Puisi Gelap

Puisi gelap lebih bersifat pribadi, sehingga pembaca sulit menafsirkan makna puisi secara jelas
Revisi sejak 21 Oktober 2021 16.45 oleh MA. Fauzan (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Penyair menggunakan HotCat)

Puisi Gelap adalah salah satu aliran puisi yang memiliki arti yang bersifat pribadi sehingga sulit dipahami maknanya. Puisi ini juga mengandung kias, lambang dan majas yang juga mempunyai kesamaan dengan puisi pada umumnya, namun puisi gelap memiliki sifat yang sangat pribadi sehingga pembaca kesulitan menafsirkan makna dengan jelas. Makna tersebut seringkali tersembunyi dan bertingkat serta memiliki kesukaran pikiran dan kenihilan makna.[1]

Ciri Ciri

Penyair yang sering menulis jenis puisi gelap seringkali dengan sengaja menyampaikan suatu maksud atau pandangan dengan menggunakan kiasan, lambang, bentuk tipografis serta menyampaikan kalimat implisit secara rumit. Kata yang digunakan adalah kata yang disertai konotasi dan simbol simbol tertentu. Bentuk tersebut adalah puisi tertutup atau hermetis. Puisi tersebut mencerminkan ekspresi perseorangan dan penyampaikan perasaan.

Awal Muncul Puisi Gelap

Kemunculan puisi gelap dimulai pada tahun 1930-an. Istilah puisi gelap pertama kali disebut oleh Chairil Anwar dalam esainya yang berjudul “Hoppla” (yang dimuat dalam majalah Pembangoenan tahun I Nomor 1, 10 Desember 1945). Esai tersebut kemudian dibukukan dalam buku H.B Jassin yang berjudul Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, Cetakan pertama 1956, Cetakan kedua 1959.)[1]

Sajak-Sajak Amir Hamzah yang berjudul sajak Nyanyi Sunyi banyak mengungkapkan majas yang personal. Hal tersebut membuat Chairil menyebutnya sebagai puisi gelap (duistere poezie). Chairil menjelaskan bahwa dalam puisi tersebut, kita sebagai pembaca tidak akan bisa mengerti Amir Hamzah jika hanya membaca Nyanyi Sunyi Sonder dengan bekal pengetahuan tentang sejarah dan agama karena kalimat yang disampaikan Amir mengenai misal serta perbandingan dari sejarah dan agama (Jassin, 1959).[1][2]

Puisi gelap pada tahun 1950-1960 tersebut juga sudah marak dan banyak puisi yang susah dmengerti dan dinikmati. Lalu pada tahun berikutnya yakni pada 70 hingga 80-an juga tetap eksis. Pada tahun 1980-an ditemukan banyak aliran puisi gelap seperti yang ditulis oleh Afrizal Malna dan Kriapur. Abdul Hadi W.M (1988) menyebutkan bahwa sajak-sajak Kriapur bukan menggunakan kata-kata klise, melainkan juga tanpak aneh dan gila. Ungkapan seperti “bulan pecah berantakan” dan “kupahat mayatku di dasar air” adalah majas dan lambang yang bersifat pribadi sehingga gelap maknanya.

Perkembangan Puisi Gelap di Jawa Timur

Perkembangan puisi gelap juga berkembang di kota-kota lain, seperti di Surabaya, Jawa TImur. Dalam tulisan Yoga di Harian Kompas Edisi 22 Juli tahun 2008, Ia menyebutkan bahwa perkembangan puisi gelap di Surabaya dimulai pada tahun 1995-an ketika penyair menggandrungi aliran surealisme. Lalu pada tahun 2004, penyair dari Jawa Timur, yakni Indra Tjahyadi dan W. Haryanto mengatakan bahwa penyair jawa timur bekecenderungan apokalipsa, di mana hasrat untuk menunjukkan bahwa zaman kita hidup sekarang ini dipenuhi tanda tanda buruk yang mengisyaratkan hancurnya tatanan kehidupan sosial dan kebudayaan. [3]

Beberapa Penyair yang Beraliran Puisi Gelap

  1. Amir Hamzah
  2. Kriapur
  3. Afrizal Malna
  4. F. Aziz Manna
  5. Indra Tjahyadi
  6. W. Haryanto

Referensi

  1. ^ a b c "Artikel "Puisi Gelap" - Ensiklopedia Sastra Indonesia". ensiklopedia.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2021-10-21. 
  2. ^ Tempo, Tempo (14 Agustus 2017). "PUISI GELAP AMIR HAMZAH". Tempo. Diakses tanggal 20 Oktober 2021. 
  3. ^ S, Yoga (22 Juli 2008). "Taman Puisi Gelap Surabaya". Kompas. Diakses tanggal 20 Oktober 2021.