Khulu

Revisi sejak 9 Agustus 2022 16.56 oleh 182.1.230.173 (bicara) (Catatan: Memperjelas khulu dan yang telah diberikan oleh suami)

Khulu (Bahasa Arab: خلع) secara etimologi berarti “melepaskan”.[1] [2] Sedangkan me-rujuk menurut dari istilah di dalam ilmu fiqih, khulu adalah permintaan cerai yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberikan uang atau lain-lain kepada sang suami, agar ia menceraikannya.[3] [4] Dan, dengan kata lain, Khulu adalah perceraian yang dibeli oleh si istri dari suaminya karena ada beberapa hal dari suami yang tidak menyenangkan istrinya.[4]

Adapun contoh untuk perkataan khulu yang di sampaikan suami kepada istrinya, “ Aku menceraikan kamu dengan uang Rp 2.000.000.000 ”[5] [4]. Istri kemudian menjawab “ Aku menerimanya”[4][5][6][6]. Apabia perkataannya seperti ini, maka istri harus memberikan uang sebanyak Rp 2.000.000.000 sebagai tebusan kepada si suami[5] [4][6]. Sedangkan apabila tidak disebutkan tentang berapa jumlah khulu-nya, maka istri hanya perlu untuk mengembalikan maskawin sebanyak yang pernah diterimanya dahulu, catatan: Sang istri telah bertanya lansung kepada suami dengan sakral serta disaksikan oleh keluarga sang istri dan suami tersebut[5] [4][6].

Khulu diperbolehkan bila keduanya sama-sama khawatir tak dapat melakukan aturan Allah[4]. Si istri khawatir, membuat kedurhakaan karena perbuatan suaminya, misalkan seorang suami tidak mau disuruh shalat, dilarang untuk bermain judi, ia membangkang dan bersikap kasar[4]. Maka lebih baik bercerai karena takut mendapat dosa dari Tuhan yang disebabkan karena membiarkan suaminya melakukan dosa terus menerus[4]. Sebaliknya, suami khawatir kalau istrinya tak mau mengikuti perintahnya, ia berbuat sesuatu yang tak diharapkan istrinya itu, seperti menampar, memukul, dan lain sebagainya[4]. Dalam keadaan seperti itu Khulu diperbolehkan[4].

Persyaratan

  1. Seorang istri meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu, jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan menegakkan hukum Allah SWT[4] [5].
  2. Hendaknya khulu itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya[4] [5]. Jika ia menyakiti istrinya, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya[4] [5].
  3. Khulu itu berasal dari istri dan bukan dan pihak suami[4] [5]. Jika suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya, maka suami tidak berhak mengambil sedikit pun harta dan istrinya[4] [5].
  4. Khulu sebagai talak ba’in Sughra, yakni sebuah perceraian yang tidak dapat dirujuk kembalinya sang istri oleh si suami kecuali proses akad nikah yang baru[4] [5].

Hukum

  • Mubah atau boleh

Jika seorang istri tidak menyukai untuk tetap bersama dengan suaminya, baik karena buruknya akhlak/perilaku suaminya atau karena buruknya wajah/fisik suaminya, sehingga ia khawatir tidak dapat menjalankan hak-hak suaminya yang telah ditetapkan Allah kepadanya, maka dalam kondisi semacam ini istri boleh mengajukan khulu kepada suaminya[7]

  • Mustahab atau wajib

Jika suami melalaikan hak Allah seperti; suaminya meninggalkan shalat, suaminya melakukan hal-hal yang dapat membatalkan islam, dan yang semisalnya, maka istri dianjurkan untuk mengajukan khulu[7]. Ini adalah pendapat ulama Hanabilah[7].

  • Haram

Jika istri mengajukan khulu kepada suaminya bukan karena alasan yang diperbolehkan oleh agama, seperti karena sang suami buruk rupa, sang istri merasa tidak bahagia karena tidak pernah bersyukur, sang suami selalu salah menurut istri, memfitnah sang suami tidak ada perhatian dan menyayangi istri dan lain sebagainya maka khulu tersebut menjadi hukumnya Haram[7].

Rukun

  1. Adanya mukhali, yakni seseorang yang berhak mengucapkan perkataan cerai, yakni suami[7].
  2. Adanya mukhtali’ah, yakni seseorang yang mengajukan khulu, yakni istri[7]. Dengan syarat, si istri adalah istri yang sah secara agama dan istri dapat menggunakan hartanya secara sadar, dalam artian tidak gila dan berakal[7].
  3. Adanya iwadh, yakni harta yang diambil suami dari istrinya sebagai tebusan karena telah menceraikan istrinya[7].
  4. Adanya sigha khulu atau perkataan khulu dari suami[7].


Catatan

  1. Suami tidak boleh mengambil harta istrinya melebihi mahar yang dia berikan dan juga sesuai dalam perkataan khulu yang telah di setujui oleh Istri, kecuali ada kesepakatan sebelumnya[3].
  2. Khulu dapat dilakukan oleh istri, baik dalam keadaan suci atau haid[5] [1].
  3. Iwadh atau harta tebusan tidak dapat berupa jasa[7]. Menurut pendapat ulama golongan safi’I dan maliki[7].
  4. Khulu tidak sah apabiila tidak ada keikhlasan di hati sang suami[7].
  5. Suami yang telah men-khulu istrinya tidak berhak merujuk kembali, meskipu ia dalam keadaan menunggu (masa iddah khulu)[7].
  6. Apabila wanita yang menjadi istri bagi suaminya masih kecil, maka ia boleh diwakili oleh walinya untuk meminta khulu, dengan syarat sang wali melihat adanya bahaya yang mengancam wanita tersebut[3].

Referensi

  1. ^ a b Achmad Sunarto (1991). Terjemahan Fat-hul Qarib. Menara Kudus. 
  2. ^ (Indonesia) Noer Faqih Arsyi ys. "PAI Kelas XII Bab Munakahah" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (pdf) tanggal 2014-04-18. 
  3. ^ a b c (Indonesia) Ahmad Sarwad, Lc. "Fiqih Nikah" (pdf). 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Drs.H.Ibnu Mas’ud, Drs.H.Zainal Abidin S. (2000). Fiqih Madzhab Syafi’I edisi lengkap muamalat, munakahat, jinayat. CV.Pustaka Setia. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k Dr.Mustafa Dib Al-Bugha (2012). Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’I. Noura Books. ISBN 978-602-9498-44-8. 
  6. ^ a b c d http://repo.iain-tulungagung.ac.id/4454/3/BAB%20II.pdf
  7. ^ a b c d e f g h i j k l m .(Indonesia) "Kitab Munakahat" (pdf).