Tari Moriringgo

salah satu tarian di Indonesia

Tari Moriringgo adalah tari rakyat asal Sulawesi Selatan yang sejak dahulu sampai sekarang dilestarikan oleh suku Padoe. Tarian syukuran ini sering dilaksanakan setelah selesai melaksanakan padungku (panen). Arti kata moriringgo merupakan "rintangan". Selain pada acara syukuran karena panen yang berhasil, juga dilaksanakn pada acara syukuran menyambut Pongkiari yang pulang berperang dan menang, serta acara syukuran menyambut Saliwu waktu pulang dari Palopo menebang pohon Langkanae.

Asal usul

Suku Padoe adalah suku yang berdiam di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan. Suku Padoe tersebar di Kecamatan Wasuponda, Towuti, Mangkutana, dan Nuha. Mereka banyak terdapat di daerah pegunungan dan lembah di Luwu Timur. Populasi Suku Padoe diperkirakan sekitar 18.000 orang. Suku Padoe mendiami daerah ini diperkirakan sejak abad ke XIV yang bermigrasi dari daearah Sulawesi Tengah. Dalam bahasa setempat istilah “Padoe” berarti “orang jauh”. Di Luwu Timur mereka menjadi bagian dari dua belas anak suku di bawah pemerintahan kedatuan Luwu. Dari cerita rakyat, Suku Padoe ini berasal dari suku Lili To Padoe Bangkano Kalende, yang terbagi menjadi empat suku yaitu Padoe, Lasaelawali, Kinadu dan Konde. Pada era pemberontakan DI/TII Abdul Kahar Muzakkar, banyak orang Padoe yang kembali ke tanah nenek moyang mereka di Sulawesi Tengah seperti Beteleme, Poso, Taliwan, Parigi, dan lain-lain. Suku Padoe menganut agama kepercayaan Melahomua sebuah aliran kepercayaan yang meyakini kekuatan alam, pohon, yang dianggap keramat, gunung, bukit hingga hal-hal kecil lainnya. Pada tahun 1920-an ketika misionaris Kristen datang beberapa di antara Suku Padoe kemudian memeluk agama Kristen.

Perkembangan

Pada abad ke 14 ketika kedatuan Luwu mencapai kejayaannya Mokole Matano bergabung dengan kedatuan Luwu. Dari tempat ini Luwu menyebarkan kemahsyurannya terutama di Jawa lantaran kualitas besi yang mengandung nikel hasil peleburan di Danau Matano, di luar Luwu, Matano lebih dikenal sebagai Rahampu’u atau rumah pertama di pesisir Matano sekaligus menjadi penghuni pertamanya. Peleburan besi di Matano dilakukan dengan cara sederhana, tungkunya dari tanah, pipanya dari bambu, sementara tuasnya dari bahan kayu yang dilapisi bulu ayam agar angin yang dihasilkan tidak keluar dari bambu dan menghembus cepat ke tungku satu.

Luwu timur merupakan salah satu kabupaten yang baru dibentuk dan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Luwu Utara. Di Kabupaten Luwu Timur terdapat beragam suku bangsa karena Luwu Timur merupakan daerah transmigrasi. Adapun suku bangsa seperti Bugis, Luwu, Toraja, Bali, Jawa, Pamona, Padoe, Karunsie, dan Tambee, dan masih banyak lagi lainnya. Meskipun terdiri atas banyak anak suku, namun kehidupan toleransi beragama dan kesukuan cukup tinggi di wilayah ini.[1]

Fungsi

  • Fungsi terdahulu dari tarian moriringgo yakni sebagai tarian kemenangan ketika Suku Padoe mengalami kemenangan di medan perang. Selain itu, tarian ini juga digunakan untuk melakukan budaya padungku (pesta panen). Budaya padungku dilaksanakan oleh masyarakat secara serentak dengan acara pokok makan bersama. Pada acara ini juga ditampilkan tarian dero bersama dan tarian moriringgo sebagai tarian pesta panen sebagai ungkapan rasa syukur.
  • Fungsi tarian Moriringgo saat ini telah mengalami pergesaran, jika dahulu tarian ini hanya ditampilkan pada momen tertentu saja. Berbeda untuk saat ini sebab tarian Moriringgo telah dijadikan sebagai tari hiburan, tarian menyambut tamu kehormatan, ditampilkan pada festival tari tingkat kabupaten. Selain itu, tarian moriringgo kini memiliki nilai edukasi karena tarian ini telah dilestarikan melalui sanggar-sanggar tari dan diajarkan di sekolah.

Rujukan

  1. ^ Sritimuryati (Juni 2019). "Perkembangan Tari Moriringgo di Kabupaten Luwu Timur: Kajian Historiografi Tarian Tradisional". Jurnal Walasuji. 10 (1): 26. ISSN 2502-2229.