Sejarah Cilacap adalah sejarah mengenai perkembangan wilayah daerah Cilacap di Jawa Tengah. Sebagai suatu wilayah pemerintahan terbentuk setelah bergabungnya Regentschap Dayeuhluhur dan Distrik Adiraja menjadi Onder Regentschap Cilacap, yang menjadi bagian dari Karesidenan Banyumas sejak 22 Agustus 1831 dengan mengangkat seorang residen yang bernama G.De. Seriere untuk mendampingi para bupati dan menetapkan Raden Tumenggung Tjakranegara III sebagai Bupati, serta dihapuskannya Kadipaten Dayeuhluhur dan mulai membuka wilayah ini seluas-luasnya kepada para pendatang. [1]

Cilacap merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat dan di bagian selatannya berbatasan dengan Samudera Hindia. Karena berbatasan langsung antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, Cilacap memiliki percampuran budaya Jawa Banyumasan dengan budaya Sunda (Priangan Timur).


Toponomi

Cilacap (Chelachap) bukan berasal dari (bahasa Sunda) penggabungan kata Ci dan Lacap, melainkan berhubungan dengan mata bajak.[2]

Akhir abad ke XIV kedatangan rombongan Raden Bei Tjakrawedana (anak Tumenggung Tjakrawedana I, bupati Kasepuhan Banyumas) yang diutus membuka hutan untuk dijadikan pemukiman ke daerah selatan.[3]

Rombongan Raden Bei kemudian berhenti di ujung lekukan pantai teluk yang bentuknya mirip mata bajak, atau dalam bahasa Jawa disebut wluku, sehingga orang menyebutnya cacab atau tlacap.[4]

De Wolff van Westerrode, Asisten Residen Purwokerto (1896 - 1900) membuat resensi buku karangan Veth berjudul Java, Geographisch, Ethnologisch, Historich, 3 Jilid, terbit tahun (1875-1882) dalam majalah Ilmu Bumi di Negeri Belanda, mencatat bahwa penulisan Cilacap seringkali disalahtafsirkan sebagai kata yang berasal dari bahasa Sunda.[5]

Di Tanah Kerajaan, kata Tlacap digunakan untuk titik–titik yang dikenal pada patrun beberapa stasi payung dan "kepala" kain batik dan sarung. Tlacap atau lacap juga berarti lancip atau tanah yang menjorok ke laut, yang sama artinya dengan kata congot (dalam bahasa Jawa).[6]

Mataram kuno

Handaunan (sekarang Donan) sebagai cikal-bakal Kabupaten Cilacap sudah dikenal di masa Kerajaan Mataram Kuno sebagaimana didasarkan pada Prasasti Salingsingan bertuliskan 2 Mei 880 Masehi. Prasasti ini menyebut Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala yang bertahta sekitar tahun (856882. M), dan nama Handaunan.[7]

Terdapat pula beberapa nama desa di Cilacap pada prasasti peninggalan Mataram kuno. Ke 5 prasasti ini menceritakan adanya nama-nama desa atau wilayah yang terletak di daerah sepanjang aliran sungai Serayu, di daerah Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Banyumas, dan Cilacap.[8][9]

Prasasti Salingsingan

Prasasti Salingsingan yang berangka tahun 880 Masehi, menceritakan dana kebaktian milik Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala kepada Bathara di Salingsingan tentang sebuah dharma atau bangunan suci (sekarang Candi Wulan, Candi Asu, dan Candi Pendem) yang terletak di dekat bertemunya sungai Pabelan dan sungai Tlising di lereng Gunung Merapi.

Nama desa atau wilayah di daerah Kabupaten Cilacap yang disebut, antara lain: desa Gulung (sekarang bernama Grumbul Mengulung, terletak dipinggir kali Kembang kuning, sebuah dusun di wilayah Kecamatan Kawunganten, Kab. Cilacap), desa Jati (sekarang berada di wilayah Kecamatan Binangun, Kab. Cilacap), desa Sunda (sekarang bernama Surusunda, sebuah desa di Kecamatan Karangpucung, Kab. Cilacap), desa Manghujung (sekarang bernama Ujung Manik, sebuah desa di Kecamatan Kawunganten, Kab. Cilacap), dan desa Handaunan (sekarang Donan, sebuah kelurahan di kecamatan Cilacap Tengah, Kota Cilacap).

Prasasti Er Hangat

Prasasti Er Hangat yang berangka tahun 885 Masehi, menyebut Maharaja Dyah Tagwas Sri Jayakirttiwardhana yang berkuasa tahun 885 Masehi, mendatangi desa Kapung, dan sang raja singgah di desa Er Hangat atau desa Kali Anget, yang sekarang terletak di wilayah Wonosobo.

Nama desa atau wilayah di daerah Kabupaten Cilacap yang disebut, antara lain: desa Limo Manis (sekarang bernama Kecamatan Jeruklegi di Kab. Cilacap), desa Nusawangka, desa Nusawungu (sekarang berada di Kecamatan Nusawungu, Kab. Cilacap), desa Nusajati (sekarang berada di wilayah Kecamatan Binangun, Kab. Cilacap), desa Nusa, Nusa Tembini, dan Pulau Nusakambangan.

Dalam prasasti ini dikatakan pula bahwa desa Nusa dipimpin oleh seorang Rama (kepala daerah) disebut Pu Sakti, dan kepala daerah di Limo Manis (sekarang: Kec. Jeruklegi) menerima pasak-pasak atau pemberian, pisungsung, berupa emas seberat 4 ma. Juga dikatakan, bahwa nama Desa Dalyatan(sekarang: Kec. Kawunganten, Kecamatan di Kab. Cilacap), desa Limo Manis (sekarang: Kec. Jeruklegi di Kab. Cilacap), desa Kayu Hurang, desa Nusa merupakan wanwatpi siring atau desa perbatasan, yang berstatus desa yang bebas pajak atau desa Salud Mangli. Prasasti ini ditemukan di Banjarnegara.

Prasasti Panunggalan

Prasasti Panunggalan yang berangka 896 Masehi, menceritakan beberapa saksi di upacara tertentu, salah satunya seorang Rakupang yang menjabat sebagai Manghingtu (petugas keagamaan) dari desa Danu (sekarang: Kelurahan Donan, di Kecamatan Cilacap Tengah, Kota Cilacap).

Nama desa atau wilayah di daerah Kabupaten Cilacap yang disebut, antara lain: desa Air Bulang (sekarang bernama desa Bolang, di Kec. Dayehluhur, Kab. Cilacap), desa Maddhyapura (sekarang: desa Madura, di Kecamatan Wanareja, Kab. Cilacap), desa Panunggalan (desa di wilayah Kec. Cahyana, Kab. Purbalingga), serta beberapa nama desa yang lokasinya belum jelas seperti desa Bhratma, Tegangrat, Air Pelung, Rayun Haruan, Tiwuran, Pringn Sungudan, dan Jamwi. Prasasti ini ditemukan di desa Panunggalan, Kecamatan Cahyana, Purbalingga.

Prasasti Pabuharan

Prasasti Pabuharan yang berangka 900 Masehi, menyebut nama-nama desa yang berada di daerah perbatasan yang termasuk desa Sima (desa bebas pajak), seperti desa Hasinan (sekarang bernama Pengasinan, sebuah dusun di desa Kedungwringin, Kecamatan Patikraja, Kab. Banyumas), desa Pabuharan (sekarang bernama Pabuwaran, kelurahan di Kecamatan Purwokerto Utara, Kota Purwokerto), desa Pasir yang merupakan batas sebelah Timur (sekarang Pasir Lor, Pasir Wetan, Pasir Kulon, sebuah desa di Kecamatan Karanglewas, Kab. Banyumas dan Pasir Kidul, sebuah kelurahan di Kecamatan Purwokerto Barat, Kota Purwokerto), desa Ngasinan (sekarang bernama Ngasin, sebuah dusun di desa Karangkandri, Kecamatan Kesugihan, Kab. Cilacap).

Istilah Pasir juga berkaitan dengan Babad Pasir Luhur, yang mengacu pada nama desa Pasir yang sudah dikenal sejak tahun 900-an. Prasasti ini ditemukan di aliran sungai Serayu, antara Banyumas dan Cilacap.

Prasasti Luitan

Prasasti Luitan yang berangka 901 Masehi, berisi tentang pengaduan penduduk Desa Luitan atau wilayah Kapung kepada Rakyan Mapati I Hino Pu Daksa Sri Bahubaajrapratipaksasaya, sehubungan dengan tanah yang diukur oleh pemungut pajak yang sebenarnya sempit tetapi dikatakan seluas datu tampah, dan ketika diukur ulang ternyata sempit. Akibat dari laporan yang tidak sesuai fakta itulah, menyebabkan penduduk desa Luitan tidak mampu mengisi uddhara (sejenis pajak/PBB). Prasasti ini ditemukan pada 1977 di dekat Punden Lingga (oleh warga sekitar disebut Punden Mbok Ageng Lingga) desa Pesanggrahan, Kecamatan Kesugihan, Cilacap.

Bukti lainnya

Dalam Naskah Bujangga Manik tahun 1500 Masehi, tidak terdapat nama Chelachap atau Cilacap, sedangkan Donan Kalicung disebut (sekarang: Donan) [10]

Pada 1726 Masehi, dalam Peta perjalanan Francois Valentyn nama Chelachap atau Cilacap juga belum disebut, hanya dikenal nama-nama desa dan sungai seperti Souse River (sungai Serayu), Lonbong Negory, Dainu, Doman, Calomprit, Oetiong Klang, Kali Kams, Kara Doea, Kali Balampang, Pagalangan, Pasongon, Oeloebontoe, Boeykota, Careong, dan De Schey River (istilah untuk sungai besar). Semua tempat dan sungai-sungai tersebut terletak di sebelah Utara Pulau Nusakambangan serta di sebelah Timur dan Utara Segara Anakan.[11]

Nama Chelachap (sekarang: Cilacap) baru disebut dalam Buku The History of Java (volume I) karya Thomas Stamford Raffles, terbitan tahun 1817 (Peta Raffles dibuat pada zaman pemerintahan Inggris di Jawa pada 1817) yang kemudian diterbitkan kembali oleh penerbit Kuala Lumpur (Oxford University Press) pada 1978.[12][13] Berikut adalah petikan aslinya:

To the easward of these districts, and crossing the island from north to south, is the province of Cheribon, divided into the principal, districts. To the South is the island of NOESA KAMBANGAN which from the harbour of Chelachap.

Dengan demikian, nama Handaunan atau Donan lebih tua ribuan tahun dari nama Chelachap atau Cilacap.

Sesudah Mataram Hindu

Sejarah Cilacap diawali sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno hingga Kerajaan Surakarta. Pada akhir zaman Kemaharajaan Majapahit (1294-1478) daerah cikal-bakal Cilacap terbagi dalam wilayah-wilayah sebagai berikut:[14][15][16][17]

Menurut Husein Djayadiningrat Pajajaran runtuh pada 1579 Masehi, setelah diserang oleh Banten dan Cirebon, Oleh karenanya bagian timur Pajajaran diserahkan kepada Cirebon. Sehingga seluruh wilayah cikal-bakal Cilacap di sebelah timur dibawah kekuasaan Pajang (sebagai kelanjutan dari Kesultanan Demak) dan sebelah barat diserahkan kepada Cirebon (Pendirian Kesultanan Cirebon berkaitan erat dengan Demak).

Pada 1587 Masehi, Pajang diganti oleh Mataram (Islam) yang didirikan oleh Panembahan Senopati pada (1587-1755), maka daerah cikal bakal Kabupaten Cilacap yang semula di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang diserahkan kepada Kerajaan Mataram Islam (sebagai kelanjutan dari Kesultanan Pajang). Pada tahun 1595 Kerajaan Mataram Islam mengadakan ekspansi ke Galuh (Wilayah bawahan Kesultanan Cirebon).

Menurut catatan harian Kompeni Belanda di Benteng Batavia, tanggal 21 Februari 1682 diterima surat yang berisi terjemahan perjalanan darat dari Citarum, sebelah utara Karawang ke Bagelen. Nama-nama yang dilalui dalam daerah cikal-bakal Kabupaten Cilacap adalah Dayeuhluhur dan Limbangan.

Pada tanggal 5 Oktober 1705, melalui perjanjian Kartasura VOC berhasil mengambil-alih beberapa wilayah Kesultanan Mataram Islam yang ketika itu merupakan bagian dari daerah cikal-bakal Cilacap. Perjanjian antara VOC dan Kesultanan Mataram Islam tersebut dikatakan bahwa batas timur wilayah VOC berpindah dari Ci Pamanukan (Karawang) ke Sungai Losari di utara dan sungai Donan di selatan.

Pengambil-alihan beberapa wilayah Kesultanan Mataram Islam oleh VOC tertuang dalam (Pasal II Perjanjian 5 Oktober 1705) yang berbunyi bahwa jurisdiksi dan pemilikan tanah di sebelah barat gunung-gunung dan sungai-sungai diserahkan kepada VOC dimulai dari muara Sungai Donan di Laut Selatan, sepanjang sungai tersebut ke arah barat sampai Passorouan, awal dari danau dalam (Segara Anakan), ke arah utara sepanjang tepi timur dan utara dari danau sampai muara Sungai Tsiborom (sekarang Ciberem), sepanjang tepi timur dan utara dari rawa yang tak dapat dilalui sampai Tsisatia (sekarang Cisatya) sekitar Negeri Madura, ke arah utara sebelah timur melalui pegunungan Dailoer (Dayeuhluhur) sampai gunung Sumana setelah Subang, sebelah tenggara Gunung Bongkok, ke arah utara sampai di Sungai Lassarij (Losari). Kesultanan Mataram Islam runtuh pada 1755 Masehi, digantikan oleh Kesunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kerajaan

Kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah cikal-bakal Kabupaten Cilacap, baik yang sebagian wilayah maupun keseluruhan.

Nusatembini runtuh pada 1500 Masehi, akibat serangan dari Pajajaran.

Pasir luhur dibawah kekuasaan Demak, wilayahnya dikuasai oleh Pajang sebagai kelanjutan dari Demak.

Pajajaran runtuh akibat serangan Banten dan Cirebon, wilayahnya diambil alih oleh Pajang dan Cirebon.

Pajang dibubarkan dan wilayahnya dijadikan satu dengan Mataram Islam.

Mataram Islam kelanjutan dari Pajang.

Surakarta kelanjutan dari Mataram Islam.

Referensi

  1. ^ Situmorang, Nurarta (2009) Citra Kabupaten Cilacap Dalam Arsip. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.[ISBN 978-602-6503-14-5]
  2. ^ Mudik ke Cilacap, Benarkah Nama Kota Ngapak Ini Dari Bahasa Sunda?[1]
  3. ^ Benarkah Cilacap Dari Bahasa Sunda, Ini Asal Usul Penamaan Kota Ngapak Itu]
  4. ^ Java geographisch, ethnologisch, historisch tweede deel / door Pieter Johannes Veth ; Jan Frederik Niermeyer ; Johannes Francois Snelleman[2]
  5. ^ VETH, P. J (1903) Java; Geographisch, Ethnologisch, Historisch. De Erven F. Bohn N.V.<m .[3]
  6. ^ Cilacap itu Nama Baru, Sejarah Asal Mula Cilacap itu dari Handaunan atau Donan[4]
  7. ^ Casparis, J.G. de. Prasasti Indonesis I-Inscripties Uit de Cuilenders-Tijd. Bandung.
  8. ^ MM. Sukarto K. Atmodjo. 1990. Menelusuri Sejarah Cikal Bakal Hari Jadi Cilacap Berdasarkan Data Prasasti Kuno.
  9. ^ Museum Nasional Jakarta. Koleksi Prasasti Museum Nasional Jilid I.
  10. ^ Noorduyn. J. 1983. Bhujangga Manik‟s Journeys Through Java : Topogropical data From an Old Sundanese Source. Dalam BKI deel 138 4e, S-Gravenhage Martinus Nihoff.
  11. ^ Wibowo, M. Unggul. 2001. Nusakambangan: Dari Pulau Boei Menuju Pulau Wisata. Jogjakarta: Mitra Gama Widya.
  12. ^ The History of Java. Kuala Lumpur: Oxford University Press. 1978.
  13. ^ Wibowo, M. Unggul. 2001. Nusakambangan: Dari Pulau Boei Menuju Pulau Wisata. Jogjakarta: Mitra Gama Widya.
  14. ^ Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010)
  15. ^ Soedarmadji, Hari Jadi Kabupaten Cilacap Alternatif Dari Alternatif (Cilacap: Setda Kabupaten Cilacap, 1990)
  16. ^ Soedarto, dkk, Buku Sejarah Cilacap (Cilacap: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Cilacap, 1975)
  17. ^ Sejarah Kabupaten Cilacap[5]