Lalibela

Revisi sejak 12 Februari 2022 03.30 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Rescuing 2 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8.6)

Lalibela adalah kota di kawasan utara Etiopia yang terkenal dengan gereja-gerejanya yang dipahat pada batu utuh. Lalibela adalah salah satu kota suci Etiopia, nomor dua sesudah Aksum, dan merupakan salah satu kota tujuan ziarah. Berbeda dari Aksum, hampir semua penduduk Lalibela adalah umat Kristen Ortodoks Etiopia. Bangsa Etiopia adalah salah satu bangsa yang paling awal memeluk agama Kristen pada paruh pertama abad ke-4, dan sejarahnya berakar pada zaman para rasul.

Lalibela
ላሊበላ
Gereja Santo Georgius, salah satu di antara gereja-gereja yang dipahat pada perbukitan padas Lalibela
Gereja Santo Georgius, salah satu di antara gereja-gereja yang dipahat pada perbukitan padas Lalibela
NegaraEtiopia
DaerahDaerah Amhara
ZoneZone Semien Wollo
Populasi
 (2007)
 • Total17.367
Zona waktuUTC+3 (EAT)

Sejarah

Pada masa pemerintahan Raja Santo Gebre Meskel Lalibela (dari Wangsa Zagwe yang berkuasa pada penghujung abad ke-12 dan permulaan abad ke-13), Lalibela dikenal dengan nama Roha. Konon Raja saleh ini diberi nama "Lalibela" karena saat baru dilahirkan, sekawanan lebah datang beterbangan mengelilinginya. Peristiwa ini dianggap ibunya sebagai pertanda bahwa ia kelak akan menjadi Kaisar Etiopia. Nama beberapa tempat di Lalibela sekarang ini dan tata letak gereja-gereja pahatan itu sendiri konon meniru nama-nama dan letak tempat yang dilihat Lalibela semasa tinggal di Yerusalem dan menyiarahi Tanah Suci pada masa mudanya.

Kaisar Lalibela, yang dihormati sebagai seorang santo, konon pernah melihat Yerusalem, dan karena itu berusaha mendirikan sebuah Yerusalem baru sebagai ibu kota kerajaannya menggantikan Yerusalem lama yang jatuh ke tangan kaum Muslim pada 1187. Masing-masing gereja dipahatkan pada batu masif utuh, perlambang kerohanian dan kerendahan hati. Iman Kristen menginspirasi penamaan berbagai hal dengan nama-nama Alkitabiah – bahkan sungai di Lalibela pun dinamakan Sungai Yordan. Lalibela menjadi ibu kota Etiopia sejak akhir abad ke-12 sampai dengan abad ke-13.

Orang Eropa pertama yang melihat langsung gereja-gereja itu adalah pengelana Portugis, Pêro da Covilhã (1460–1526). Padri Portugis, Francisco Álvares (1465–1540), menyertai Duta Besar Portugal saat berkunjung ke Lebna Dengel pada 1520s. Ia mencatat tentang bangunan-bangunan gereja yang unik itu sebagai berikut:

Saya penat menulis lebih banyak lagi tentang bangunan-bangunan ini, karena menurut saya agaknya orang tidak akan mempercayai saya jikalau saya menulis lebih banyak lagi...Demi Tuhan, yang berkat kuasa-Nya saya ada, saya bersumpah bahwa semua yang telah saya tulis adalah kebenaran[1]

 
Para padri gereja-gereja pahatan pada batu padas di Lalibela

Meskipun Ramuso memasukkan denah-denah beberapa dari gereja-gereja itu dalam catatan Álvares yang dicetaknya pada tahun 1550, penyumbang gambar-gambar denah itu sendiri masih menjadi misteri. Pengunjung Eropa berikutnya ke Lalibela menurut laporan adalah Miguel de Castanhoso, yang bertugas sebagai seorang prajurit di bawah pimpinan Christovão da Gama dan meninggalkan Etiopia pada 1544.[2] Sesudah Miguel de Castanhoso, 300 tahun lebih berlalu sebelum orang Eropa berikutnya, Gerhard Rohlfs, suatu ketika mengunjungi Lalibela antara tahun 1865 sampai 1870.

Menurut Futuh al-Habasa karya Sihab ad-Din Ahmad, Ahmad Gragn membakar salah satu dari gereja-gereja di Lalibela ketika menginvasi Ethiophia.[3] Meskipun demikian, Richard Pankhurst telah mengungkapkan keraguannya akan kebenaran catatan peristiwa itu, dengan menunjukkan bahwa sekalipun Sihab ad-Din Ahmad menyajikan deskripsi terperinci dari sebuah gereja pahatan pada batu padas ("dipahatkan pada pegunungan. Demikian pula tiang-tiangnya dipahatkan pada pegunungan."[3]), hanya satu gereja yang disebutkan; Pankhurst menambahkan pula bahwa "keistimewaan Lalibela, (sebagaimana yang diketahui oleh setiap wisatawan), adalah bahwasanya ia adalah situs dari sekitar sebelas gereja batu, bukan hanya satu – dan masing-masing berada dalam jarak yang kurang-lebih hanya sepelempar batu dari yang lain!"[4] Pankhurst juga menyinggung bahwa Kronik Kerajaan, yang mencatat peristiwa penghancuran distrik itu oleh Ahmad Gragn antara Juli dan September 1531, justru tidak menyebutkan apa-apa mengenai peristiwa perusakan gereja-gereja legendaris kota itu oleh Sang Imam.[5] Ia menyimpulkan bahwa jikalau Ahmad Gragn memang membakar sebuah gereja di Lalibela, maka kemungkinan besar gereja yang dibakar adalah Bete Medhane Alem; dan jika bala tentara Muslim telah salah sangka ataupun telah diperdaya oleh penduduk setempat, maka gereja yang dibakarnya adalah Gannata Maryam, "10 mil di timur Lalibela yang juga memiliki tiang-tiang yang dipahatkan pada pegunungan."[6]

Gereja-gereja

Gereja-gereja pahatan pada batu padas, Lalibela
Situs Warisan Dunia UNESCO
 
KriteriaBudaya: i, ii, iii
Nomor identifikasi18
Pengukuhan1978 (Ke-2)
 
Peta kawasan Lalibela

Kota kecil ini terkenal di seluruh dunia akan gereja-gerejanya yang dipahat dari dalam bumi dari "batu padas utuh," yang memainkan peranan penting dalam sejarah arsitektur pahatan pada batu padas. Sekalipun penanggalan dari gereja-gereja ini belum ditetapkan secara pasti, sebagian besar diduga didirikan pada masa pemerintahan Lalibela, yakni pada abad ke-12 dan ke-13. Unesco mengidentifikasi 11 gereja,[7] yang dibagi menjadi empat kelompok:

Terdapat kontroversi mengenai waktu pembuatan beberapa gereja. David Buxton menetapkan kronologi yang berterima-umum, yang menerangkan bahwa "dua di antaranya dibangun dengan mengikuti, sampai sekecil-kecilnya, tradisi pendirian bangunan yang tampak pada biara Debra Damo dan telah dimodifikasi di Yemrahana Kristos."[9] karena waktu yang diperlukan untuk memahat bangunan-bangunan ini pada batu padas utuh tentunya lebih lama dari beberapa dasawarsa masa pemerintahan Raja Lalibela, maka Buxton berasumsi bahwa pengerjaannya berlanjut sampai abad ke-14.[10] Akan tetapi, David Phillipson, profesor arkeologi Afrika di Cambridge University, berpendapat bahwa gereja Merkorios, gereja Gabriel-Rufael, dan gereja Danagel mula-mula dipahatkan pada batu padas setengah milenium sebelumnya, sebagai benteng pertahanan atau bangunan-bangunan lain dari istana pada masa-masa kemunduran Kerajaan Aksum, dan dikait-kaitkan dengan Lalibela setelah Sang Raja wafat.[11] Di lain pihak, sejarawan lokal, Getachew Mekonnen, mendapuk Masqal Kibra, permaisuri Lalibela, sebagai tokoh pembangun salah satu di antara gereja-gereja itu, yakni gereja Abba Libanos yang didirikan sebagai monumen peringatan suaminya setelah wafatnya.[12]

Bertentangan dengan teori-teori yang dikemukakan para penulis seperti Graham Hancock, Buxton berpendapat bahwa gereja-gereja besar yang dipahatkan pada batu padas di Lalibela tidak dikerjakan dengan bantuan Kesatria Kenisah; ia mengemukakan banyak bukti yang ada untuk memperlihatkan bahwa gereja-gereja itu semata-mata adalah hasil karya peradaban Abad Pertengahan Etiopia. Sebagai contoh, meskipun Buxton menyinggung mengenai adanya tradisi yang mengatakan bahwa "Bangsa Abisinia meminta bantuan dari orang-orang asing" untuk membangun gereja-gereja monolitik ini, dan mengakui bahwa "ada tanda-tanda jelas pengaruh Koptik dalam beberapa detail hiasan" (tidaklah mengherankan mengingat adanya hubungan teologi, hubungan gerejawi, dan hubungan budaya di antara Gereja Ortodoks Etiopia dan Gereja Ortodoks Koptik), ia bersikeras bahwa gereja-gereja itu dalah hasil karya masyarakat pribumi: "Tetapi fakta yang signifikan adalah bahwasanya gereja-gereja batu padas itu tetap melanjutkan ciri khas yang dimiliki prototipe-prototipe bangunan pribumi setempat, yang masih jelas menampakkan ciri khas warisan Aksum."[13]

Gereja-gereja itu juga merupakan sebuah bukti kepiawaian teknik, mengingat semua bangunan itu berkaitan dengan air (yang memenuhi sumur-sumur yang terletak bersebelahan dengan sebagian besar dari gereja-gereja itu), yaitu dalam pemanfaatan sebuah sistem geologi artesis yang mendorong air naik ke tebing-tebing pegunungan tempat kota itu berada.[14]

Laporan-laporan misi UNESCO lainnya

Dalam sebuah laporan tahun 1970 mengenai pemukiman-pemukiman bersejarah di Lalibela, Sandro Angelini mengevaluasi arsitektur pribumi berbahan baku tanah di Situs Warisan Dunia Lalibela, termasuk karakteristik-karakteristik rumah-rumah tanah tradisional, dan analisis status konservasinya.

Dalam laporannya, Angelini mendeskripsikan dua tipe rumah pribumi di Lalibela. Tipe pertama adalah sekelompok rumah yang ia sebut "tukul", yakni pondok-pondok yang terbuat dari batu dan biasanya berlantai dua. Tipe kedua adalah bangunan-bangunan "chika" berlantai satu, berbentuk bundar, terbuat dari tanah dan kayu akasia, yang menurutnya merupakan bentuk yang lebih "langka". Laporan Angelini juga memuat daftar bangunan-bangunan tradisional Lalibela, yang ia golong-golongkan ke dalam beberapa kategori menurut status konservasinya.[15]

Lain-lain

 
Orang berdiri di dekat tembok Bete Medhane Alem, yang diyakini sebagai bangunan gereja monolit terbesar di dunia.

Lalibela juga memiliki sebuah bandar udara (ICAO kode HALL, IATA LLI), sebuah pasar besar, dua buah sekolah dan sebuah rumah sakit.

Demografi

Berdasarkan data sensus 2007, populasi Lalibela berjumlah 17.367 jiwa, terdiri atas 8.112 laki-laki dan 9.255 perempuan.[16] Berdasarkan data sebelumnya yang dikeluarkan Central Statistical Agency pada 2005, populasi Lalibela diperkirakan berjumlah 14.668 jiwa, terdiri atas 7.049 laki-laki dan 7.619 perempuan.[17] Berdasarkan hasil sensus nasional 1994, populasi Lalibela berjumlah 8.484 jiwa, terdiri atas 3.709 laki-laki dan 4.775 perempuan.

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Francisco Alvarez, The Prester John of the Indies, diterjemahkan oleh C.F. Beckingham dan G.W.B. Huntingford (Cambridge: Hakluyt Society, 1961), hal. 226. Beckingham dan Huntingford menambahkan sebuah appendiks yang membahas penggambaran Alvarez tentang gereja-gereja ini, hal. 526–42.
  2. ^ Keterangan De Castanhoso diterjemahkan dalam The Portuguese Expedition to Ethiopia oleh Álvares (London: The Hakluyt Society, 1902), hal. 94–98.
  3. ^ a b Sihab ad-Din Ahmad bin 'Abd al-Qader, Futuh al-Habasa: The conquest of Ethiopia, diterjemahkan oleh Paul Lester Stenhouse disertai anotasi-anotasi oleh Richard Pankhurst (Hollywood: Tsehai, 2003), hal. 346f.
  4. ^ Pankhurst, "Did the Imam Reach Lalibela?" Addis Tribune, 21 November 2003
  5. ^ Sihab ad-Din Ahmad, Futuh al-Habasa, hal. 346n. 785.
  6. ^ Sihab ad-Din Ahmad, Futuh al-Hasasa, hal. 346n. 786.
  7. ^ a b UNESCO World Heritage Centre. "Rock-Hewn Churches, Lalibela". unesco.org. 
  8. ^ Betlehem
  9. ^ David Buxton, The Abyssinians (New York: Praeger, 1970), hal. 110
  10. ^ Buxton, The Abyssinians, hal. 108
  11. ^ "Medieval Houses of God, or Ancient Fortresses?" Archaeology (November/Desember, 2004), hal. 10.
  12. ^ Getachew Mekonnen Hasen, Wollo, Yager Dibab (Addis Ababa: Nigd Matemiya Bet, 1992), hal. 24.
  13. ^ Buxton, The Abysssinians, hal. 103f
  14. ^ Mark Jarzombek, "Lalibela and Libanos: The King and the Hydro-Engineer of 13th Century Ethiopia" (PDF), Construction Ahead, (May–June 2007): 16–21 
  15. ^ Odiaua, Ishanlosen. "Mission Report:Earthen architecture on the Lalibela World Heritage Site" (PDF). http://whc.unesco.org/en/earthen-architecture/. UNESCO. Diakses tanggal 25 Juli 2014.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  16. ^ "The 2007 Population and Housing Census of Ethiopia: Statistical Report for Amhara Region"" (PDF). Central Statistical Agency. 31 May 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-01-19. Diakses tanggal 29 September 2016. 
  17. ^ CSA 2005 National Statistics Diarsipkan 2007-08-13 di Wayback Machine., Table B.3

Bacaan lebih lanjut

  • David W. Phillipson, Ancient Churches of Ethiopia (New Haven: Yale University Press, 2009). Bab 5, "Lalibela: Eastern Complex and Beta Giyorgis"; Bab 6, "Lalibela: Northern Complex and Conclusions"
  • Sylvia Pankhurst, "Ethiopia: a cultural history" (Lalibela House, Essex, 1955). Bab 9, "The monolithic churches of Lalibela"
  • Paul B. Henze, "Layers of time: a history of Ethiopia" (Shama Books, Addis Ababa, 2004). Bab 3: "Medieval Ethiopia: isolation and expansion"
  • Hancock, Graham, Carol Beckwith & Angela Fisher, African Ark – Peoples of the Horn, Bab I: Prayers of Stone/The Christian Highlands: Lalibela and Axum. Harvill, An Imprint of HarperCollinsPublishers, ISBN 0-00-272780-3

Pranala luar