Abdul Latif Syakur
Abdul Laṭīf Shakūr (1886-1963) adalah seorang ulama Minangkabau yang berkiprah dalam pemajuan pendidikan perempuan dan pers. Ia berasal dari Balai Gurah, Ampek Angkek, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia merupakan sosok yang terbuka dan mendorong kemajuan bagi perempuan. Hal itu terlihat dari dukungan yang ia berikan kepada putrinya, Abdul Laṭīf Shakūr untuk menerbitkan majalah khusus perempuan bernama Djauharah yang terbit pada tahun 1923, sebelas tahun setelah terbitnya Soenting Melajoe.[1]
Pendidikan
Dalam usia yang masih kecil, Abdul Laṭīf Shakūr berangkat ke Makkah untuk belajar. Di antara gurunya adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Ia belajar bersama dengan Abdul Karim Amrullah, Jamil Jambek, dan Muḥammad Ṭhaib Umar.[2] Di antara mereka, Abdul Laṭīf Shakūr merupakan murid termuda. Ia belajar selama 13 tahun di Makkah dan pulang ke kampung halamannya pada tahun 1902 dalam usia 19 tahun.[3]
Aktivitas
Setiba di kampung halaman, aktivitas Abdul Laṭīf Shakūr berfokus pada upaya memperbaiki perilaku masyarakat. Ia melihat masyarakat Minangkabau pada umumnya berada dalam krisis moral. Sasaran utama dakwahnya adalah perempuan. Saat itu, banyak perempuan tidak mendapatkan pendidikan yang layak dan menjalani kehidupan rumah tangga dalam keadaan terpaksa. Akhirnya, banyak terjadi kawin cerai yang merugikan pihak perempuan.[1]
Dakwah Abdul Laṭīf Shakūr terhadap perempuan diwujudkanya dalam bentuk mendirikan sekolah dan majalah. Sekolah yang Abdul Laṭīf Shakūr didirikan bernama At-Tarbiyatul Hasanah (Surau Sicamin). Di sini, ikut menyekolahkan anak perempuannya yaitu Sha’diyah Shakūrah. Putrinya ia dorong untuk menulis, begitu pula murid-muridnya. Berkat dukungannya, sang putri mendirikan majalah khusus perempuan bernama Djauharah pada tahun 1923. Di majalah itulah, Sha’diyah Shakūrah dan murid-murid Abdul Laṭīf Shakūr menulis untuk menyuarakan suara perempuan.[1]
Abdul Laṭīf Shakūr produktif dalam menulis. Secara umum, karya-karyanya membahas tentang akhlak dan adab serta yang berkaitan dengan Al-Quran dan bahasa Arab. Ia menarik diri dari gelanggang perdebatan khilafiyah yang pada awal abad ke-20 mewarnai wacana keislaman di Minangkabau. Ketidakterlibatannya ini membuat namanya tidak populer dibandingkan ulama Minangkabau lainnya yang sezaman.[1]
Secara khusus, ia menulis buku dengan tema perempuan yakni berjudul Dunia Perempuan. Isinya tentang panduan bagaimana perempuan berkiprah dan bergaul menurut Al-Quran dan hadis. Pada masanya, tidak banyak ulama Minangkabau yang membahas tentang perempuan. Persoalan tentang perempuan menjadi mencuat saat beberapa perempuan Minangkabau mendobrak tradisi lama yang tidak mengizinkan mereka untuk menuntut ilmu seperti Roehana Koeddoes (1884-1972) dan Rahmah El Yunusiyah (1900-1969).[1]
Selain tema-tema yang disebutkan di atas, Abdul Laṭīf Shakūr menulis buku tentang tauhid berjudul Risalah Lathifah serta autobiografi berjudul Al-Mu’ashārah. Namun, sebagian besar karya Abdul Laṭīf Shakūr masih dalam bentuk manuskrip alias belum diterbitkan. Saat ini, sebagian besar keseluruhan karya Abdul Laṭīf Shakūr disimpan di rumah Chuzaimah, cucu sekaligus ahli waris Abdul Laṭīf Shakūr di Balai Gurah.[1]
Karya
Berikut adalah daftar karya Abdul Laṭīf Shakūr baik yang sudah diterbitkan maupun dalam bentuk manuskrip.[4]
- Sullam Al-Arab
- Nazham Nasehat untuk Anakku
- Al-Latha’if (2 jilid)
- Risalah Lathifah
- Adda’wah wa al-Irsyad
- Dunia Perempuan
- Taqrib al-Majazah
- Mabādi al-‘Arabiyah wa Lughatuha
- Tambo Islam
- Akhlāqunā al-Adabiyah
- Al-Tarbiyah wa al-Ta’līm Qism al-Tauhīd
- Al-Akhlaq wa al-‘Adāb
- Mulakhaṣ al-Tārīkh al-Islāmi
- Al-Fiqh al-Akbar
- Mabādi’ al-Qāri
- Ta’līm al-Qirāah al-‘Arabiyah
- Al-Mu’ashārah
Keturunan
Sekembali dari Makkah pada tahun 1902, Abdul Laṭīf Shakūr menetap di Sawah Gadang, Balai Gurah. Satu tahun kemudian, Abdul Laṭīf Shakūr menikah dengan Rafan. Dari pernikahan pertama, Abdul Laṭīf Shakūr tidak dikaruniai keturunan sehingga mengakibatkan pendeknya umur perkawinan mereka. Pernikahan kedua Abdul Laṭīf Shakūr yakni dengan Kama, tetapi karena masih belum dikaruniai keturunan, umur perkawinan mereka tidak panjang. Pada tahun 1908, ia kembali menikah yakni dengan Maryam. Pasangan ini dikarunai empat orang anak, yaitu Sha’diyah Shakūrah, Sha’nuddin, Sha’dullah, dan Latifah.[3]
Setelah itu, Abdul Latif Syakur menikah lagi dengan Raqiyah, tetapi tidak dikaruniai keturunan. Lalu, Abdul Latif Syakur menikah untuk kelima kalinya dengan Kamaliyah dan memiliki satu anak yang bernama Muhammad Sa’id Syakur. Abdul Latif Syakur menikah lagi dengan Aisyah, tetapi tidak dikaruniai keturunan. Terakhir, ia menikah dengan Ka’isah yang memberinya lima orang anak, yakni Shu’ada, Syafiuddin, Mahdiyah, Nafisah, dan Syafruddin.[3]
Referensi
- ^ a b c d e f Yulfira Riza & Titin Nurhayati Ma’mun (2018). "Berdamai dengan Perempuan: Komparasi Teks antara Naskah Al-Muāshirah dan Kitab Cermin Terus". Manuskripta. 8 (2): 113–136. doi:10.33656/manuskripta.v9i1.134.
- ^ Riza, Yulfira; Sandora, Lisna (2019). "Shekh Abdul Laṭīf Shakūr's Manuscript Dunia Perempuan and Woman Representation on Man's View". Proceedings of the 2nd Internasional Conference on Culture and Language in Southeast Asia (ICCLAS 2018). Paris, France: Atlantis Press. doi:10.2991/icclas-18.2019.22. ISBN 978-94-6252-663-1.
- ^ a b c Wahidi, Ridhoul (2019-10-19). "Konsep Nasionalisme Perspektif Syaikh Abdul Latief Syakur". RELIGIA: 267. doi:10.28918/religia.v22i2.2191. ISSN 2527-5992.
- ^ Apria Putra (2017). "Ulama Minangkabau dan Sastra: Mengkaji Kepengarangan Syekh Abdullatif Syakur Balai Gurah". Diwan. 9 (1): 601–624. doi:10.15548/diwan.v9i17.133.