Jodhangan

tradisi masyarakat Imogiri, Bantul, D.I Yogyakarta

Jodhangan adalah tradisi masyarakat agraris Desa Selopamioro Imogiri Bantul. Tradisi jodhangan dilaksanakan setiap tahun pada hari Minggu Pahing di bulan Besar (Zulhijjah) menurut kalender Jawa atau Islam. Sebagai tanda syukur pada Allah yang telah memberikan rezeki dari hasil bumi, memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tradisi jodhangan digelar di sekitar Gua Cerme karena disakralkan oleh masyarakat setempat sebagai tempat suci warisan Walisanga.

Asal-usul

Jodhangan awalnya merupakan kegiatan masyarakat Dusun Srunggo dalam melaksanakan upacara merti dhusun dan ini dilakukan sudah cukup lama atau sejak nenek moyang. Masyarakat dan pemerintah setempat sepakat merubah tradisi merti dhusun menjadi tradisi jodhangan. Tradisi jodhangan ini diartikan oleh masyarakat Dusun Srunggo sebagai sedhekahan (selamatan sesudah panen). Tujuannya, selain sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, juga sebagai permohonan agar senantiasa mendapat berkah dan keselamatan dari Sang Pencipta. Tujuan diselenggarakannya tradisi jodhangan di Goa Cerme agar semakin berkembang dan menjadi perhatian tidak hanya oleh masyarakat setempat, tetapi juga wisatawan domestik maupun mancanegara, menjadi objek wisata religius yang pada gilirannya akan menjadi suatu kemasan yang integratif antara tiga domain utama, yaitu agama, budaya, dan pariwisata.

Disebut dengan jodhangan, karena penggunaan jodhang-jodhang yang difungsikan untuk membawa makanan atau hasil bumi dalam upacara merti dhusun. Jodhang adalah semacam tandu yang dipikul oleh empat orang. Di atas tandu diletakkan semacam kotak panjang dari kayu. Agar terlihat indah, jodhang dihias sehingga menyerupai rumah kecil.

Tradisi jodhangan bermula dari adanya mitos bahwa Baginda Raja Harnaya Rendra dari Kerajaan Giringlaya bersedih karena penyakit dan kelaparan yang menimpa rakyatnya. Atas nasihat punggawa, sang raja meminta pertolongan pada Resi Hadidari dari Desa Ngandong Dadapan. Resi menyarankan agar pada awal tahun (Sura) seluruh penduduk membersihkan desa. Dengan diselenggarakannya bersih desa keadaan menjadi membaik. Berdasarkan mitos tersebut, masyarakat lalu melaksanakan upacara merti dhusun/sedhekah bumi/bersih dusun sebagai persembahan kepada penguasa cikal-bakal dusun yang bernama Kyai Srunggo.

Dalam perkembangannya, upacara dikaitkan dengan keberadaan para Walisanga di Goa Cerme. Konon di dalam Goa Cerme ini pernah ditemukan surban wali yang jatuh, sehingga berubah menjadi tempat-tempat tertentu dan diindentikkan dengan tempat-tempat suci agama Islam serta nama-nama tempat yang berhubungan dengan suatu kraton. Tempat tersebut antara lain: Air Zam-zam, Watu kaji, Mustoko, Paseban Dalam, dan Paseban Luar. Selain itu, mitos yang berkembang bahwa Goa Cerme ditunggu oleh beberapa dhanyang yang berjumlah sembilan orang, diantaranya yaitu dhanyang Kyai Tawang Gantungan, Kyai Kedung Mlati, Kyai Gadung Kawuk, Kyai Minang Sukma, dan Nyai Endang Rantam Sari.

Prosesi

Jalannya upacara

Tradisi jodhangan dilakukan pada hari Minggu Pahing di bulan Besar (Dulhijjah) menurut kalender Islam Jawa. Pada saat itu wilayah sekitar Goa Cerme cukup ramai dan meriah karena masyarakat Dusun Srunggo I dan II melaksanakan hajatan besar yakni jodhangan (sedhekahan atau selamatan sesudah panen). Kesenian campursari, kesenian jathilan, slawatan, pentas wayang kulit ikut meramaikan acara tersebut, sehingga menambah meriahnya kegiatan acara jodhangan. Rangkaian prosesi jodhangan ini pun dari tahun ke tahun selalu sama tanpa ada perubahan.

Sebelum hari pelaksanaan tradisi, pada hari Jumat Kliwon setelah sholat Jumat semua warga laki-laki Dusun Srunggo I dan II melaksanakan bersih kuburan atau makam dusun secara bersama-sama. Sore harinya (malam Sabtu Legi) diselenggarakan tahlilan dan pitung lesan di rumah bapak RT. Pitung lesan adalah berdoa bersama yakni melalui dzikir dan membaca Surat Yasin yang ditujukan kepada para leluhur. Hari Sabtu Legi warga bergotong royong membersihkan jalan dusun, tempat-tempat umum termasuk pelataran Goa Cerme yang akan dijadikan lokasi upacara. Sementara Ibu-ibu menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Hari Minggu Pahing kurang lebih pukul 09.00 WIB peserta upacara jodhangan bersiap-siap dengan membawa yang dibutuhkan dalam upacara, yaitu jodhang beserta isinya (sesaji) yang diletakkan dalam sebuah besek menuju pelataran Goa Cerme. Dalam kegiatan upacara masing-masing RT mengeluarkan sebuah jodhang yang masing-masing pembiayaannya ditanggung bersama oleh  sejumlah kepala keluarga yang ada di tiap-tiap RT.

Tepat pukul 10.00 WIB iring-iringan upacara telah sampai di pelataran goa. Urutan terdepan rombongan kesenian, diikuti para gadis atau domas yang membawa separangkat pisang sanggan, dan urutan di belakangnya jodhang. Setelah iring-iringan sampai di pelataran Goa Cerme, selanjutnya acara demi acara dimulai. Acara pertama pembukaan, dilanjutkan slawatan, sambutan-sambutan mulai dari kepala desa, camat, Dinas Pariwisata Bantul, doa dilanjutkan Ijab Qobul (bagi yang mempunyai nadar)  dan diakhiri makan bersama semua warga yang hadir. Malam harinya, acara ditutup dengan pertunjukan Wayang Kulit.

Peralatan dan Sesaji

Peralatan yang digunakan dalam tradisi jodhangan. Jodhang dibuat dengan menggunakan kayu yang berbentuk limasan, yang fungsinya untuk membawa ubarampe atau sesaji dengan cara digotong atau dipikul oleh empat orang di setiap sudutnya. Adapun sesaji yang  berada di jodhang segala hasil bumi seperti kacang panjang, jagung, pare, mentimun, terong, lombok, mlinjo, tomat dan lain sebagainya. Hasil bumi tersebut untuk menghias jodhang agar kelihatan bagus dan indah. Adapun sesaji yang berada di dalam jodhang adalah makanan berupa nasi gurih/nasi uduk, ayam ingkung, nasi golong, tumpeng menggana, nasi liwet, golong lulut, tumpeng robyong, jajan pasar, dan pisang sanggan untuk kenduri atau selamatan.