Sejarah Gorontalo melawan VOC Menarik Isu mengenai "Gorontalo Serambi Medinah]
setelah saya coba cari Refrensi mengenai Sejarah
Gorontalo pada Abad Ke 16, dimana Raja-Raja Gorontalo
pada saat itu dengan Mati-matian mempertahankan Agama
Islam dan Menolak menerima Agama yang di bawa Oleh
Kaum Penjajah BELANDA. Mungkin berangkat dari Semangat
inilah sehingga para Tokoh Adat dan Pemimpin Gorontalo
ingin membangkitkan Semangat RAJA-RAJA Gorontalo
terdahulu mengenai Budaya Islam di Gorontalo yang ada
sejak Jaman Dahulu. Tapi Saat ini Sosialisasinya masih
terasa kurang kepada Masyarakat dan Slogan ini hanya
terasa di antara para Sesepuh dan Tokoh adat gorontalo
sedangkan Para Kaum Muda tidak mengerti dan masih
banyak tidak mengetahui Sejarah Gorontalo pada Jaman
Dahulu di mana Raja Eyato dan Raja Biya dengan Rela
Mengorbankan Nyawa demi mempertahankan Agama Islam dan
Wilayah Gorontalo.
Dalam sejarah perjuangan rakyat didaerah Gorontalo
yang disusun oleh Yayasan 23 Januari 1942 bekerjasama
dengan IKIP Negeri Manado cabang Gorontalo tanggal 10
Januari 1981 dan diterbitkan oleh PT. Gobel Darma
Nusantara. Hal ini sangatlah besar manfaatnya untuk
generasi kita sekarang pada umumnya dan khususnya bagi
rakyat Gorontalo, karena dengan diterbitkannya buku
sejarah perjuangan rakyat Gorontalo ini, dapatlah kita
mengetahui sepak terjang nenek moyang kita zaman
dahulu, terutama dalam menentang penjajahan Belanda
zaman dahulu.
Dalam sekian banyaknya perlawanan rakyat Gorontalo
pada waktu itu, kita dapat ungkapkan kembali
perlawanan Raja Biya (Raja Selatan: Raja To
Huliyaliyo) yang memerintah Kerajaan Gorontalo menurut
buku sejarah tersebut yang memerintah dari tahun 1677
s/d 1690. Pada zaman Raja Eyato di utara (Raja
Totiloyo) yang memerintah tahun 1673 s/d 1679, maka di
selatan mengalami pergantian dari dari Raja Tiduhulu
(Raja Perempuan) kepada penggantinya Raja Biya (sesuai
ejaan tulisan huruf Arab Pegon) yang memerintah tahun
1677 s/d 1690 (Kerajaan Gorontalo diperintah oleh 2
orang Raja yaitu Raja Lotilayo di utara dan Raja Lo
Huoliyaliyo di Selatan).
Pada waktu itu Raja Eyato diutara dan Raja Biya di
selatan bahu membahu melawan Belanda. Pada tahun 1677
perlawanan Eyato yang ke II (perlawanan I tahun
1674)-perlawanan Raja Eyato yang menghalang-halangi
utusan Belanda ke Gorontalo dan Dumoga sehingga
akhirnya utusan kompeni Belanda kembali ke pangkalan
VOC di Ternate dan melaporkan hasil peninjauan mereka
di Gorontalo sbb:
1. Utusan takut menghadapi serangan-serangan yang
dilakukan oleh rakyat Gorontalo.
2. Rakyat menghalang-halangi pelayaran ke Dumoga.
3. Rakyat membakar dan melarikan perahu-perahu mereka
yang berada di pantai.
4. akyat tidak mengizinkan awak kapal mereka turun ke
darat untuk mengambil air minum.
5. Rakyat telah membuat kubu pertahanan yang kuat di
pinggiran sungai Bone.
6. Rakyat mengancam akan membunuh mereka.
Dari laporan tersebut kompeni Belanda menyimpulkan
bahwa rakyat Gorontalo tidak mau dijajah oleh Belanda.
Raja Eyato selalu menolak dan bersikap acuh tak acuh
terhadap kaum kompeni, maka kompeni Belanda merubah
siasatnya. Diajaklah Raja Eyato berunding di atas
kapal kompeni yang sedang berlabuh dimuara sungai
Bone. Dalam perundingan itu Raja Eyato menolak semua
permintaan kompeni Belanda. Pada saat itu terjadilah
penangkapan atas diri Raja Eyato (1679). Selanjutnya
beliau dibawa ke Ternate yang merupakan pangkalan
kompeni Belanda. Kemudian Raja Eyato diasingkan ke
Ceylon sampai wafatnya dan diberi gelar Ta To Celongi
yang artinya yang di Ceylonkan.
Kemudian selanjutnya perjuangan Raja Biya (Raja
Gorontalo di selatan) 1677-1690.
Raja Biya memerintah kerajaan Gorontalo di selatan
bersama-sama Raja Eyato di utara dan melawan kompeni
Belanda bersama-sama pula. Pada waktu Raja Eyato di
asingkan ke Ceylon maka perlawanan kepada Belanda
diteruskan oleh Raja Biya. Pada tahun 1678, Raja Biya
dipanggil oleh Belanda ke Ternate dan diberi ultimatum
oleh Gubernur R. Padtbrudgge yaitu diajukan empat hal
yang harus diterima oleh Raja Biya:
a. Raja Biya harus mengakui kekuasaan kompeni di
Gorontalo.
b. Rakyat bersama kompeni akan mengusir Spanyol yang
masih bercokol di Sangir Talaud.
c. Rakyat harus tunduk kepada agama yang ditawarkan
oleh kompeni.
d. Raja Biya harus mengikuti dan menganut agama bangsa
penjajah.
Sebagai siasat perjuangan, Raja Biya menerima apa yang
diajukan oleh Gubernur Belanda itu. Namun setelah
kembali ke Gorontalo, Biya berusaha memperkuat
kerajaannya dengan suatu kubu pertahanan pada jalan
yang dilalui oleh kompeni menuju Dumoge. Kubu tersebut
dikenal dengan nama Kubu Padang (Padengo) dipinggir
Sungai Bone, desa Podengo, Kec. Kabila sekarang yang
berjarak + 10 km dari pusat Kerajaan. Tindakan Raja
Biya ini berarti melawan amanat Gubernur Belanda, maka
pada tahun 1681 Gubernur datang sendiri beserta
puluhan serdadu kompeni lengkap dengan persenjataan
dengan kapal perang pada waktu itu dan berlabuh di
muara sungai Bone.
Gubernur mengirim utusan kedarat menuju Kubu
Pertahanan Padengo. Para utusan Gubernur yang
menumpang sekoci turun dipinggir Sungai, dekat dengan
kubu Padengo. Mereka bertemu dengan pasukan rakyat
yang dipimpin oleh Kapitan Laut (Apitalau), sebagai
penguasa laut yang sedang mengawasi kubu pertahanan
itu. Para utusan Belanda itu menyampaikan amanat
Gubernur:
1. Bahwa Gubernur mengirim hormat untuk kedua Raja
Limboto dan Gorontalo.
2. Agar kedua Raja tersebut berkunjung ke kubu untuk
bertemu dengan Gubernur.
3. Kubu tersebut harus dikosongkan untuk dijadikan
tempat perundingan.
4. Selama perundingan berjalan penduduk tidak
diperkenankan berada diantar kubu Padengo dan Dumoga.
5. Bila Pemerintah Kerajaan Gorontalo bersedia damai
dengan kompeni maka tidak akan timbul perang.
6. Bila tidak ada kesediaan untuk berdamai, maka
kompeni beserta seluruh sekutunya akan menghancurkan
kubu pertahanan dengan kekuatan senjata.
Kapitan Laut (Apitalau) yang sedang mengawasi serta
memperkuat kubu tersebut tidak menerima semua tawaran
yang disampaikan oleh para utusan tersebut. Dan utusan
Gubernur Belanda kembali ke kapal menemui Gubernur
tanpa membawa hasil yang diharapkan.
Untuk keduakalinya Gubernur mengirim utusan kedarat,
langsung menghadap Raja Biya dengan amanat agar Raja
Biya mengirim utusan ke kapal. Hal itu dituruti Raja
Biya dan dikirimlah beberapa orang pembesar istana
menghadap Gubernur di kapal. Gubernur menyampaikan
amanat dihadapan para utusan istana, bahwa sebelum
Gubernur turun kedarat, Raja Biya sudah harus diatas
kapal. Karena Raja Biya yang ditunggu tak kunjung
datang, maka turunlah Gubernur dengan menaiki sekoci
dan didampingi empat puluh serdadu bersenjata menuju
ke kubu Padengo. Namun sebelum Padtbrudgge mendarat,
diperintahkan serdadunya mendarat dan bertemu dengan
para penghuni Kubu Padengo.
Tugas serdadu itu untuk mengusir penghuninya keluar,
apabila mereka memperlihatkan sikap acuh tak acuh
apalagi mau menyerang. Karena Penghuni Kubu Podengo
bersikap acuh tak acuh terhadap kedatangan serdadu
kompeni, maka terjadilah perang yang disebut Perang
Kubu Padang (Padengo). Apitalau beserta anggotanya
dapat memukul mundur pasukan kompeni, maka Padtbrudgge
memerintahkan agar awak enam buah kapal Tomini segera
mendarat dan memberi bantuan, namun semua awak kapal
itu takut dan ragu-ragu tidak berani untuk maju.
Serdadu kompeni tidak mudah menghadapi perlawanan
rakyat, beberapa orang serdadu Belanda tewas dan yang
lainnya melarikan diri. Namun Kapitan Krijs De Ronde
bertahan dengan 28 serdadu bertempur satu lawan satu.
Serdadu kompeni tiga kali menyerang kubu Padang
(Padengo) barulah berhasil menguasainya. Pertahanan
kubu Padang menjadi kuat karena perlawanan disamping
Pimpinan Perang Panglima Apitalau juga turut memimpin
Raja Biya, Jagugu Gorontalo dan Limboto Ilato dan
Ishaeni. Pihak kompeni 4 orang tewas yang berpangkat
Kapten dan Mayor dan yang lainnya luka-luka berat.
Dipihak Pasukan Kubu Padang 12 orang terhitung
pembesar Kerajaan Limboto dan Gorontalo gugur dimedan
perang, yang lainnya luka-luka dan dan sisanya lolos
antara lain Raja Biya sendiri, Ilato, Ishaeni, dan
Apitalau sebagai Panglima Perang. Menurut sumber
cerita bahwa Raja Biya lari sampai bersembunyi
dicelah-celah suatu tempat yang disebut Tutulo
(Tulo-tulomayi), karena waktu dicari Belanda , Raja
Biya hanya mengintip dari tempat persembunyiannya.
Akhirnya sampai tahun 1690 Raja Biya dan kawan-kawan
diangkap Belanda dan dibuang ke Ceylon dan Ishaeni ke
Tanjung Harapan (Afika Selatan), sedang Apitalau dan
Ilato tidak diketahui keberadaannya.
Sebagai ganti kerugian atas kematian serdadu Belanda,
maka Kerajaan Limboto dan Gorontalo diwajibkan oleh
Belanda menyerahkan 150 orang budak, 150 belah kayu.
Dan tiap Kerajaan hanya berhak memiliki seorang Raja
dan tidak boleh menggunakan titel Kapitan Laut/Raja
Laut bagi yang menjabat sebagai komandan keamanan
lautan. Namun segala tuntutan atas ganti rugi tersebut
tidak ditaati oleh Kerajaan Gorontalo dan Limboto,
buktinya Kerajaan Gorontalo dan Limboto tetap
menggunakan masing-masing 2 orang Raja yaitu Raja di
utara dan Raja di Selatan baik di Kerajaan Gorontalo
maupun Kerajaan Limboto.
Menurut penuturan dari salah seorang keluarga Raja
Biya, bahwa Raja Biya yang melawan Belanda tersebut
adalah juga Raja Biya yang pada saat itu juga
berkedudukna sebagai Raja Limboto. Hal ini juga dapat
dilihat pada urutan raja-raja Gorontalo dan Limboto
yang dokumennya penulis dapatkan di Mesjid Sultan Amay
(Mesjid tertua di Gorontalo) yaitu kalau di Gorontalo
memerintah pada tahun 1672 ke atas adalah Raja Biya di
utara dan di Limboto di utara juga memerintah Raja
Biya pada tahun 1673 ke atas.
Hal ini juga ditunjukkan oleh gelar Raja Biya dari
Kerajaan Limboto tersebut yang bergelar Dhayludiyn
(kalau ditanyakan sama ahlinya berarti yang
mempertahankan agamanya) atau Tatoagamaliyo,
sebagaimana gelar Raja Biya yang terdapat pada naskah
kuno yang ditulis dengan huruf Arab Pegan. Naskah kuno
tersebut ada penulis simpan. Jadi dapat diambil
kesimpulan bahwa Raja Biya Limboto adalah juga Raja
Biya Gorontalo yang berperang melawan Belanda pada
tahun 1681 seperti tersebut di atas.
Dalam naskah silsilah yang ditulis dengan huruf Arab
Pegon tersebut, bahwa Raja Biya Limboto yang bergelar
Dhayludiyn tersebut kawin dengan putra Delaliwuwo
anak Marsaole Lupoyo dengan Putri Deylomputo, mendapat
anak putri Buwaii. Putri Buwaii bersuami Hakim
Nunuki dan mendapat anak 2 yaitu Walaopulu Butolo dan
Raja Limboto Pangeran Abdullah bergelar Tatotinelo.
Dan Raja Biya Limboto bergelar Dhayludiyn
(Tatoagamaliyo) kawin pula dengan Putri Apiyo anak
dari Oyintu dan Tenihuwato (Tatobodiya), Tenihuwato
adalah anak dari Jagugu Lihawa (Tatolalango) dengan
Putri Wadihulawa. Turunan dari Raja Biya Limboto
bergelar Dhayludiyn (Tatoagamaliyo) pada saat
sekarang ini sudah mencapai generasi ke 8-9. Gelar ini
mungkin diberikan pada sang Raja, karena beliau dan
rakyatnya tidak menuruti untuk mengikuti agama kompeni
Belanda.
Demikianlah semoga sejarah tantang kepahlawanan Raja
Eyato dan Raja Biya ini, dan masih banyak cerita
perlawanan rakyat Gorontalo zaman dahulu, supaya
mengingatkan generasi muda khususnya generasi muda
Gorontalo.