Baruch de Spinoza

Revisi sejak 6 Februari 2019 13.18 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Penggantian teks otomatis (-Perancis +Prancis))

Baruch de Spinoza (24 November 163221 Februari 1677) (Bahasa Ibrani: ברוך שפינוזה) adalah filsuf keturunan Yahudi-Portugis berbahasa Spanyol yang lahir dan besar di Belanda.[1] Pikiran Spinoza berakar dalam tradisi Yudaisme.[1] Pemikiran Spinoza yang terkenal adalah ajaran mengenai Substansi tunggal Allah atau alam.[1] Hal ini ia katakan karena baginya Tuhan dan alam semesta adalah satu dan Tuhan juga mempunyai bentuk yaitu seluruh alam jasmaniah.[2] Oleh karena pemikirannya ini, Spinoza pun disebut sebagai penganut panteisme-monistik.[2]

Baruch de Spinoza

Riwayat Hidup

Awal Kehidupan

Baruch de Spinoza lahir di kota Amsterdam pada tanggal 24 November 1632.[3] Ayahnya merupakan seorang pedagang yang kaya.[3] Pada masa kecilnya, Spinoza telah menunjukkan kecerdasannya sehingga banyak orang yang mengatakan bahwa ia bisa menjadi seorang rabbi.[3] Dalam kehidupannya, ia tidak hanya belajar matematika dan ilmu-ilmu alam, ia juga mempelajari bahasa Latin, Yunani, Belanda, Spanyol, Prancis, Yahudi, Jerman, dan Italia.[3] Pada usianya yang ke 18 tahun, Spinoza membuat marah komunitas Yahudi karena ia meragukan Kitab Suci sebagai Wahyu Allah, mengkritik posisi imam Yahudi, mempertanyakan kedudukan bangsa Yahudi sebagai umat pilihan Yahweh, dan keterlibatan Allah secara personal dalam sejarah manusia.[1]

Dikucilkan dari Sinagoga

Sikap yang ditunjukkan Spinoza kepada orang Yahudi, membuat para tokoh agama Yahudi mengambil sebuah sikap.[4] Para tokoh agama Yahudi pada saat itu menjadi gelisah dengan semua ajaran-ajaran Spinoza.[4] Para tokoh agama ini terus menerus memaksa agar Spinoza kembali lagi pada ortodoksi agama, namun hal ini tidak pernah berhasil.[4] Akhirnya pada tahun 1656, Spinoza dikucilkan dari Sinagoga.[4] Tidak hanya kelompok Yahudi yang mengucilkan Spinoza, keluarganya pun turut mengucilkan dirinya.[4] Meskipun demikian, Spinoza tetap tenang mengatasi masalah hidupnya.[4] Hingga Akhirnya ia mengganti nama dirinya dengan Benedictus de Spinoza, sebagai tanda kehidupan barunya.[4]

Akhir Hidup

Dalam keadaan yang telah dikucilkan, Spinoza mencari nafkah dengan cara mengasah lensa sambil terus menerus menuliskan pemikiran-pemikirannya.[4] Tidak lama setelah pengucilan ini, Spinoza mengidap penyakit TBC.[1] Pada tahun 1673, dia diundang untuk mengajar di universitas Heidelberg namun ia menolaknya.[4] Alasan Spinoza menolak undangan ini dikarenakan baginya tidak ada yang lebih mengerikan daripada kenyataan bahwa orang-orang dihukum mati karena berpikir bebas.[4] Semasa hidupnya, Spinoza juga bekerja sebagai guru pribadi pada beberapa keluarga kaya dan dari sinilah Spinoza bertemu dengan tokoh-tokoh partai politik Belanda saat itu, antara lain Jan de Witt.[1] Akhirnya pada tanggal 21 Februari 1677 Spinoza meninggal pada usia 44 tahun karena penyakit TBC paru-paru yang telah lama ia derita.[4]

Pemikirannya

Substansi Tunggal

Pandangan Spinoza mengenai substansi tunggal merupakan tanggapannya atas pemikiran Descartes tentang masalah substansi dan hubungan antara jiwa dan tubuh.[5] Dalam filsafat Descartes, terdapat sebuah permasalahan yaitu bagaimana Allah, jiwa, dan dunia material dapat dipikirkan sebagai satu kesatuan utuh?[1] Dalam bukunya Ethica, ordine geometrico demonstrata (Etika yang dibuktikan dengan cara geometris), Spinoza mencoba menjawab permasalahan ini.[1] Ia memulai menjawab permasalahan dari filsafat Descartes dengan memberikan sebuah pengertian mengenai substansi.[1] Substansi dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya.[1] Menurut Spinoza, sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh.[1] Bagi Spinoza, hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah.[1] Menurut Spinoza, sifat substansi adalah abadi, tidak terbatas, mutlak, dan tunggal-utuh.[1] Bagi Spinoza, hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi ini yaitu Allah.[1] Hanya Allah yang memiliki sifat yang tak terbatas, abadi, mutlak, tunggal, dan utuh.[1] Selain itu, Spinoza juga mengajarkan apabila Allah adalah satu-satunya substansi, maka segala yang ada harus dikatakan berasal daripada Allah.[1] Hal ini berarti semua gejala pluralitas dalam alam baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna, bahkan bintang) maupun yang bersifat rohaniah (perasaan, pemikiran, atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri sendiri melainkan tergantung sepenuhnya dan mutlak pada Allah.[1] Untuk menyebut gejala ini, Spinoza menggunakan sebuah istilah yaitu modi.[5] Modi merupakan bentuk atau cara tertentu dari keluasan dan pemikiran.[5] Dengan demikian, semua gejala dan realitas yang kita lihat dalam alam hanyalah modi saja dari Allah sebagai substansi tunggal.[1] Dengan kata lain, alam dan segala isinya adalah identik dengan Allah secara prinsipil.[1]

Kata kunci ajaran Spinoza adalah Deus sive natur (Allah atau alam).[5] Yang berbeda dari ajaran ini hanyalah istilah dan sudut pandangnya saja.[1] Sebagai Allah, alam adalah natura naturans (alam yang melahirkan).[1] natura naturans dipandang sebagai asal usul, sebagai sumber pemancaran, sebagai daya pencipta yang asali.[5] Sebagai dirinya sendiri, alam adalah natura naturata (alam yang dilahirkan) yaitu sebuah nama untuk alam dan Allah yang sama tetapi dipandang menurut perkembangannya yaitu alam yang kelihatan.[5] Dengan ini Spinoza membantah ajaran Descartes bahwa realitas seluruhnya terdiri dari tiga substansi (Allah, jiwa, materi).[1] Bagi Spinoza hanya ada satu substansi saja, yakni Allah/alam.[1]

Karya-karyanya

 
Halaman Pembuka dari salah satukarya Spinoza magnum opus, Ethics
  • Renati Descartes Principiorum Philosophiae, 1663 (Prinsip Filsafat Descartes)
  • Tractatus Theologico-Politicus, 1670 (Traktat Politis-Teologis)
  • Tractatus de intellectus emendatione, 1677 (Traktat tentang Perbaikan Pemahaman)
  • Ethica more geometrico demonstrata, 1677 (Etika yang dibuktikan secara geometris)

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w Simon Petrus L. Tjahjadi. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 28-36.
  2. ^ a b Louis L. Snyder. 1962. Abad Pemikiran. Jakarta: Bhratara. Hal. 135.
  3. ^ a b c d (Inggris)G. H. R. Parkinson. 2000. Spinoza Ethics. United States: Oxford University Press. hal. 6-10.
  4. ^ a b c d e f g h i j k F. Budi Hardiman. 2007. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia. Hal. 43-52.
  5. ^ a b c d e f (Indonesia)P. A. van der Weij. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: Gramedia. Hal. 74-80.