Lafran Pane

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

Prof. Drs. Lafran Pane (5 Februari 1922 – 25 Januari 1991) dikenal sebagai salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947.[1]:3 Perihal perannya dalam HMI, Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor menetapkan Lafran Pane sebagai pemrakarsanya berdirinya HMI dan disebut sebagai pendiri HMI.[1]:3 Selain dirinya, ada beberapa nama lain yang disebut sebagai pendiri HMI, antara lain: Kartono Zarkasy (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah (Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah KH.Ahmad Dahlan, Singapura), Soewali (Jember), Yusdi Gozali (Semarang, juga pendiri PII), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), Bidron Hadi (Kauman-Yogyakarta), Sulkarnaen (Bengkulu), dan Mansyur.[1]:3 Lafran Pane sendiri menolak untuk dikatakan sebagai satu-satunya pendiri HMI.[2]:397

Prof. Drs.
Lafran Pane
Pane, tak bertanggal
Lahir(1922-02-05)5 Februari 1922
Padang Sidempuan, Sumatra Utara, Hindia Belanda
Meninggal25 Januari 1991(1991-01-25) (umur 69)
Yogyakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
AlmamaterSekolah Tinggi Islam (STI)
Universitas Gadjah Mada
PekerjaanDosen
Dikenal atasAktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
PenghargaanPahlawan nasional Indonesia

Biografi

Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan, 5 Februari 1922. Menurut berbagai tulisan sebelumnya, disebutkan bahwa Lafran Pane lahir pada 12 April 1923 di Kampung Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, sebuah kecamatan yang terletak di kaki Gunung Sibualbuali, 38 kilo meter ke arah utara dari "kota salak" Padang Sidempuan, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Wafat pada tanggal 24 Januari 1991, orang akhirnya tahu, setelah kematiannya, Lafran ternyata lahir 5 Februari 1922, bukan 12 April 1922 seperti yang kerap ia gunakan dalam catatan resmi.[2]:397

Silsilah Keluarga

Lafran Pane adalah anak keenam keluarga Sutan Pangurabaan Pane dari istrinya yang pertama, Lafran adalah bungsu dari enam bersaudara, yaitu: Nyonya Tarib, Sanusi Pane, Armijn Pane, Nyonya Bahari Siregar, Nyonya Hanifiah, Lafran Pane, dan selain saudara kandung, ia juga memiliki dua orang saudara tiri dari perkawinan kedua ayahnya, yakni: Nila Kusuma Pane dan Krisna Murti Pane. Ayah Lafran Pane adalah seorang guru sekaligus seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Keluarga Lafran Pane merupakan keluarga sastrawan dan seniman yang kebanyakan menulis novel, seperti kedua kakak kandungnya yaitu Sanusi Pane dan Armijn Pane yang juga merupakan sastrawan dan seniman. Sutan Pangurabaan Pane termasuk salah seorang pendiri Muhammadiyah di Sipirok pada 1921. Sedangkan Kakek Lafran Pane adalah seorang ulama Syekh Badurrahman Pane, maka pendidikan keagamaannya didapat sebelum memasuki bangku sekolah.[2]:41

Riwayat Pendidikan

Pendidikan sekolah Lafran Pane dimulai dari Pesantren Muhammadiyah Sipirok (kini dilanjutkan oleh Pesantren K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Setia dekat Desa Parsorminan Sipirok. Dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah Lafran Pane ini mengalami perpindahan sekolah yang sering kali dilakukan, hingga pada akhirnya Lafran Pane meneruskan sekolah di kelas 7 (Tujuh)di HIS Muhammadiyah, menyambung hingga ke Taman Dewasa Raya Jakarta sampai pecah Perang Dunia II, pada saat itu ibu kota pindah ke Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang semula di Jakarta juga ikut pindah ke Yogyakarta. Wawasan dan intelektual Lafran berkembang saat proses perkuliahan yang membawa pengaruh pada diri Lafran Pane yang ditandai dengan semakin banyaknya buku-buku Islam yang ia baca. Sebelum tamat dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada April 1948 Universitas Gajah Mada (UGM) yang kemudian di Negerikan pada tahun 1949. Tercatat dlam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran Pane termasuk salah satu mahasiswa yang pertama kali lulus mencapai gelar sarjana,yaitu tanggal 26 Januari 1953. Dengan sendirinya, Drs. Lafran Pane menjadi salah satu sarjana ilmu politik pertama di Indonesia, selanjutnya Lafran Pane lebih tertarik di lapangan pendidikan dan keluar dari Kementerian Luar Negeri dan masuk kembali ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.[2]:46

Riwayat Pekerjaan

  1. Direktur Kursus B I dan B II Negeri Yogyakarta yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan & Kebudayaan, dan Kemudian menjadi Fakultas Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Gajah Mada (UGM). kemudian, Fakultas Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Gajah Mada UGM dengan Institut Pendidikan Guru (IPG) dilebur menjadi Institut Keguruan & Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta, kini Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).[3]
  2. Dosen Fakultas Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Yogyakarta.[3]
  3. Dosen Fakultas Sosial dan politik Universitas Gajah Mada (UGM), dosen Universitas Islam Indonesia (UII), dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.[3]
  4. Dosen Akademi Tabligh Muhammadiyah (ATM), Kemudian menjadi FIAD Muhammadiyah, kini Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).[3]
  5. Pernah menjadi dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogykarta (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN)), hingga terjadi peristiwa 10 Oktober 1963. Sepuluh tahun kemudian, atas permintaan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mulai tahun 1973 Prof. Drs. Lafran Pane mulai kembali mengajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara.[3]
  6. Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, sejak tanggal 1 Desember 1966, Lafran Pane dianggat menjadi guru besar (profesor) dalam mata kuliah Ilmu Tata Negara.[3]

Pemikiran

Mengenai Islam dan Indonesia

Lafran Pane Mengatakan bahwa Agama Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, baik lingkup keluarga hingga lingkup masyarakat dan negara. Berkaitan dengan itu, ia meyakini bahwa Islam berisi peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala aspek kehidupan. Islam dianggapnya sebagai satu kebudayaan yang sempurna, yang tidak merupakan ciptaan masyarakat, sebab merupakan kebudayaan yang diturunkan Tuhan langsung kepada masyarakat Arab, serta berlaku universal . Meskipun demikian, adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda masyarkatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan dan lain-lain, maka kebudayaan Islam hendaknya dapat diselaraskan dengan masing-masing masyarakat itu. Dalam Masyarakat, segala sesuatu saling mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh manusia dan sebaliknya. Begitu pula hasil masyarakat dipengaruhi oleh manusia dan sebaliknya. Begitu pula hasil kebudayaan yang satu mempengaruhi yang lain dan selanjutnya mempengaruhi masyarakat yang lain.[4]

Menurut Lafran Pane, setelah kemerdekaan, dampak kolonialisme Belanda tidak serta-merta lenyap, khususnya dari mereka yang semata-mata menerima pengajaran di lembaga-lembaga kolonial.[2]:194 Contoh pengaruh tersebut adalah pandangan yang menganggap bangsa Barat dalam segala hal lebih dari penduduk lokal.[2]:194 Lafran Pane meyakini bahwa jika ajaran Islam dipraktikkan oleh rakyat Indonesia dalam segala lapangan hidup dengan sebaik-baiknya, Belanda tidak mungkin bisa menjajah dan mengekploitasi bangsa Indonesia dalam kurun waktu yang sangat lama.[2]:194 Pejajahan dimungkinkan karena Belanda mengetahui lemahnya pendidikan Islam pada mayoritas masyarakat Indonesia.[2]:194 Islam mengajarkan bahwa semua manusia itu setara dan perbudakan amat ditentang.[5]

Pendirian HMI

Lafran mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam sebagai aktualisasi dari pandangannya tentang Islam dan Indonesia. HMI dilahirkan sebagai suatu reaksi terhadap situasi saat itu, namun juga berakar pada aspirasi umat Islam yang dikandung selama berabad-abad lamanya.[6]

Dengan mendirikan HMI, Islam mendapat peran yang lebih tinggi di antara mahasiswa, yakni bahwa Islam bukanlah sekumpulan kaum yang mempertahankan tradisi dan pengetahuan tradisional. Selain itu, dengan adanya HMI ide persatuan umat Islam yang mengikis fanatisme kelompok semakin meningkat.[2]:195

Pemikiran Pembaharuan Islam

Menurut Lafran Pane, Tugas umat Islam adalah mengajak umat manusia kepada kebaikan dan juga menciptakan masyarakat adil makmur baik secara material dan spiritual.[7]:4 Dengan adanya gagasan pembaharuan pemikiran keislaman, diharapkan kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dapat dilakukan dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam.[7]:5 Kebekuan pemikiran Islam saat itu telah membawa pada arti agama yang kaku dan sempit, tidak lebih dari agama yang hanya melakukan peribadatan.[7]:5 Al-Qur’an hanya dijadikan sebatas bahan bacaan.[7]:5 Agama Islam tidak menempatkan sebagai agama yang universal. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam ini pun hendaknya dapat menyadarkan umat Islam yang terlena dengan kebesaran dan kejayaan masa lalu.[7]:5 Demikian memahami pemikiran Lafran Pane yang tidak lepas dari lingkungannya, yaitu negara Indonesia yang berpendudukan mayoritas beragama Islam, dengan segala realitas dan totalitasnya. Pemikiran Lafran Pane tidak bisa dipahami tanpa meletakkannya dalam suatu proses sejarah atau tradisi panjang yang melingkupinya.[1]:1-2

Dari pemikiran itu dampaknya adalah berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam, pada tanggal 5 Februari 1947 Lafran menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI karena ia adalah orang yang mengagagas HMI, akan tetapi Lafran mundur dari ketua Umum PB HMI pada 22 Agustus 1947 dan pindah menjadi Wakil Ketua Umum, artinya ia hanya menjabat sebagai Ketua Umum selama 7 bulan dan kemudian posisinya diberikan kepada seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada bernama Mohammad Syafa'at Mintaredja. Strageti ini dilakukan agar HMI tidak terkesan milik mahasiswa STI, selain juga memperluas dakwah HMI di kampus umum serta memperkuat posisi HMI dalam dunia kemahasiswaan.[8]

Karya-karya Lafran Pane

Data-data tentang Lafran Pane tidak banyak berubah sejak 1947. Karya tulisnya pun terbatas. berikut ini merupakan judul karya-karya Lafran Pane dengan bentuk artikel bebasnya:

  1. Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia
  2. Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
  3. Kedudukan Dekret Presiden
  4. Kedudukan Presiden
  5. Kedudukan Luar Biasa Presiden
  6. Kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
  7. Tujuan Negara
  8. Kembali ke Undang-undang Dasar 1945
  9. Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
  10. Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
  11. Perubahan Konstitusional
  12. Menggugat Eksistensi HMI [2]:89

Penghargaan

Atas jasa-jasanya Pemerintah Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 115/TK/Tahun 2017 tanggal 6 November 2017.[1]

Lihat Pula

Pranala luar

Rujukan

  1. ^ a b c d Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 2010-2011 (2010). Modul LK 1 (Basic Training) Himpunan Mahasiswa Islam. Ciputat: Pengurus HMI Cabang Ciputat. hlm. 3. 
  2. ^ a b c d e f g h i j Hariqo Wibawa Satria (2011). Lafran Pane Jejak Hayat dan Pemikirannya. Jakarta: Lingkar. 
  3. ^ a b c d e f Agussalim Sitompul (1976). Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947-1975. Surabaya: Bina Ilmu Offset. hlm. 159. 
  4. ^ Lafran Pane (1949). Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia. Yogykarta: Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan. hlm. 56. 
  5. ^ Agussalim Sitompul (2002). Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa: Pemikiran keislaman-Keindonesiaan HMI 1947-1997. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. hlm. 56. 
  6. ^ Agussalim Sitompul (1997). 50 Tahun HMI Menggayuh di antara Cita dan Kritik. Yogyakarta: Aditya Media. hlm. 38. 
  7. ^ a b c d e Pengurus HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Periode 2013-2014 (2013). Basic Training Buku Pedoman Materi Pokok Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa Islam. Yogyakarta: Pengurus HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 
  8. ^ M. Alfan Alfian (2013). HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) 1963-1966 Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara. Jakarta: Kompas. hlm. 121. 

Bacaan lanjutan

  • Satria, Hariqo Wibawa (2010). Lafran Pane: Jejak Dan Pemikirannya [Lafran Pane: His Influence and Thoughts] (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Lingkar. ISBN 9786029804904.