Saur Sepuh

Revisi sejak 22 Desember 2019 00.54 oleh LabdajiwaBot (bicara | kontrib) (Bhiksu -> Biksu)

Saur Sepuh adalah judul sandiwara radio yang menjadi legenda terbesar dari sandiwara radio yang pernah ada di Indonesia. Saur Sepuh merupakan karya asli dari Niki Kosasih (almarhum) yang bercerita tentang perjalanan seorang pendekar sakti bernama Brama Kumbara yang kelak menjadi raja di salah satu kerajaan di wilayah selatan bernama Madangkara.

Poster sandiwara radio Saur Sepuh tahun 1980 yang menggambarkan Ferry Fadly sebagai Prabu Brama Kumbara.

Saur Sepuh disiarkan melalui media radio pada Dasawarsa 1980-an di Indonesia, dengan mengambil latar pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk pada zaman kerajaan Hindu Buddha Majapahit di Nusantara. Serial ini mampu memukau jutaan pendengarnya di seluruh pelosok Nusantara. Hampir di tiap jam tertentu, masyarakat dengan saksama mendengarkan serial ini. Pada saat itu, radio adalah satu-satunya media hiburan rakyat yang masih langka, sehingga untuk mendengarkannya mesti secara beramai-ramai ke rumah tetangga yang memiliki radio.

Perusahaan farmasi Kalbe Farma sebagai produsen obat-obatan ternama menjadi mitra utama dari serial ini. Dengan durasi 30 menit dipotong iklan produk obat-obatan, serial ini mampu menghipnotis para pendengarnya untuk berhenti beraktivitas, dan berkonsentrasi untuk mendengarkannya. Sandiwara radio Saur Sepuh memiliki banyak episode, dalam setiap episode ada 60 seri. Semua disiarkan setiap hari oleh berbagai stasiun radio.

Sinopsis

Tokoh Brama Kumbara

Ia seorang pendekar yang menguasai berbagai ilmu kesaktian. Brama secara darah masih keturunan Raja Madangkara. Ayahnya bernama Darmasalira. Kakek Astagina, guru dan juga kakek Brama ini dulunya pernah pula menjadi Raja Madangkara. Ibu Brama bernama Gayatri, yang sebenarnya adalah keturunan dari trah keluarga Kerajaan Madangkara. Ayah kandung Brama tewas dibunuh oleh perampok yang akan menyerang kampung mereka : Jamparing.

Setelah menjanda, Gayatri diperistri oleh Tumenggung Ardalepa, seorang bangsawan dan pejabat dari Kuntala. Dari perkawinan ini, lahirlah Mantili, adik satu ibu lain ayah dari Brama.

Brama akhirnya menjadi Raja Madangkara karena dia jugalah yang memimpin pergerakan nasionalis Madangkara melawan pasukan perang Kuntala. Dengan persekutuannya bersama beberapa kerajaan kecil lain yang juga menjadi jajahan Kuntala, terbentuklah pasukan perang Dewangga yang mampu menghancurkan Kuntala.

Brama kecil saat suasana perang dan melarikan diri diselamatkan dan dididik langsung oleh Kakek Astagina, seorang pendekar tua sakti yang sebenarnya merupakan kakeknya sendiri dan pernah menjadi raja Madangkara. Dari kakek Astagina inilah Brama memperoleh banyak ilmu kesaktian tingkat tinggi seperti Ajian Bayu Bajra, Tapak Saketi, Tikki Ibeng, Malih Rupa dan ilmu pamungkas yang bernama Serat Jiwa (sebelum akhirnya kelak setelah menjadi raja, Brama kembali menciptakan ilmu baru yang kesaktiannya diatas serat jiwa, bernama Lampah Lumpuh)

Guru Brama hanya seorang yaitu Kakek Astagina. Tidak ada guru lain di luar itu. Apalagi punya guru seorang wanita bernama Sekar Tanjung!

Dari semua ilmu kesaktian yang dimiliki oleh kakek Astagina, hanya satu ilmu yang tidak mau diwarisi oleh Brama, yaitu aji kentut semar.

Brama memiliki pedang biru yang merupakan warisan Kakek Astagina kepada Panglima Bernawa. Pedang biru ini memiliki kembaran yaitu Pedang Merah. Pedang Biru sendiri bukan pedang pusaka yang terlalu hebat seperti digambarkan dalam sinetron Brama Kumbara 2013. Pedang biru hanyalah pedang biasa yang diberikan kekuatan sakti oleh Kakek Astagina.

Manakala pedang biru dan pedang merah disatukan, keduanya akan patah. Di dalam pedang biru terdapat gulungan kertas yang berisi silsilah Raja Raja Kerajaan Madangkara dan di dalam pedang merah terdapat surat dari Kakek Astagina (Raja ketiga Kerajaan Madangkara). Dari gulungan inilah kelak Brama mengetahui identitas dirinya sebagai salah satu keturunan raja Madangkara yang sah.

Brama memimpin pasukan revolusi bersama dengan Gotawa dan orang-orang yang satu tujuan dengan mereka. Perjuangan kemerdekaan Madangkara ini didukung penuh oleh Tumenggung Ardalepa dan Gayatri, ayah angkat dan ibu kandung Brama.Ardalepa adalah seorang pejabat Guntala yang sebenarnya membenci penjajahan dan penzaliman terhadap rakyat kecil. Oleh sebab itulah, Ardalepa justru dekat dengan rakyat Madangkara.

Seperti juga Ardalepa, sosok Brama sangat dekat dengan rakyat Madangkara, semua orang mengasihinya. Hubungan baiknya secara pribadi sebagai seorang pendekar dengan para tokoh rimba persilatan membuat Brama laksana sosok yang ditakuti oleh kawan maupun lawan. Begitupula hubungan diplomatik kerajaan yang ia bangun terhadap kerajaan tetangga sangat baik. Madangkara tidak pernah terlibat konflik dengan kerajaan manapun disekitarnya seperti Pajajaran, Tanjung Singguruh, Niskala, Sumedang Larang, Ajong Kidul, Selimbar, Majapahit dan sebagainya. Bahkan senopati Ranggaweni dari kerajaan Pajajaran merupakan salah satu sahabat dekatnya.

Sosok Brama Kumbara sebagai seorang pejuang kemerdekaan Madangkara dibagian awal cerita sandiwara radio ini akhirnya harus berhadapan dengan kesaktian milik Tumenggung Gardika dari Kuntala. Brama kalah dalam pertarungan itu. Gardika ternyata menguasai ajian Serat Jiwa. Sebuah ajian kegidjayaan tertinggi saat itu. Sementara Brama sendiri sama sekali belum menguasainya. Dengan kondisi yang terluka parah, Brama diselamatkan oleh Rajawali raksasa sahabatnya dan ia digodok dalam Kolam Lumpur Bergolak yang terdapat di Goa Pantai Selatan. Kemudian, Di dalam Goa Pantai Selatan tersebut, Brama tidak sengaja menemukan kitab Ajian Serat Jiwa di dalam sebuah peti batu tempat yang biasa digunakan oleh Kakek Astagina bersemedi. Ajian Serat Jiwa sendiri ternyata merupakan sebuah ajian yang diciptakan oleh Kakek Astagina bersama dua orang saudara seperguruannya. Akhirnya Brama berhasil menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 10 yang merupakan tingkat tertinggi Ajian Serat Jiwa.

Gardika yang juga menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 10 akhirnya kembali bertempur melawan Brama, tetapi dalam duel maut berikutnya itu Gardikalah yang tewas…. tubuhnya hancur menjadi tepung. Meski Ajian Serat Jiwa yang mereka gunakan ada dalam tingkatan yang sama, Brama lebih unggul berkat keputihan niatnya dalam menggunakan ilmu tersebut.

Memang

saat itu Kitab Ajian Serat Jiwa tersebar luas dan banyak pendekar mampu menguasainya, namun kebanyakan tidak bisa menguasai sampai tingkat tertinggi. .

Misalnya diceritakan juga tentang sosok Miranti Si Kelabang Hitam yang menjadi musuh Mantili, menguasai ilmu serat jiwa hanya sampai tingkat 2, Jasiun salah seorang yang ikut memperebutkan Pedang Setan setelah dicuri Dewa Maut dan direbut oleh Ki Naga hanya sampai tingkat 4, Mantili sendiri hanya sampai tingkat 6, Harnum dan Pramitha (kedua istri Brama Kumbara) maupun Patih Kandara (yang kelak menjabat menggantikan Patih Gotawa dijaman pemerintahan Prabu Wanapati) hanya sampai tingkat 8, Soma Wikarta (salah satu murid utama Mantili dari padepokan gunung wangsit) hanya sampai tingkat 9.

Hanya Brama, Jaka Lumayung (kakak seperguruan Brama), Gardika, dan tentu saja Kakek Astagina serta dua saudara seperguruannya sendiri yang menguasai sampai tingkat 10. Nenek Lawu, guru Lasmini yang sempat menjadi musuh Brama dan Mantili, hanya menguasai intisari Ajian Serat Jiwa saja namun ia tidak menguasai ilmu serat jiwa itu sendiri.

Ketika ia sudah menjadi raja Madangkara, kelak makam kakek Astagina yang ada digoa pantai selatan, dipugar oleh Brama hingga menjadi pesanggrahan. Dalam proses pembuatan pesanggrahan ini yang diketuai oleh Tumenggung Ajisanta, sempat diganggu oleh gerombolan setan merah yang merupakan orang-orang sewaan Kuntala yang dendam dengan Madangkara. Pada peristiwa itu, Brama sampai pada puncak murkanya sehingga berubah menjadi raksasa Buto Agni.

Amarah Brama yang meledak-ledak atas hancurnya goa pantai selatan ini akhirnya bisa dipadamkan oleh Mantili, adik kandung Brama lain ibu, setelah ia menangis dikaki Buto Agni.

Setelah peristiwa ini, pengerjaan pesanggrahan kramat di goa Pantai Selatan itu diteruskan dibawah pengawasan langsung Patih Gotawa dan Panglima Ringkin, panglima perang Madangkara. Sementara Brama Kumbara sendiri bersama Mantili mengejar pelaku perusakan.

Kisah perselisihan Brama bersama tokoh-tokoh Madangkara dengan orang-orang Kuntala yang dendam atas kekalahan kerajaannya itu terus berlanjut sampai kemudian mengantarkan pertemuan Brama pada Kijara dan Lugina. Keduanya murid-murid utama Panembahan Pasupati dari gunung saba.

Panembahan Pasupati adalah keturunan adipati Natasuma yang menguasai ilmu Waringin Sungsang. Sebuah ilmu kedigjayaan yang mampu mengalahkan ajian Serat Jiwa tingkat 10. Dari pertemuan ini Brama untuk kedua kalinya setelah ia melawan Gardika diawal kemerdekaan Madangkara, kembali menemui kekalahan.

Tapi tidak butuh waktu lama bagi Brama untuk mendapatkan teknik mengalahkan aji Waringin Sungsang. Ia bahkan berhasil menemukan titik lemah ilmu itu. Dengan melihat pertarungan antara ular saba dan burung srigunting, dimana ular saba yang menggunakan teknik aji Waringin Sungsang berhasil dikalahkan oleh burung srigunting. Akhirnya Brama menemukan sebuah teknik. Teknik itu dinamainya ilmu Srigunting. Ilmu ini nantinya diajarkan Brama pula kepada Mantili untuk menghadapi Lugina dan Lasmini.

Namun Brama tidak puas bila hanya bisa menemukan titik lemah aji waringin sungsang saja tanpa membuat orang yang menggunakannya dijalan yang salah bisa bertobat. Akhirnya, Brama menemukan ilmu baru bernama Lampah Lumpuh. Melalui ilmu inilah nantinya Brama berhasil mengalahkan orang-orang dari Gunung Saba seperti Kijara dan Lugina.

Setelah kekalahan telaknya dari Brama, Kijara dan Lugina akhirnya berbalik menjadi orang-orang yang paling melindungi Brama dari semua ancaman. Terakhir keduanya diceritakan tewas terbunuh oleh Biksu Kampala yang datang dari Tibet untuk menjajal ilmu Brama.

Setelah mewariskan singgasananya pada Wanapati, Brama kemudian mengundurkan diri ke goa pantai selatan sampai wafatnya.

Tentang Rajawali Sakti

Burung Rajawali raksasa ini dikenal sewaktu Brama masih kecil, ketika digembleng oleh Kakek Astagina di Gua Pantai Selatan. Ketika Brama bersama Kakek Astagina sedang berbincang di tepi pantai, mereka dikejutkan oleh kedatangan seekor rajawali raksasa yang terbang melintas di depan mereka. Sejak pertama jumpa itu, Brama sudah ‘jatuh cinta’ dan ingin terbang naik rajawali. Tentu saja itu tak ditanggapi serius oleh Kakek Astagina, “Ya, moga-moga saja rajawali itu mau membawamu terbang….” katanya; tetapi sekaligus Kakek pun memperingatkan agar jangan membuat masalah dengan binatang besar dan kuat itu karena bisa berbahaya.

Beberapa kali mereka melihat rajawali itu melintas. Suatu ketika karena saking penasarannya, Brama yang sudah bertambah besar itu bersuit memanggil rajawali itu. Rajawali cilingukan, lalu datang menyerang. Terjadi pertarungan sengit dan kemudian Brama ‘menclok’ di punggung rajawali itu dibawa terbang tetapi tetap kokoh bertahan. Akhirnya Rajawali itu ‘menyerah’… ia tak lagi menyerang, lalu pergi setelah terbang berputar tenang seolah memberi penghormatan. Sejak itu pun mereka bersahabat…

Brama dapat memanggil rajawali dengan suitannya dan Rajawali itu pun

menjadi tunggangannya.

Disini kisah pertemuan Brama dan burung rajawalinya itu memiliki kemiripan dengan versi sinetron versi 2013, hanya saja disana sosok Kakek Astagina diubah menjadi Sekar Tanjung.

ilustrasi pribadi atas sosok Brama yang sedang menunggang burung rajawali

Di kemudian hari, dalam tapa semedinya, Brama mengenali Rajawali Saktinya itu sebagai titisan Dewa Brahma. Brama pernah memberikan sebuah kendi wasiat pada Bongkeng, salah satu abdi terbaik Mantili. Dimana ketika kendi itu dilempar, akan bermunculan rajawali-rajawali kecil yang bisa menyelamatkan Bongkeng dari bahaya.

Tokoh JAKA LUMAYUNG : Ini adalah kakak seperguruan Brama. Jaka Lumayung merupakan putra dari Ki Arya Gandar Sametan yang merupakan saudara seperguruan Kakek Astagina, guru Brama. Jaka Lumayung ini kemudian hari, mendirikan dan memimpin Padepokan Serat Jiwa di kerajaan Pajajaran. Ia pernah datang bersama

Brama ke Gunung Saba untuk menjajal Ajian Waringin Sungsang pada

Panembahan Pasupati, guru dari Kijara dan Lugina, dan hasilnya, Jaka Lumayung kalah. Brama kemudian menemukan Ilmu Lampah-Lumpuh di perguruan milik Jaka Lumayung ini, Jaka Lumayung juga yang dengan setia merawat Brama dalam proses penciptaan ilmu barunya itu di Pajajaran. Dibawah pengawasan Jaka Lumayung, Brama bersemedi seraya berpuasa selama 40 hari lamanya.

KELABANG HITAM: Nama aslinya adalah Miranti. Dia adalah musuh besar Mantili waktu muda. Miranti pernah mengobrak-abrik Padepokan Gunung Wangsit milik Mantili dan mencuri Kitab Ajian Serat Jiwa di perguruan itu dengan bersekongkol dengan murid Mantili yang bernama Soma Wikarta. Mantili pernah dihajar kalah oleh Kelabang Hitam dengan Ajian Serat Jiwa tingkat 2. Dalam pertarungan itu, Mantili nyaris tewas. Ia diselamatkan oleh Jaka Lumayung, kakak seperguruan Brama Kumbara. Dibawah asuhan Jaka Lumayung, Mantili lalu memperdalam Ajian Serat Jiwanya sampai tingkat 3, dan dengan ilmu itu akhirnya ia dapat membinasakan Si Kelabang Hitam. Sampai akhir hidupnya, Mantili menguasai Ajian Serat Jiwa hanya sampai tingkat 6 saja, terakhir ia menggunakan ilmu ini ketika berhadapan dengan Mariba, seorang pendekar dari Gunung Saba yang hendak memperkosa dan mengambil pedang setan miliknya. Mantili juga pernah dikalahkan oleh Kijara dan Lugina yang memiliki ilmu Waringin Sungsang.

KANDARA: Ia orang Guntala yang berhasil menyusup ke Madangkara dan menjadi pejabat di sana, bahkan sampai menjadi Patih di Madangkara pada generasi kedua (yaitu setelah Brama mangkat dan digantikan oleh putra kandungnya dari Harnum yang bernama Wanapati).

Kandara mengadu domba Prabu Wanapati dengan Pangeran Paksi Jaladara, putra Mantili dan Gotawa. Sempat terjadi perang saudara di antara keduanya. Untung bisa didamaikan oleh Raden Bentar dan Garnis, dua anak angkat Brama dari istri keduanya, Pramitha. Patih Kandara ini menguasai Ajian Serat Jiwa Sampai tingkat ke 8. Kandara akhirnya tewas melawan Soma Wikarta, mantan murid Mantili yang pernah berkhianat dimasa Klabang Hitam, yang menguasai Ajian Serat Jiwa sampai tingkat 9.

Kisah perjalanan cinta Brama Kumbara:

Utari, ia adalah cinta pertama Brama. Ia seorang gadis pendekar yang bertemu dengan Brama sewaktu bersama-sama memberantas kelelawar siluman di Desa Halimun. Mereka akhirnya bersama-sama dalam pergerakan ‘nasionalis’ Madangkara. Sayang, kemudian dia tewas dalam salah satu pertempuran… Utari ini adalah puteri dari Panglima Bernawa, salah satu panglima perang kerajaan Madangkara sebelum dijajah oleh Guntala.

Lama kemudian, Brama bertemu dengan Dewi Harnum, gadis bangsawan dari kerajaan Niskala, yang juga seorang pendekar dan petualang. Dewi Harnum, sosok pendekar wanita yang cantik jelita, muda belia, centil, ceplas ceplos dalam bertutur kata, namun baik hati dan berbudi luhur. Dewi Harnum sangat mencintai Brama dan ikut menyertai Brama dalam pengembaraannya mengejar Gardika dan Kendala. Namun pada saat itu, Brama hanya menggagap Dewi Harnum sebagai adik.

Disaat bersamaan, Brama juga bertemu dengan seorang janda bangsawan dari Sadeng bernama Pramitha yang mempunya anak laki-laki kecil bernama Bentar. Ia pernah diselamatkan oleh Brama ketika sedang dikejar oleh tentara Majapahit yang ingin menjadikannya istri. Sebagai ungkapan terima kasih pada Brama yang telah menyelamatkannya, Pramitha selanjutnya ingin mengabdi pada Brama dan ikut dengan Brama dalam pengembaraannya bersama Harnum sebagai pendekar.

Selain Bentar, Pramitha juga punya anak perempuan yang usianya lebih tua dari Bentar. Ia bernama Garnis. Tapi dalam peristiwa penyerbuan Majapahit yang dipimpin oleh Adityawarman ke kerajaan Sadeng itu, Garnis terpisah dari ibunya. Kelak, setelah Brama diceritakan undur diri dari jabatannya selaku raja dan mangkat, Garnis akan datang kemadangkara bersama tunangannya yang bernama Arya Widura guna menjumpai Pramitha dan Bentar.

Kisah berlanjut dengan jatuh hatinya Pramitha pada Brama sebagaimana juga Harnum mencintai Brama. Kelembutan, keanggunan, kedewasaan, kematangan dan sifat keibuan Dewi Pramitha membuat Brama jatuh hati padanya juga. Karena persahabatan yang erat antara Pramitha - Harnum dan mengetahui bahwa sahabatnya juga mencintai orang yang dicintainya, maka ketika

Pramitha dilamar oleh  Brama, Pramitha lah yang mensyaratkan agar Brama juga

menikahi Harnum. Karena Pramitha tahu bahwa Brama sebenarnya juga mencintai Dewi Harnum. Jadilah Brama beristeri dua, dan keduanya diangkat menjadi Permaisuri sampai Brama diceritakan wafat. Ia tidak pernah punya selir.

Selain Utari, Harnum, dan Pramitha, ada wanita lain sebenarnya yang pernah mengisi hati Brama. Namanya adalah Doria, gadis cantik berjiwa petualang. Dari Doria inilah Brama menerima Sepasang Gelang Marmer Putih yang selalu melekat ditangan Brama dan menjadi salah satu senjata pusaka Madangkara.

Kisah cinta Mantili-Gotawa-Samba-Widati

Mantili pada mulanya menjadi kekasih Raden Samba, seorang bangsawan dari Kerajaan Sanggam. Mereka berdua bersama hendak merintis pengembangan Padepokan Gunung Wangsit yang didirikan oleh Mantili. Mereka memang saling mencintai, tetapi juga sering bertengkar karena dua-duanya sama-sama muda dan keras.

Raden Samba memiliki ilmu yang aneh yang bernama Rongrong, ia bisa menembus tanah. Pada suatu ketika, Raden Samba dan Mantili berkenalan dengan seorang janda muda dan kaya bernama Widati, yang dulu merupakan isteri Juragan Anom. Sebuah perjumpaan biasa, bermula dari menolong roda pedati yang terperosok, sampai kemudian mengadakan perjalanan bersama. Sebagai catatan, Widati digambarkan sebagai seorang perempuan yang muda dan cantik, semacam janda kembang.

Ketika Mantili dan Samba bersama dua punakawannya Merid dan Bongkeng yang di ikuti oleh Widati mengejar Miranti si Kelabang Hitam kesebuah pulau terpencil, perahu yang mereka tumpangi telah di lubangi oleh penjualnya yang ternyata ulah dari anak buah miranti.Di tengah gelombang tinggi dan angin kencang, perahu Mantili terbalik dan para penumpangnya berenang menyelamatkan diri. Mantili terdampar di pantai sendirian, sedangkan di lain tempat, merid harus menarik bongkeng yang pingsan ke tempat kering. Sementara itu, Raden samba dan Widati terseret ombak hingga terdampar di sebuah gua di pinggir pantai.

Entah siapa mulai menggoda atau memang saling menggoda dan juga saling tergoda, dalam keadaan terdampar itu, terjadilah ‘perselingkuhan’ antara Raden Samba dan Widati. Ketika mengetahui hal itu, tentu saja Mantili murka… untunglah Brama berhasil meredam suasana sehingga tidak terjadi pertumpahan darah. Akhirnya, Raden Samba pun menikah dengan Widati. Mereka kemudian tinggal di Kadipaten Gunalaga. Setelah berjalan sekian lama, hubungan antara Raden Samba dan Mantili serta Brama sendiri tetap bersahabat baik.

Ketika Mantili dalam situasi ‘galau’ itu, orang yang sering hadir menemani adalah Gotawa, seorang pejuang nasionalis Madangkara yang sebenarnya juga sudah lama bersama Brama dalam perjuangan menegakkan kembali Madangkara. Kebersamaan itu pun lama-lama menumbuhkan cinta, bukan cinta yang romantis memang… tetapi perjumpaan pribadi yang cocok: Gotawa sangat mengagumi Mantili yang cantik dan perkasa itu, tetapi juga sangat menghormatinya, dan sebagai orang yang memang lebih tua ia mau mengalah dan bisa ‘ngemong’ watak Mantili yang keras dan meledak-ledak.

Mantili merasa menemukan sosok orang yang tenang dan dewasa, mampu mengimbangi sifat-sifatnya, dan sungguh memenuhi kriteria sebagai pria yang baik seperti sosok kakaknya, Brama Kumbara.

Brama yang memergoki kekariban mereka dan tahu betul bahwa hanya orang seperti Gotawa yang dapat mengimbangi sifat-sifat Mantili adiknya, tentu saja mendukung dan mendorong pula perjodohan mereka. Akhirnya mereka pun menikah, dari perkawinannya lahirlah Pangeran Paksi Jaladara atau Raden Paksi Jaladara.

Kisah persahabatan antara Mantili sebagai istri dari patih Gotawa dengan Raden Samba, mantan kekasih lamanya akan berlanjut ketika Raden Samba atas izin dari istrinya, Widati, membantu Mantili menemukan kembali Pedang Setannya yang hilang dicuri setelah penyerbuan Wirya Kumandra yang mengakibatkan Gotawa terluka dan Dewa Maut yang berhasil mencuri pedang itu.

Di antara keduanya tidak pernah terlibat perselingkuhan apapun, hubungan mereka setelah keduanya berkeluarga adalah murni persahabatan. Raden Samba juga dalam proses pencarian pedang setan ini pernah menyelamatkan Mantili yang hampir tewas dihajar oleh Lugina dengan ajian Waringin Sungsang.

Adapun sosok Patih Gotawa, dia sebenarnya jika dilihat dari sejarah awal Saur Sepuh, berusia lebih tua dari Brama. Ia mantan senopati Madangkara sebelum diserang oleh Guntala. Gotawa merupakan adik seperguruan dari panglima Bernawa. Ketika Madangkara jatuh ditangan Guntala, Gotawa menyamar menjadi seorang pengusaha sambil terus menghimpun kekuatan di antara pemuda-pemuda Madangkara guna mengobarkan pembrontakan terhadap Guntala.

Brama sendiri memanggil Gotawa awalnya dengan sebutan paman. Usia Gotawa setidaknya sebaya dengan Tumenggung Ardalepa, ayah kandung Mantili.

Gotawa menguasai ilmu Tatar Bayu yang membuatnya bisa berlari sangat

cepat seiring angin.

Gotawa adalah sosok orang yang sangat setia, dan kesetiaannya itu akan terbukti dengan pengabdiannya yang tulus sebagai patih pada Brama Kumbara.

Tentang Pedang Setan dan Pedang Perak

Tentang latar belakang Pedang Setan, ia asal mulanya milik komplotan Pedang Setan yang selalu menebar teror. Kesaktian Pedang Setan yaitu pedang ini bisa mengeluarkan asap berbau busuk seperti bangkai yang memabokkan lawan. Selain itu, Pedang Setan sangat kuat, sehingga jarang-jarang ada pedang yang tahan beradu melawan Pedang Setan ini.

Brama yang berhasil menumpas komplotan penjahat ini, kemudian membawa Pedang Setan dan memberikannya kepada Mantili, adiknya yang memang sangat berbakat memainkan pedang. Mantili memang kurang berbakat dalam hal penguasaan ilmu kadigdayaan, tetapi sangat berbakat dalam ilmu tangan kosong dan sangat mahir dalam memainkan pedang.

Maka, ketika Mantili mendapatkan pedang pusaka yang dahsyat dan langka ini, bisa dikatakan ia menjadi singa bersayap saja. Mantili menjadi terkenal sebagai pendekar pedang sejati, pendekar pedang nomor satu. Ada suatu rahasia yang diketahui Brama dan disampaikan pada adiknya, sehingga hanya Mantili sendiri yang bisa memainkan pedang pusaka dengan sempurna, tanpa mabok dan sama sekali tidak terganggu oleh aroma busuk asap beracun si Pedang Setan.

Kemasyuran nama ini mendatangkan rasa penasaran pada seorang pendekar pedang kelas wahid, bernama Taji Barnas yang dikenal dengan sebutan Si Pedang Perak. Ia seorang pendekar pedang yang sangat sakti pula, mempunyai pedang pusaka bernama Pedang Perak, yang mengeluarkan cahaya yang sangat menyilaukan mata. Si Pedang Perak menantang Si Pedang Setan, untuk membuktikan siapa yang layak mendapat sebutan pendekar pedang sejati atau pendekar pedang nomor satu.

Awalnya tantangan itu tidak ditanggapi, karena sebenarnya mereka sama-sama tokoh golongan putih dan memang tidak saling memiliki persoalan, tetapi lama-lama akhirnya dilayani juga. Mantili berlatih pedang dibawah pengawasan patih Gotawa dengan cara menatap matahari, sebab pedang perak milik taji barnas terkenal dengan cahaya yang bisa membutakan mata. Singkat cerita, setelah keduanya mempersiapkan diri dengan latihan bagaimana menghadapi senjata dan kesaktian lawan, akhirnya duel pun dilaksanakan. Pertempuran di bawah sinar purnama itu begitu dahsyat dan berimbang. Namun akhirnya Mantili yang unggul. Taji Barnas Si Pedang Perak tewas dalam pertarungan adu ilmu pedang tingkat tinggi itu.

Taji Barnas mewariskan pedang pusakanya kepada Mantili. Tapi sekian waktu senjata itu hanya tersimpan saja tanpa terpakai. Sampailah pada suatu peristiwa, Pedang Setan Hilang, dicuri oleh Dewa Maut. Dari tangan Si Dewa Maut, pedang direbut oleh Ki Naga, direbut lagi oleh Jasiun, dan kemudian jatuh ke tangan Mariba. Mariba, yang masih saudara seperguruan Kijara dan Lugina inilah yang berlatih keras untuk bisa menggunakan Pedang Setan dan kemudian berhasil pula memainkannya.

Dari peristiwa itu, akhirnya Mantili mencoba untuk menguasai Pedang Perak secara sempurna. Hebatnya, pedang perak ini tidak akan rusak atau patah ketika diadu dengan Pedang Setan milik Mantili. Dalam sebuah pertempuran dikademangan Cempaka, akhirnya Mantili berhasil merebut kembali pedang setannya dan membunuh Mariba.

Raden Paksi Jaladara dan Prabu Wanapati

Kedua tokoh ini muncul setelah Brama mundur dari cerita Saur Sepuh. Kehadiran Paksi Jaladara dan Wanapati merupakan epik kedua dari sandiwara radio tersebut yang menceritakan perjalanan generasi kedua tokoh-tokoh sakti Madangkara.

Sayangnya diawal berkuasanya Wanapati menggantikan Brama, ia sudah terlibat konflik dengan Paksi Jaladara. Konflik ini pada dasarnya bukan bersumber dari kedua tokoh ini secara langsung akan tetapi berkat konspirasi dari Patih Kandara yang mendampingi Wanapati di Madangkara.

Raden Paksi mewarisi watak dan keahlian bermain pedang dari ibunya, Mantili. Punya cita-cita menjadi panglima perang angkatan bersenjata kerajaan madangkara. Demi mewujudkan cita-citanya ini dia sering melatih olah kanuragan dan latihan perang dengan para pemuda Madangkara di kadipaten jamparing. Kegiatannya ini kemudian dijadikan gosip oleh patih kandara yg mengadu pada prabu wanapati bahwa raden paksi sedang menyusun kekuatan untuk memberontak.

Prabu wanapati mewarisi watak Harnum sang ibunda yang kalem dan polos. Dia lebih menyukai ilmu tata pemerintahan daripada olah kanuragan. Namun karena usianya msh sangat muda, ia menjadi makanan empuk bagi hasutan patih kandara yang licik.

Raden Bentar, ia putra tiri dari Brama. Anak kandung Pramitha dan Adipati Sadeng. Meski begitu, Bentar lebih banyak mewarisi sifat-sifat brama. Arif bijaksana dan sakti mandraguna. Dia jadi penengah dan pendamai dalam kemelut perang saudara Madangkara pada episode Sengketa Tanah Leluhur.

Atas konspirasi dari Patih Kandara, Raden Bentar dipindahkan oleh prabu Wanapati dari Kadipaten Jamparing menuju kekadipaten Singkur. Raden Bentar sendiri pernah terluka parah diserang oleh Patih Kandara dengan ajian Serat Jiwanya dalam usahanya mendamaikan prabu Wanapati putera Brama dengan Paksi Jaladara putra Mantili. Kemudian dibantu oleh ibunya, Pramitha, Bentar mempelajari ajian Lampah Lumpuh digoa pantai selatan ditemani juga oleh rajawali raksasa milik Brama.

Selanjutnya dalam cerita Saur Sepuh sesudahnya, Raden Bentar diceritakan berguru dengan Biksu Kampala dari Tibet hingga menguasai ilmu Angin Es, Ikatan Roh dan Salju Menyiram Bumi.

Patih Kandara sendiri pada episode perang saudara itu akhirnya dikalahkan oleh paman Soma Wikarta, bekas murid Mantili yang dulu pernah berkhianat dan bersekutu dengan Miranti si Klabang Hitam dalam mencuri kitab Ajian Serat Jiwa dipadepokan Gunung Wangsit milik Mantili. Patih Kandara yang menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 8 kalah dan tewas oleh Soma yang menguasai ajian Serat Jiwa tingkat 9. Diepisode ini diceritakan pula tentang pertobatan dari Soma atas sikap-sikapnya yang keliru dimasa lalu pada Mantili. Pertobatannya itu diterima oleh Pramitha dan Bentar yang kemudian menjadi jembatan bagi Soma untuk menjalin hubungan baik kembali kepada tokoh-tokoh Madangkara lainnya.

Tokoh Garnis, seperti ditulis pada bagian atas, adalah putri pertama dari Pramitha dan Adipati Sadeng. Ia seorang pendekar pedang sebagaimana Mantili. Ia pernah mengembara ke Majapahit untuk menuntut balas pada patih Gajah Mada atas kematian ayahnya dalam penyerangan Majapahit ke Sadeng. Tapi niatnya itu dibatalkan setelah kemudian ia bertemu dengan Pramitha dan Bentar di Madangkara.

Tokoh Garnis pertama kali keluar dalam episode Sengketa Tanah Leluhur. Ia menjadi salah satu tokoh sentral yang ikut mewarnai kisah Saur Sepuh pada generasi keduanya.

Adapun mengenai Lasmini, ia adalah tokoh kontroversial dari Pamotan. Ia pernah menjadi kekasih dari Tumenggung Bayan yang merupakan abdi Bhre Wirabhumi ketika memberontak pada prabu Wikrama Wardhana di Majapahit. Tumenggung Bayan tewas ditangan Brama yang menyaru menjadi Satria Madangkara karena Tumenggung Bayan telah membunuh Tumenggung Adiguna utusan Brama kepada Pamotan.

Lasmini kemudian bersama Jamali sahabat akrabnya, mencari Brama untuk menuntut balas. Namun ketika bertemu, ia malah jatuh hati pada Brama. Karena cintanya ditolak oleh Brama, Lasmini akhirnya melampiaskan kekesalannya dengan Mantili, Gotawa dan Harnum. Ketiganya berhasil dirobohkannya dengan Aji Sirep Megananda.

Syahdan setelah ia ditundukkan oleh Brama dalam sebuah adu kesaktian yang mengembalikan Mantili, Gotawa dan Harnum, kelak Lasmini kembali membuat keributan di Madangkara. Disini ia berhasil ditundukkan oleh Mantili dan diusir keluar dari Madangkara. Jamali sendiri kemudian mengabdi di Madangkara sebagai seorang tumenggung. Ia pernah menemani Brama melawat kesalah satu desa yang terkena endemi penyakit berbahaya. Jamalipun pernah menjadi saksi hidup kekalahan Panglima Ringkin dan Senopati Indra Kumala yang menguasai ajian serat jiwa dan tapak saketi dari Kijara dan Lugina yang menguasai ilmu Waringin Sungsang.

Jauh berselang waktu kemudian, diceritakan pula bahwa Lasmini menemukan sosok Brama pada diri raden Bentar. Ia kemudian mendekati Bentar yang usianya sebenarnya jauh dibawah Lasmini. Dengan berbagai pendekatannya, Lasmini berhasil memikat Bentar. Keduanya sempat terlibat skandal asmara. Hanya sayangnya, kisah cinta ini justru mendapat pertentangan langsung dari Mantili. Di matanya Lasmini benar-benar seorang wanita penggoda. Ia tak rela Bentar dipermainkan cintanya. Mantili, di mata Lasmini adalah perempuan yang sok kuasa dan terlalu jauh berprasangka tentang cintanya kepada Bentar, lelaki muda yang sungguh kini merenggut hatinya. Bagi Lasmini, Mantili adalah penghalang; di mata Mantili, Lasmini adalah perempuan jalang yang harus disingkirkan. Perseteruan dua wanita pendekar pun semakin dalam dan membakar dada.

Singkat cerita, Lasmini yang cintanya terlunta-lunta akhirnya jatuh di pelukan hartawan tua, Juragan Basra. Disangkanya kebahagiaan akan dapat diraihnya dengan bermodalkan harta. Tapi harapannya sia-sia. Hidup bersama tanpa cinta ternyata tak memberi kebahagiaan yang dicarinya. Mereka berselisih dan bertengkar. Pertengkaran memuncak ketika Lasmini hendak pergi, ikut boyong rakyat Pajajaran ke Galuh. Bagi Juragan Basra, ini bukan kepergian biasa… Lasmini pasti hanya cari alasan untuk meninggalkannya.

Marah, tak rela ditinggal tetapi juga tak bisa menahan kepergian, Juragan Basra pun gelap mata. Ia menyuruh anak buahnya membinasakan Lasmini… lebih baik ditinggal mati sekalian daripada ditinggalkan pergi ke entah tujuan. Anak buah Juragan Basra tak mampu menandingi ilmu silat Lasmini. Tapi mereka bukan orang bodoh dan pula bukan pendekar yang mengandalkan ilmu kesaktian saja. Dengan licik mereka menyerang menggunakan serbuk beracun. Lasmini roboh… dan lelaki-lelaki berandal itu pun akhirnya secara beramai-ramai memperkosanya, sebelum kemudian membunuhnya dengan jalan melempar kejurang.

Dalam hitungan detik tubuhnya menyentuh dasar jurang, datanglah seorang nenek tua yang menolong Lasmini yang tak berdaya. Nenek Lawu, pendekar sakti mandraguna menolongnya, bahkan kemudian menggemblengnya dengan ilmu-ilmu yang luar biasa. Jurus yang langka dan digjaya, melempar kembang anggrek jingga sebagai senjata rahasia. Berbekal ilmu sakti, Lasmini mengamuk menuntut balas pada lelaki-lelaki yang menginjak-injak harga dirinya.

Setelah kematian gurunya, Lasmini turun gunung… kemunculannya untuk menuntut balas menggegerkan Pajajaran. Para pendekar yang penasaran pun banyak yang berjatuhan. Madangkara pun tersulut rasa penasaran. Dikirimlah dua jawara Madangkara, Atang Subali dan Gatra Denawa, sepasang pendekar cambuk yang perkasa. Jurus Anggrek Seratus tersapu habis oleh dua jawara Madangkara yang memang perkasa. Tapi Lasmini kini adalah pendekar pilih tanding. Anggrek Seribu, jurus andalan ilmu Anggrek Jingga dikeluarkannya. Dua jawara pun roboh tak berdaya, cambuk mereka terlepas ketika Lasmini denga jeli dan cepat membidik pergelangan tangan mereka. Kehebohan demi kehebohan terus berkembang seiring munculnya pendekar perempuan yang bersenjatakan anggrek jingga, Si Kembang Gunung Lawu. Lasmini pun semakin dikejar dan diburu.

Kembali terulang nasib Lasmini: menjadi yang terpinggirkan, terusir dan kalah oleh kenyataan. Ia yang semula turun gunung sebagai pendekar sakti mandraguna, yang siap menuntut balas terhadap para penghinanya, kini terpaksa menyingkir karena begitu banyak pendekar yang memusuhinya.

Di Gunung Lawu, rumah gurunya, saat kepedihan begitu dalam menyiksanya, tak sengaja ia menemukan sebuah Kitab Pusaka, suatu ilmu yang belum diwariskan oleh gurunya, Ilmu Sinar Dewata atau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ajian Cipta Dewa, ilmu yang bersumberkan pada penggabungan intisari Ajian Serat Jiwa, intisari Ajian Waringin Sungsang, dan intisari Ilmu Lampah-Lumpuh. Penuh harapan, Lasmini pun mempelajari kitab ilmu sakti gurunya. Dan begitu berhasil menguasai Cipta Dewa, pertama-tama ingin dijajalnya kesaktian baru ini dengan menantang Sang Mahaguru Padepokan Gunung Saba, Panembahan Pasopati. Cipta Dewa memang luar bisa, Sang Panembahan yang digjaya itu pun tewas karenanya.

Target berikutnya dari Lasmini adalah Mantili. Dalam sebuah pertempuran hebat, Mantili pun roboh tak berdaya menghadapi Ajian Cipta Dewa. Kalau saja bukan karena Bentar menghalanginya, pastilah Mantili akan tewas saat itu juga. Tapi nasib Lasmini selalu demikian, terulang dan terulang: ketika kemenangan seolah telah diraih, saat itu juga ia terlempar ke jurang kegagalan. Ilmu sakti berhasil dikuasanya. Pendekar yang begitu tersohor pun roboh tewas di tangannya. Mantili musuh bebuyutannya pun berhasil ditumbangkannya… tetapi ia terusir oleh lelaki yang begitu dicintainya, “Bibi jahat… Bibi jahat… Bibi Lasmini telah membunuh Bibi Mantili… Bibi jahat…. pergiiiiiii… pergiiiiiii….!”

Dipandang jahat atau pun jalang oleh orang yang memang membencinya seperti Mantili, Lasmini memang tertusuk hatinya tetapi itu tidaklah apa-apa, malahan memacu semangatnya untuk membalas pada saatnya. Tapi dibenci oleh orang yang dicintai dan sebenarnyalah sungguh pula mencintainya, ah itu jauh lebih berat dan menyakitkan rasanya…. Lasmini… Lasmini… beginilah yang terus terjadi, wanita yang ingin mereguk kebahagian sederhana saja, tetapi selalu tersingkir dan terlempar jauh begitu apa yang dicari seolah sudah nyaris teregam di tangannya.

Raden Bentar berduka. Memang, di bibir ia mengusir Bibi Lasmini yang dicintainya. Tapi dalam hati ia sebenarnya sangat merindukannya. Kegalauan sang pangeran muda pun meresahkan para sesepuh Madangkara. Berbagai upaya dilakukan untuk menghiburnya, tetapi juga sekaligus untuk menjauhkan Lasmini dari hatinya.

Terpetiklah berita, seorang puteri pejabat Pajajaran, Tumenggung Gitanyali, konon sangat cantik dan sedemikian mirip dengan Lasmini. Dengan dalih mengundang menghadiri acara Kerajaan, Sang Tumenggung bersama keluarganya diundang. Tujuannya, agar Raden Bentar bisa diperkenalkan dengan Dewi Anjani, agar hatinya segera bisa melupakan Lasmini. Anjani adalah seorang perempuan terhormat, puteri seorang Tumenggung dari Kerajaan yang besar. Jauh lebih layak daripada Lasmini yang di kalangan para sesepuh Madangkara dianggap tak lebih dari seorang petualang cinta yang sedang memperdaya seorang remaja muda yang masih hijau soal cinta.

Mereka pun akhirnya diperkenalkan. Raden Bentar pun terpesona pada Dewi Anjani yang begitu mirip dengan Lasmini yang merenggut cinta pertamanya. Tapi sebenarnyalah, Bentar tak sungguh jatuh cinta. Ia hanya menemukan bayang-bayang Lasmini dalam diri gadis muda yang sedemikian mirip dengan perempuan yang dicintanya.

Siapakah Dewi Anjani itu? Bagaimana ia bisa demikian mirip dengan Lasmini? Konon ceritanya, ia sebenarnyalah anak gadis dari Lasmini sendiri. Dikisahkanlah latar belakangnya. Dulu, tampillah Lasmini sebagai seorang pendekar muda yang berbekal setingkatan ilmu kependekaran berteguh membela keadilan dan kebenaran. Sekawanan perampok dihajarnya, kocar-kacir tak berdaya. Tapi di tengah kebanggaan itu, tampillah sahabat para perampok itu, seorang pendekar yang lebih tinggi ilmunya, Si Tombak Iblis yang keji. Lasmini roboh di tangannya. Si Tombak Iblis pun ingin memperkosanya.

Lasmini tak berdaya. Tapi di saat genting itu, muncullah seorang prajurit muda yang tampan dan perkasa. Seorang punggawa pasukan tombak, Punggawa Gitanyali namanya. Pendekar tombak bertemu pimpinan prajurit tombak, beradu ilmu. Si Tombak Iblis tak berdaya, takluk di depan sang prajurit muda perkasa. Orang muda, tampan, punya jabatan, punya kesaktian…. sungguh bisa menjadi sandaran kebahagiaan. Lasmini pun akhirnya menerima pinangan sang punggawa. Mereka hidup bahagia sampai kemudian Lasmini melahirkan seorang bayi mungil yang cantik, puterinya, Anjani… Dewi Anjani namanya. Tapi kebahagiaan yang baru datang, selalu kemudian pergi.

Tak kerasan karena jiwa petualangnya terbatasi tembok-tembok istana, membuat Lasmini sering cekcok dengan Gitanyali suaminya. Puncaknya, mereka berpisah. Gitanyali tetap dengan pengabdiannya untuk negara, kemudian menikahi gadis keraton juga yang dari dulu sebenarnya sudah memperhatikannya tetapi tak pernah mendapat perhatiannya. Anjani pun hidup dalam asuhan Gitanyali bersama isterinya yang barul. Sementara Lasmini pergi merantau, pergi bersama hatinya yang terluka… sampai kemudian ia bertemu Tumenggung Bayan, harapan barunya… tetapi kekasihnya itu pun kemudian tewas di tangan Brama Kumbara. Kebahagiaan seolah tak mau datang, hanya menggodanya, begitu tertangkap langsung buyar dan kembali ia terlontar ke sepi derita.

Kehebatan Lasmini dan sepak terjangnya yang selalu membuat ulah dimana-mana dengan ilmu cipta dewanya akhirnya membuat Brama Kumbara turun tangan, dari titik inilah selanjutnya Garnis, sebagai salah satu tokoh Madangkara digambarkan telah ditemui oleh Brama yang secara khusus keluar dari tapa semedinya dipengasingan guna mewariskan ilmu Cipta Dewi. Sebuah ilmu dahsyat gabungan dari Ajian Serat Jiwa, Lampah Lumpuh dan juga Cipta Dewa milik Lasmini. Ditangan Garnis, Lasmini yang sebelumnya berilmu hebat akhirnya menemui kekalahan telak.

O.iya, ada dua tokoh lagi yang belum diceritakan disini. Dua punakawan yang selalu mengiringi perjalanan Mantili dan Raden Samba semasa mengelana sebagai sepasang pendekar yang mengejar Miranti si Klabang Hitam. Nama keduanya adalah Merid dan Bongkeng.

Baik Merid maupun Bongkeng tidak punya ilmu silat apalagi kesaktian apapun. Keduanya adalah dua punakawan yang biasa menghibur dan membantu membawa-bawa barang di dalam pengembaraan tersebut. Kelak, setelah Raden Samba menikah dengan Widati, Bongkeng mempunyai usaha sendiri dikadipaten Gunalaga dibawah kerajaan Sanggam dan sukses menjadi seorang saudagar. Merid tetap mengikuti Samba dan Widati.

Inilah kisah asli Saur Sepuh yang pernah ada diera 80-an. Sebuah kisah yang ditulis oleh almarhum Niki Kosasih dan menjadi populer ditelinga anak-anak sampai orang tua dijaman itu.

Kisah kisah Saur Sepuh:

  1. Darah Biru
  2. Perjalanan Berdarah
  3. Singgasana Berdarah
  4. Langit Membara Di Bumi Jamparing
  5. Banjir Darah Di Bubat
  6. Sastrawan Dari Jamparing
  7. Sengketa Tanah Leluhur
  8. Satria Madangkara
  9. Darah Putra Sanggam
  10. Pesanggrahan Keramat
  11. Telaga Rena Maha Wijaya
  12. Kembang Gunung Lawu
  13. Mutiara Dari Timur
  14. Air Mata Di Madangkara
  15. Perawan Bukit Lejar
  16. Perguruan Anggrek Jingga
  17. Titisan Darah Biru
  18. Istana Atap Langit
  19. Diatas Langit Ada Langit
  20. Sepasang Walet Putih

Tokoh

  • Brama Kumbara (suara diisi oleh Ferry Fadli): Raja Madangkara, kakak dari gusti putri Dewi Mantili, Beristrikan Dewi Harnum, Pramitha. Murid dari Ki Astagina. Brama Kumbara memiliki ajian gelang-gelang, Serat Jiwa, Ajian Waringin sungsang, Ilmu Ciptadewa. Brama Kumbara Diperankan oleh Fendi pradana. seperti ksatria baja hitam. dengan hensin "Matak hadeee"
  • Mantili (suara diisi oleh Elly Ermawati): Adik dari Brama Kumbara, mempunyai pedang setan dan pedang perak. Pedang setan akan mengeluarkan asap beracun sementara pedang perak mampu membutakan mata. Mantili mempunyai musuh bebuyutan yaitu Lasmini, wanita sundal yang mengumbar cinta dimana-mana.
  • Dewi Harnum: (suara diisi oleh Ade Julia)Istri pertama Brama Kumbara
  • Paramita (suara diisi oleh Maria Oentoe): Istri kedua Brama Kumbara
  • Raden Samba (suara diisi oleh Edy Dhosa)
  • Lasmini (suara diisi oleh Ivonne Rose): Perempuan penggoda, yang menebar cinta dimana-mana. Mempunyai Ilmu Cipta Dewa yang mampu mengalahkan mantili dalam duel berdua. Lasmini menyimpan dendam membara pada Brama Kumbara karena cintaya yang tidak terbalaskan. Diperankan oleh Murti Sari Dewi.
  • Bongkeng (suara diisi oleh Bahar Mario)
  • Merit (suara diisi Mario Kulon)
  • Patih Gotawa (suara diisi oleh Petrus C.Urspon): Suami Mantili
  • Raden Bentar (suara diisi oleh Petrus C.Urspon): Putra Senopati Sadeng dan Dewi Pramitha sekaligus anak tiri dari Brama Kumbara. Raden Bentar merupakan generasi kedua Saur sepuh setelah Brama Kumbara dan Mantili bertapa disuatu tempat.
  • Garnis Waningyun (suara diisi oleh Anna Sambayon pernah juga Novia Kolopaking): Kakak kandung Raden Bentar. Kelak ia bahu membahu dengan raden Bentar untuk mempertahankan Madangkara dari gerogotan orang-orang Kuntala.
  • Raden Wanapati: Putra Mahkota Madangkara yang menggantikan Brama Kumbara. Dibawah kendali Wanapati, Madangkara banyak bergejolak, ketidak puasaan akan kepemimpinan kaum muda yang emosional di tentang oleh kaum-kaum tua yang telah berjasa pada Madangkara.
  • Raden Paksi Jaladara (suara diisi oleh Bambang Jeger): Putra dari Mantili dan Patih Gotawa
  • Dewi Anjani (suara diisi oleh Novia Kolopaking): Anak Lasmini. Mempunyai wajah yang amat mirip dengan Lasmini. Raden Bentar yang cinta mati dengan Lasmini (tapi ditentang Mantili) akhirnya tertarik juga dengan Dewi Anjani. Dalam menjalin Cinta Raden Bentar - Dewi Anjani, ada pihak ketiga yaitu sekar kedaton Madangkara Dewi Rara Amiati.

Brama pernah mencintai seorang wanita. Kisah cinta ini muncul dalam episode berjudul Bara di Bumi Ankara, dimana dalam perjalanannya di Ankara, Brama jatuh cinta dengan seorang putri raja bernama Putri Doria.Cinta pertamanya itu terbunuh dalam sebuah pertempuran. Sosok Brama yang gagah, tampan, dan karismatik banyak menarik perhatian wanita, termasuk Lasmini yang pada akhirnya menjadi musuh bebuyutannya. Brama bertemu dengan Dewi Harnum, wanita muda belia yang cantik jelita, bangsawan Kerajaan Niskala dan juga pendekar wanita yang sangat mencintainya, namun Brama saat itu hanya menganggap Dewi Harnum seperti adik baginya. Dewi Harnum hampir selalu menjadi pendamping Brama dalam perjalanannya. Dia juga yang menjadi satu-satunya saksi pertarungan dahsyat Ajian Serat Jiwa tingkat 10 melawan Ajian Serat Jiwa tingkat 10 antara Brama dengan Gardika (musuh bebuyutan Brama).

Kemudian Brama dan Harnum dalam pengembaraannya mengejar Gardika dan Kendala, bertemu dengan Dewi Paramita, seorang janda beranak 2 (Raden Bentar dan Garnis) yang juga menaruh hati kepada Brama Kumbara. Harnum kemudian bersahabat erat dengan Paramita. Kelembutan, keanggunan, kematangan, kedewasaan dan sifat keibuan Dewi Pramitha membuat Brama jatuh hati pada Pramitha. Karena persahabatan yang erat antara Pramitha - Harnum dan mengetahui bahwa sahabatnya juga mencintai orang yang dicintainya, maka ketika

Pramitha dilamar oleh  Brama, Pramithalah yang mensyaratkan agar Brama juga

menikahi Harnum.

Mantili

Sebenarnya cinta sejati Mantili adalah Raden Samba. Namun karena sifat Mantili yang keras, mereka sering bertengkar dan pada akhirnya Mantili malah menikah dengan Patih Gutawa. Raden Samba yang kemudian menikah dengan wanita lain ternyata masih menyimpan hati kepada Mantili, akibatnya pernikahannya jadi tidak harmonis.

Di kemudian, hari putra Raden Samba datang ke Madangkara mencari Mantili untuk membalas dendam karena menganggap Mantili sebagai penyebab ketidakharmonisan keluarganya.

Saur Sepuh di layar lebar

Setelah sandiwara radionya sukses dan menjadi populer secara nasional, Saur Sepuh merambah ke layar lebar pada tahun 1988. Bekerjasama dengan Kanta Indah Film, Kalbe Farma turut mendanai pembuatan film Saur Sepuh yang disutradarai oleh sutradara ternama Imam Tantowi. Saur Sepuh akhirnya dirilis di film layar lebar secara nasional pada tahun 1988, dan setelah sukses besarnya juga diikuti oleh empat film sekuelnya dalam sebuah waralaba. Lima film serial Saur Sepuh tersebut yaitu:

Film Saur Sepuh: Satria Madangkara terjadi pada latar zaman kerajaan Majapahit. Film ini dirilis tahun 1988, dengan disutradarai oleh Imam Tantowi dan dibintangi oleh Fendy Pradana sebagai Brama Kumbara, Elly Ermawatie (yang juga mengisi suara Mantili dalam versi sandiwara radionya) sebagai Mantili, dan Murti Sari Dewi sebagai Lasmini.

Bibit konflik dan peperangan mulai tumbuh di bumi Kerajaan Majapahit setelah Bhre Wirabhumi mendirikan Kerajaan Pamotan dan bertekad untuk merebut tahta kerajaan besar yang menjadi besar di bawah kepemimpinan ayahnya, Prabu Hayam Wuruk, dari tangan Wikramawardhana, menantu ayahnya tersebut. Dalam kekacauan tersebut, kekasih Lasmini, seorang hulubalang dari Kerajaan Pamotan, tewas di tangan Brama Kumbara karena telah membunuh utusan dari Kerajaan Madangkara yang berniat mendamaikan pertikaian Kerajaan Pamotan dan Majapahit. Lasmini tidak terima atas kematian kekasihnya tersebut sehingga menuntut balas pada Brama Kumbara, seorang satria gagah berani dan bersahaja dari Kerajaan Madangkara yang menjadi buah bibir di warga Madangkara. Akan tetapi ketika berhadapan dengan Brama Kumbara, Lasmini menjadi terpikat dan jatuh hati pada Brama, namun dia juga menjadi muak pada Mantili, adik kesayangan Brama. Kisah ini menjadi awal mula kisah cinta tragis dalam serial Saur Sepuh, dimana cinta Lasmini pada Brama tidak terbalas dan menjadi musuh bebuyutan Mantili.

Setelah sukses lewat Satria Madangkara, Kanta Indah Film kembali memproduksi sekuel dari film pertamanya dengan judul Pesanggrahan Keramat. Film yang dirilis tahun 1989 ini kembali disutradarai oleh Imam Tantowi dan masih menggunakan pemeran-pemeran yang sama dengan Satria Madangkara.

Dalam Pesanggrahan Keramat, makam dari guru Brama Kumbara dibakar dan dirusak oleh komplotan yang dipimpin Ki Jara dan Ki Lugina yang di dukung oleh Karti, seorang saudagar dari Kuntala. Brama menjadi murka dan menuntut balas pada orang-orang yang telah membakar makam gurunya. Film ini menggambarkan adegan-adegannya secara sesuai dengan yang diceritakan dalam versi sandiwara radionya. Antara lain dalam adegan dimana Brama dilempar pisau, namun tiba-tiba menghilang dan muncul di belakang orang yang hendak membunuhnya.

Setelah sukses kedua kalinya lewat Pesanggrahan Keramat, Kanta Indah Film kembali memproduksi Kembang Gunung Lawu sebagai bagian waralaba Saur Sepuh. Kembang Gunung Lawu dirilis tahun 1990 dan kembali disutradarai oleh Imam Tantowi dan masih menggunakan pemeran-pemeran yang sama dengan Satria Madangkara. Film ini berkisah tentang latar belakang Lasmini, salah satu tokoh utama dalam kisah cinta tragis Saur Sepuh, yang dikenal dengan nama "Kembang Gunung Lawu" dengan perguruan "Anggrek Jingga"-nya.

Lasmini adalah istri dari seorang pedagang di Kawali yang diperkosa oleh anak buah suaminya dan kemudian dibuang ke jurang. Dalam keadaan sekarat, Lasmini mendapat pertolongan dari seorang nenek tua yang kelak akan menjadi gurunya. Setelah berilmu, Lasmini kembali ke Kawali dan menuntut balas secara keji ke orang-orang yang telah memperkosa dan membuangnya. Tindakan Lasmini yang sewenang-wenang mengundang Mantili untuk ikut berduel, walaupun pada akhirnya kalah oleh kesaktian Lasmini. Dengan ajaran ajian Srigunting dari kakaknya, Prabu Brama Kumbara, Mantili kembali berduel dengan Lasmini. Dengan latar duel di pantai yang penuh dengan efek khusus yang memukau penonton kala itu, film ini banyak menarik penonton perfilman Indonesia kala itu. Film Saur Sepuh 3 dengan tokoh sentral Lasmini.

Dirilis pada tahun 1991, Titisan Darah Biru menceritakan tentang generasi kedua dari Kerajaan Madangkara dengan tokoh utama Raden Wanapati, Raden Bentar, dan Garnis Waningyun. Titisan Darah Biru dibintangi oleh Agus Kuncoro sebagai Wanapati, Candy Satrio sebagai Bentar dan Devi permatasari sebagai Garnis Waningyun. Secara keseluruhan film ini dinilai mengalami kemajuan dibanding-film-film pendahulunya dari segi penataan musiknya.

Cerita dalam Titisan Darah Biru cenderung lepas dari film-film pendahulunya. Film ini menceritakan tentang kepemimpinan Wanapati yang cenderung emosional sehingga banyak menghadapi tentangan dari kaum sesepuh kerajaan Madangkara. Sementara sang Prabu Brama Kumbara yang sedang bertapa hanya menjadi tokoh pembantu dalam film ini.

Istana Atap Langit merupakan film terakhir dalam serial waralaba Saur Sepuh yang dirilis tahun 1992 dan disutradarai Torro Margens. Walaupun Imam Tantowi tidak kembali menyutradarai film ini, Istana Atap Langit dinilai sebagai bagian serial waralaba layar lebar Saur Sepuh yang terbagus dari segi kualitas, efek khusus, tata suara serta ilustrasi musik. Cerita dalam film ini juga lebih tepat dimasukkan ke dalam kisah sentral film Saur Sepuh, karena kembali mengetengahkan kisah tiga tokoh utamanya, yaitu Prabu Brama Kumbara (Fendy Pradana), adiknya Mantili (Elly Ermawatie), dan Lasmini (Murti Sari Dewi).

Biksu Kampala dan Biksu Targhu, dua biksu pengelana dari negeri Tibet hadir di Kerajaan Madangkara untuk mengenal kerajaan yang kecil namun makmur bersahaja yang dipimpin Prabu Brama Kumbara tersebut. Namun kehadiran mereka justru dianggap sebagai musuh setelah Lasmini menyebarkan isu bahwa Kampala datang untuk membunuh Prabu Brama Kumbara. Isu Lasmini tersebut akhirnya menebar kekacauan dimana pun Biksu Kampala dan Biksu Targhu hadir. Mantili menyadari niat buruk Lasmini yang mengail di air keruh dan membuat Lasmini marah setelah utusannya, Kijara dan Lugina tewas di tangan Mantili. Mantili akhirnya menyadari kekeliruannya dan kemudian meminta Brama Kumbara supaya turun tangan untuk menyelesaikan semuanya. Di akhir cerita, Raden Bentar dititipkan oleh Prabu Brama Kumbara ke dalam asuhan Biksu Kampala untuk mendalami ajaran Buddha di negeri Tibet.

Saur Sepuh di layar kaca

Galeri