Konferensi Waligereja Indonesia

organisasi kekristenan di Indonesia
Revisi sejak 19 Januari 2006 03.01 oleh Ciko (bicara | kontrib) (Sejarah)

Seorang Uskup adalah pimpinan Gereja setempat yang bernama Keuskupan. Dengan demikian beliau disebut Waligereja. Karena itu Konferensi para Uskup di Indonesia disebut Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Masing-masing Uskup adalah otonom dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tidak berada di atas maupun membawahi para Uskup dan KWI tidak mempunyai cabang di daerah. Keuskupan bukanlah KWI daerah. Yang menjadi anggota KWI adalah para Uskup di Indonesia yang masih aktif, tidak termasuk yang sudah pensiun. KWI bekerja melalui komisi-komisi yang diketuai oleh Uskup-Uskup.

Saat ini anggota KWI berjumlah 35 orang

Sejarah

Setiap Uskup, karena tahbisannya, dengan sendirinya menjadi bagian dari jajaran para Uskup sedunia (Collegium Episcopale) dan bersama dengan para uskup sedunia, di bawah pimpinan Sri Paus, bertanggungjawab atas seluruh Gereja Katolik.

Para Uskup dalam satu negara bersama-sama membentuk suatu wadah kerjasama yang dinamakan Konferensi Para Uskup. Di dalam wadah ini mereka bekerjasama merundingkan dan memutuskan sesuatu mengenai umat katolik di seluruh negara tersebut.

Seorang uskup adalah pimpinan Gereja setempat yang bernama keuskupan. Dengan demikian dia disebut juga Waligereja. Karena itu Konferensi para Uskup di Indonesia disebut Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) yang kemudian diubah menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

  • 1807-1913

Dari tahun 1807 sampai 1902 Gereja Katolik seluruh Nusantara berada di bawah pimpinan seorang Prefek/Vikaris Apostolik yang berkedudukan di Batavia. Kendati semenjak tahun 1902 beberapa daerah sudah dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia (1902: Maluku-Irian Jaya, 1905: Kalimantan, 1911: Sumatera, 1913/1914: Nusa Tenggara, dan 1919: Sulawesi), namun pengakuan dari pihak Pemerintah Kolonial Belanda akan adanya banyak pimpinan Gereja Katolik di Nusantara baru terjadi pada tahun 1913.

Maka semua Vikaris dan Prefek Apostolik itu merasa perlu bersama-sama berunding untuk mencapai kesatuan sikap terhadap Pemerintah dalam banyak persoalan, tetapi terutama berhubungan dengan kebebasan bagi misi untuk memasuki semua wilayah dan juga berhubungan dengan posisi pendidikan Katolik.

  • 1924

Pertemuan itu baru terjadi pada kesempatan pentahbisan Mgr. A. Van Velsen sebagai Vikaris Apostolik Jakarta (13 Mei 1924) di Katedral Jakarta. Yang hadir pada waktu itu: Mgr. P. Bos, O.F.M.Cap. (Vik.Ap. Kalimantan), Mgr. A. Verstraelen, S.V.D. (Vik. Ap. Nusa Tenggara), Mgr. Y. Aerts, M.S.C. (Vik.Ap. Maluku-Irian Jaya), Mgr. L.T.M. Brans, O.F.M.Cap. (Pref.Ap. Padang) dan Mgr. G. Panis, M.S.C. (Pref.Ap. Sulawesi).

Pada tanggal 15-16 Mei 1924 diadakan sidang para Waligereja se-Nusantara yang pertama di Pastoran Katedral Jakarta. Sidang ini diketuai oleh Mgr. A. Van Velsen dan dihadiri oleh para Waligereja tersebut di atas ditambah dengan dua orang pastor: A.H.G. Brocker, M.S.C. dan S.Th. van Hoof, S.J. sebagai nara sumber.

  • 1925

Sidang yang kedua diadakan pada tanggal 31 Agustus - 6 September 1925, juga di Jakarta, di bawah pimpinan seorang utusan Paus Pius X yang bernama Mgr. B.Y. Gijlswijk, O.P., seorang Delegatus Apostolik di Afrika Selatan. Kecuali para Waligereja yang disebut di atas, peserta sidang ini sudah bertambah dengan Mgr. H. Smeetes, S.C.J. (Pref.Ap. Bengkulu), Mgr. Th. Herkenrat, S.S.C.C. (Pref.Ap. Pangkalpinang). Hadir juga Pater Th. De Backere, C.M., Pater Cl. Van de Pas, O.Carm., Pater Y. Hoederechts, S.J., sedang Pater H. Jansen, S.J. dan Pater Y. Van Baal, S.J. bertugas sebagai sekretaris. Dalam sidang ini diputuskan untuk mengadakan sidang setiap lima tahun sekali.

  • 1929

Sidang ke-tiga, 4-11 Juni 1929 di Muntilan (dihadiri oleh 10 Waligereja)

  • 1934

Sidang ke-empat, 19-27 September 1934 di Girisonta (juga dihadiri oleh seorang pastor dari Centraal Missie Bureau atau Kantor Waligereja)

  • 1939

Sidang ke-lima, 16-22 Agustus 1939 juga di Girisonta (15 Waligereja dan tiga orang dari CMB serta seorang Delegatus Apostolik untuk Australia: Mgr. Y. Panico).

  • 1940-1953

Karena adanya perang, sidang para Waligereja Indonesia tidak dapat diadakan.

  • 1954

Pada tanggal 26-30 April 1954 para Waligereja se Jawa mengadakan pertemuan di Lawang. Di sana diungkapkan keinginan untuk mengadakan konferensi baru semua Waligereja. Sebuah rancangan anggaran dasar yang disusun oleh Mgr. W. Schoemaker M.S.C. (Uskup Purwokerto).

  • 1955

Rancangan anggaran dasar disetujui oleh Internunsius di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1955. Tanggal 14 Maret 1955 Mgr. W. Schoemaker M.S.C. diangkat oleh Internunsius menjadi ketua sidang MAWI yang akan datang. Sidang itu dapat dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober sampai 2 November 1955 di Bruderan, Surabaya dan dihadiri oleh 22 orang Waligereja (dari 25 orang Waligereja yang ada). Inilah sidang Konferensi para Uskup dari seluruh Indonesia yang pertama sesudah perang.

Salah satu keputusan yang penting ialah bahwa untuk selanjutnya konferensi para Waligereja Indonesia ini dinamakan Majelis Agung Waligereja Indonesia, disingkat MAWI, suatu terjemahan dari Raad van Kerkvoogden. Tanggal inilah dipandang sebagai tanggal berdirinya MAWI. Di samping sidang lengkap, diputuskan untuk mendirikan sebuah sidang kecil yang tetap, untuk melaksanakan tugas harian, yang dinamakan Dewan Waligereja Indonesia Pusat, disingkat DEWAP, yang diketuai oleh Mgr. A. Soegijapranata, S.J. (Uskup Semarang). Untuk memperbaiki pelaksanaan tugasnya, dibentuklah berbagai "Panitia" / PWI (Panitia Waligereja Indonesia) yang menjadi anggota DEWAP (diputuskan bahwa DEWAP bersidang sekali setahun) dan yang menangani salah satu bidang pelayanan: PWI (Panitia Waligereja Indonesia) Sosial, PWI Aksi Katolik dan Kerasulan Awam, PWI Seminari dan Universitas, PWI Pendidikan dan Pengajaran Agama , PWI Katekese Umat dan Penyebaran Iman, PWI Pers dan Propaganda. Diputuskan bahwa DEWAP bersidang sekali setahun.

  • 1960

Sesudah Indonesia merdeka jumlah orang Katolik Indonesia meningkat pesat. Sedemikian pesat perkembangan jemaah Katolik Indonesia, sehingga dalam sidang di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah (9-16 Mei 1960) para Uskup Indonesia menulis surat kepada Bapa Suci Yohanes XXIII, memohon secara resmi agar beliau meresmikan berdirinya Hirarki Gereja di Indonesia. Maka dengan Dekrit "Quod Christus Adorandus" tertanggal 3 Januari 1961 Paus Yohanes XXIII meresmikan berdirinya Hirarki Gereja di Indonesia.

Lihat Juga

Pranala luar