Perjanjian Roem-Roijen

artikel daftar Wikimedia

Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).[butuh rujukan]

Suasana Konferensi Permulaan Meja Bundar. Tampak: Prof. Dr. Supomo, Ali Sastroamidjojo, Mohammad Roem, Leimena, A.K. Pringgodigdo, Latuharhary, 14 April 1949
Menteri Luar Negeri Belanda van Roijen (rekaman Desember 1948, sebelum berangkat ke New York dalam perjalanan dari negosiasi Resolusi 67 Dewan Keamanan PBB yang akan memaksa Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia).

Kesepakatan

Hasil pertemuan ini adalah:

  • Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
  • Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
  • Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
  • Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang

Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:

  • Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
  • Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
  • Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia

Pasca perjanjian

Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.

Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatra (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.

Pranala luar