya, tidak boleh jual, karena merupakan bentuk penghormatan kepada orang tua yang telah mewariskan tanah itu.

Namun, pemerintah kala itu hanya melihat bahwa masyarakat Nipah yang meliputi delapan desa membutuhkan sebuah waduk irigasi untuk meningkatkan penghasilan pertanian mereka menjadi dua kali lipat. Hal itu karena pemerintah melihat wilayah Nipah itu hanya sebagai hamparan lahan kering yang tak bermakna, sehingga perlu dimanfaatkan. Dalam proses pembebasan tanah, masyarakat pemilik tanah tidak dilibatkan, sehingga menimbulkan reaksi keras dari pemilik tanah. Pemerintah dalam hal Pemkab Sampang kala itu tidak mengindahkan penolakan warga, bahkan melibatkan aparat keamanan, yakni TNI. Kebijakan tidak kooperatif pemerintah inilah yang menjadi perhatian KH Alawy untuk melakukan advokasi kepada masyarakat di sekitar lokasi pembangunan waduk Nipah Sampang.

Kiprah Kiai Alawy dalam dunia politik karena tokoh kharismatik ini berkeyakinan bahwa terjun di dunia politik merupakan keharusan, dan politik merupakan media dakwah. Meski baginya, politik merupakan keharusan dan umat Islam harus masuk dalam wadah partai politik yang berideologi Islam, namun kiai ini justru menolak jika negara berasaskan Islam atau membentuk negara Islam. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menurutnya, merupakan harga mati dan sudah berdasarkan kesepakatan semua perwakilan umat agama yang berbeda keyakinan. Saat Wakil Presiden M Jusuf Kalla berkunjung ke kediamannya di Sampang dan hendak mencalonkan lagi sebagai Calon Presiden RI pada Pemilu 2009 yang berpasangan dengan Wiranto, KH Alawi bahkan berpesan agar Pancasila tetap dipertahankan.

Sumber