Masjid Carita

masjid di Indonesia
Revisi sejak 8 Mei 2024 05.36 oleh Wie146 (bicara | kontrib) (coor)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Masjid Carita,[1][2] Masjid Agung Carita, atau dikenal juga sebagai Masjid Jami' Al Khusaeni adalah sebuah masjid kuno dan tertua di wilayah Carita, Pandeglang, Banten. Masjid ini terletak di tepi jalan raya Carita, tidak jauh dari Pantai Carita yang terkenal.

Masjid Jami' Al Khusaeni
مسجد الجامع الحوسينى
Masjid Agung Carita (2022)
PetaKoordinat: 6°18′56.516″S 105°50′27.193″E / 6.31569889°S 105.84088694°E / -6.31569889; 105.84088694
Agama
AfiliasiIslamSunni
Provinsi Banten
Lokasi
LokasiJl. Raya Carita, Kp. Pagedongan, Ds. Sukajadi, Carita, Pandeglang
Negara Indonesia
Koordinat6°18′57″S 105°50′27″E / 6.315699°S 105.840887°E / -6.315699; 105.840887
Arsitektur
TipeMasjid
Gaya arsitekturJawa Kuno dengan campuran arsitektur Eropa
Didirikan1889
Rampung1895

Sejarah

sunting
 
Mimbar dan pengimaman
 
Dinding sebelah selatan
 
Serambi dalam
 
Pintu ruang pangwadonan
 
Serambi luar
 
Tepat di tepi s. Cicori

Menurut catatan para pengurusnya, masjid ini dibangun sekitar tahun 1889.[1][3] Ketika terjadi letusan G. Krakatau pada tahun 1883, pembangun masjid ini, yakni KH Muhammad Husein masih menjadi santri Syekh Nawawi al-Bantani, imam Masjidil Haram di Mekkah, Saudi Arabia. Saat itu letusan gunung yang luar biasa itu memporak-porandakan kawasan pesisir Selat Sunda, tidak terkecuali wilayah Carita.

Sekembalinya dari tanah suci, Muhammad Husein berinisiatif membangun masjid di desanya, yang dimulai pada tanggal 27 bulan Haji 1309 H (1889 M). Secara berangsur-angsur dibangun, barulah pada tanggal 30 Jumadil Awal tahun 1315 H (1895 M) Masjid Carita ini dapat diselesaikan sepenuhnya. Karena peran penting Kiai M. Husein dalam pembangunan, dan selanjutnya juga dalam pengelolaan masjid, itulah maka belakangan masjid ini dinamai Masjid Al-Huseini atau Masjid Al Khusaeni.[1][2]

Arsitektur

sunting

Arsitektur masjid ini khas, merupakan campuran antara gaya lokal tradisional dengan gaya Barat. Gaya lokal tradisional terlihat kentara dari bentuk atap utamanya yang serupa meru bersusun empat, serta bagian interior masjid yang ditopang oleh empat tiang utama (soko guru); sementara gaya barat tecermin pada tiang-tiang besar berbentuk bulat torak, empat buah pada masing-masing sisi serambi ditambah tiga yang sedikit bersegi, yang terletak pada keempat sudut bangunan masjid.[1] Sepintas, masjid ini tampak serupa dengan Masjid Caringin yang terletak hanya beberapa kilometer di sebelah selatannya, dan dibangun pada waktu yang hampir bersamaan.

Masjid ini memiliki bentuk dasar persegi empat, dengan lantai utamanya ditinggikan setinggi 90 cm dari tanah di sekitarnya. Menghadap ke timur, masjid ini memiliki empat ruang besar. Sebuah ruang utama, yang didahului oleh sebuah ruang serambi dalam di sebelah timurnya, dan diapit oleh ruang pangwadonan (pawestren, ruang shalat untuk perempuan) di sebelah selatan, serta ruang panglanangan (ruang laki-laki?) yang lebih kecil di sebelah utaranya.[1]

Di sisi barat ruang utama terdapat sebuah ceruk pengimaman (mihrab), dengan mimbar yang terletak agak sedikit ke tengah. Sementara dinding sisi selatan terhubung dengan ruang pawestren melalui satu pintu dan beberapa jendela berbentuk setengah lingkaran, dan dihias oleh tiga piringan batu bertulisan (inskripsi) dalam bahasa dan huruf Arab.[4]:22 Di sudut tenggara terdapat sebuah tangga yang menuju ke sebuah ruangan di atas ruang utama (loteng).[1]

Atap masjid terdiri dari dua bagian. Atap bagian serambi di sisi timur berbentuk limasan. Sedangkan atap ruangan utama masjid berbentuk kerucut segi empat bertumpang empat susun, dengan puncak atap (mastaka) berhias sebuah memolo dari tembaga. Ketinggian puncak atap ini sekitar 8,5 m dari atas tanah.[1]

Lain-lain

sunting

Ruang wudhu dan toilet terdapat di sisi selatan masjid, tepat di sebelah aliran sungai Cicori. Kemungkinan memang dahulunya sungai ini digunakan jamaah untuk mandi dan bersuci, sebelum masuk ke masjid untuk beribadah. Sementara itu di serambi barat terdapat beberapa buah makam tua, termasuk salah satunya adalah makam KH M. Husein, pendiri masjid.

Masjid ini telah pernah dipugar dua kali, yakni pada tahun 2005 dan 2007.[3] Atap masjid pun kini telah menggunakan genteng press, dan lantainya keramik.[1]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b c d e f g h BPCB Banten: Masjid Carita, artikel 01 November 2019 diakses pada 10/ii/2023.
  2. ^ a b Merah Putih: Masjid Carita Banten Peninggalan Pasca Letusan Gunung Krakatau 1883, artikel Senin, 22 Februari 2016 07:24 diakses pada 10/ii/2023.
  3. ^ a b Antara Banten: Dibangun 1889, Masjid Al Khusaeni Pantai Carita Banten mendunia, artikel Selasa, 26 April 2022 23:08 WIB diakses pada 10/ii/2023.
  4. ^ Saefullah, A. (2017). Inskripsi keagamaan di Banten. dalam Asep Saefullah (Ed.) Inskripsi Islam Nusantara. Jakarta: Litbangdiklat Press. ISBN 978-602-51270-0-7 (Edisi revisi, Desember 2017) [Inskripsi pada Mesjid Al-Khusaeni hlm. 14-27].