Pantun Sunda

Revisi sejak 17 April 2023 02.18 oleh Haikal FK 1705 (bicara | kontrib) (Sejarah)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Pantun Sunda pengertiannya berbeda dengan pantun Melayu. Pantun Melayu semakna dengan Sisindiran, yaitu puisi yang terdiri atas dua bagian; sampiran dan isi. Sedangkan pantun Sunda adalah seni pertunjukan. Pantun adalah cerita tutur dalam bentuk sastra Sunda lama yang disajikan secara paparan (prolog), dialog, dan sering kali dinyanyikan. Seni Pantun itu dilakukan oleh seorang juru pantun (tukang pantun) sambil diiringi alat musik kecapi yang dimainkannya sendiri.

Sejarah

sunting

Seni pantun merupakan seni yang sudah cukup tua usianya. Disebutkan dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, yang ditulis pada tahun 1518 Masehi, bahwa pantun telah digunakan sejak zaman Langgalarang, Banyakcatra, dan Siliwangi. Ceritanya pun berkisar tentang cerita-cerita Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi dan lain-lain yang disajikan oleh prepantun (tukang pantun). Pantun terdapat pula pada naskah kuno yang dituturkan oleh Ki Buyut Rambeng, yakni Pantun Bogor. Dalam perkembangannya, cerita-cerita pantun yang dianggap bernilai tinggi itu terus bertambah, seperti cerita Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglaya Dikusumah, Dengdeng pati Jayaperang, Ratu Bungsu Kamajaya, Sumur Bandung, Demung Kalagan dll. Masyarakat Kanekes yang hidup dalam budaya Sunda Kuno sangat akrab dengan seni Pantun. Seni ini melekat sebagai bagian dari ritual mereka. Adapun lakon-lakon suci Pantun Kanekes yang disajikan secara ritual seperti Langgasari Kolot, Langgasari Ngora dan Lutung Kasarung.

Seni Pantun yang cukup tua usianya melahirkan beberapa tukang pantun pada setiap zamannya. Di Cianjur misalnya, dikenal nama R. Aria Cikondang (abad ke-17), Aong Jaya Lahiman dan Jayawireja (abad ke-19). Di Bandung terkenal Uce, juru pantun kabupaten Bandung (awal abad ke-20) dan Pantun Beton "Wikatmana" (pertengahan abad ke-20); dan di Bogor terkenal juru pantun Ki Buyut Rombeng.

Alat musik yang dipakai mengiringi seni pantun adalah kacapi. Pada mulanya kacapi tersebut sangat sederhana seperti yang terdapat di Baduy, yaitu kacapi kecil berdawai 7 dari kawat. Selanjutnya, sejalan dengan tumbuhnya seni Cianjuran, kacapi tersebut diganti dengan kacapi gelung (tembang), dan akhirnya menggunakan kacapi siter. Adapun tangga nada (laras) yang digunakan dalam iringan kacapi tersebut adalah pelog, namun selanjutnya banyak yang menggunakan laras salendro.

Pertunjukan

sunting

Seni Pantun disajikan masyarakat Sunda dalam dua bentuk yang disesuaikan dengan fungsi pertunjukannya. Pertama, untuk hiburan, dan kedua untuk acara ritual (ruwatan). Sajian hiburan, ceritanya mengambil dari salah satu cerita pantun yang dikuasai juru pantun, atau atas permintaan penanggap. Sedangkan untuk acara ritual dalam ruwatan, ceritanya sama dengan dalam pertunjukan wayang, yaitu Batara Kala, Kama Salah atau Murwa Kala.

Dalam sajian pantun untuk ruwatan (tolak bala) diperuntukkan bagi orang-orang yang termasuk dalam sukerta, di antaranya anak tunggal, anak kembar, lima anak laki-laki, atau untuk keselamatan rumah baru, bangunan baru dan lain-lain. Pertunjukannya biasa dimulai sekitar pukul 02.00 - 05.00. Rajah dalam pertunjukan ruwatan lebih panjang lebih tampak kesakralannya. Sedangkan sajian pantun untuk kepentingan hiburan biasanya diadakan di rumah penanggap yang waktunya pada malam hari. Pertunjukan dimulai pukul 20.00 dan berakhlr sekitar pukul 04.00. Sekalipun pertunjukan Pantun untuk hiburan, namun tidak sembarangan disajikan. Pantun masih dianggap oleh masyarakat Sunda memiliki sifat sakral yang selalu dikaitkan dengan upacara penghormatan pada leluhur. Dengan demikian bentuk pertunjukan Pantun biasanya masih diikat dengan struktur pertunjukan yang baku dengan lakon yang selalu berkisar tentang raja-raja Sunda atau legenda masyarakat Sunda Secara umum pola pertunjukan Pantun dapat diurutkan sebagai berikut: penyediaan sesajen; ngukus (membakar kemenyan); mengumandangkan rajah pamunah; babak cerita dari pembukaan hingga penutupan; ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas.

Sebagai kesenian yang hidup sejak zaman Hindu sampai Islam yang jadi anutan masyarakat, tak heran jika ungkapan dan ajaran (petuah) juru pantun merupakan pembauran keduan zaman itu. Selain isthigfar (Islam) terdengar pula ungkapan kepada dewata, Pohaci, para karuhun (leluhur), buyut, dan lain-lain.

Kesenian Pantun Sunda yang bercirikan budaya Sunda dengan berbagai aspeknya, terutama aspek kepercayaan Sunda Kuno, memberi dampak pada nilai kedudukan seni Pantun di masyarakat Sunda yang berbeda dengan kesenian-kesenian lain. Seni Pantun bagi masyarakat Sunda merupakan medium untuk dapat merasakan kembali sebuah masa keemasan sejarah masa lampau masyarakatnya.

Dewasa ini perkembangan seni Pantun harus diakui sangat memprihatinkan, tetapi dari sisi lain ada hal yang cukup mengesankan. Seni Pantun pun dapat bertahan dengan tidak meleburkan diri menjadi satu bentuk kesenian yang pop/kitchs. Seni Pantun dapat bertahan sebagai seni yang adiluhung sekalipun dewasa ini ada sedikit pergeseran-pergeseran dibanding pada masa lalu, terutama fungsinya yang sakral menjadi profan.

Daftar cerita pantun

sunting
  1. Ciung Wanara
  2. Lutung Kasarung
  3. Mundinglaya di Kusumah
  4. Aria Munding Jamparing
  5. Banyakcatra
  6. Badak Sangorah
  7. Badak Singa
  8. Bima Manggala
  9. Bima Wayang
  10. Budak Manjor
  11. Budug Basu /Sri Sadana / Sulanjana
  12. Bujang Pangalasan
  13. Burung Baok
  14. Buyut Orenyeng
  15. Dalima Wayang
  16. Demung Kalagan
  17. Deugdeug Pati Jaya Perang / Raden Deugdeug Pati Jaya Perang Prabu Sandap Pakuan
  18. Gajah Lumantung
  19. Gantangan Wangi
  20. Hatur Wangi
  21. Jaka Susuruh
  22. Jalu Mantang
  23. Jaya Mangkurat
  24. Kembang Panyarikan / Pangeran Ratu Kembang Panyarikan
  25. Kidang Panandri
  26. Kidang Pananjung
  27. Kuda Gandar
  28. Kuda Lalean
  29. Kuda Malela
  30. Kuda Wangi
  31. Langla Larang
  32. Langga Sari
  33. Langon Sari
  34. Layung Kumendung
  35. Liman Jaya Mantri
  36. Lutung Leutik / Ratu Bungsu Karma Jaya
  37. Malang Sari
  38. Manggung Kusuma
  39. Matang Jaya
  40. Munding Jalingan
  41. Munding Kawangi
  42. Munding Kawati
  43. Munding Liman
  44. Munding Mintra
  45. Munding Sari Jaya Mantri
  46. Munding Wangi
  47. Nyi Sumur Bandung
  48. Paksi Keling / Wentang Gading
  49. Panambang Sari
  50. Panggung Karaton
  51. Parenggong Jaya
  52. Raden Mangprang di Kusumah
  53. Raden Tanjung
  54. Raden Tegal
  55. Rangga Sawung Galing
  56. Rangga Gading
  57. Rangga Katimpal
  58. Rangga Malela
  59. Rangga Sena
  60. Ratu Ayu
  61. Ratu Pakuan
  62. Ringgit Sari
  63. Senjaya Guru
  64. Siliwangi

Sumber rujukan

sunting
  • Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.