Tutur Tinular
Tutur Tinular adalah judul sebuah sandiwara radio yang sangat legendaris karya S. Tidjab. Kisah ini menceritakan tentang perjalanan hidup dan pencarian jati diri seorang pendekar yang berjiwa ksatria bernama Arya Kamandanu akan keagungan Tuhan Yang Maha Esa, suatu kisah dengan latar belakang sejarah runtuhnya Kerajaan Singhasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit.
Tutur Tinular | |
---|---|
Sutradara | E.W.S Yuwono Bambang S Y. Rudi Wartono A.J Udono C. Ispriyono. K |
Produser | Sanggar Cerita Sanggar Prathivi |
Ditulis oleh | S. Tidjab |
Pemeran | Ferry Fadli Elly Ermawati Ivone Rose M. Aboed Petrus Urspon Hari Akik Bambang Jeger Idris Apandi Lukman Tambose A.P Burhan Margareth Anna Sambayon Yulie Muliana Sono Sudiakso Rio Sempana Mario Kulon Herry Setiyono Suryadin Tanjung Wenda Lubis Iwan Dahlan
|
Distributor | Sanggar Cerita Sanggar Prathivi |
Tanggal rilis | 1 Januari 1989 sampai dengan 31 Desember 1990 |
Durasi | 30 menit per seri per hari |
Negara | Indonesia |
Sandiwara radio ini pertama kali mulai disiarkan mulai 1 Januari 1989 hingga 31 Desember 1990 dan dipancarluaskan hingga mencapai 512 stasiun radio di seluruh Indonesia, yang tergabung dalam Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia PRSSNI. Pada tahun 2002, Sandiwara radio Tutur Tinular disiarkan ulang di salah satu radio yang ada di Kota Yogyakarta, yaitu Radio MBS FM Jogja. Tidak hanya itu, bahkan hingga pada bulan Januari 2012, tercatat masih ada beberapa stasiun radio yang menyiarkannya kembali seperti 103,3 FM Radio Karimata, Pamekasan, Madura; 95.6 FM Radio Bintang Tenggara, Banyuwangi; dan 95,2 FM Radio Oisvira, Sumbawa. Disamping itu, beberapa situs online juga masih ada yang memperdengarkan sandiwara radio ini secara live streaming, salah satunya di Radio Streaming Asdisuara Jakarta, milik Asdi Suhastra, yaitu pada pukul 22.00 WIB [1].
Tutur Tinular sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti "nasihat atau petuah yang disebarluaskan".
Ringkasan Cerita
Tutur Tinular berkisah tentang seorang pemuda Desa Kurawan bernama Arya Kamandanu, putra Mpu Hanggareksa, seorang ahli pembuat senjata kepercayaan Prabu Kertanagara, raja Kerajaan Singhasari. Pemuda lugu ini kemudian saling jatuh hati dengan seorang gadis kembang desa Manguntur bernama Nari Ratih, putri Rakriyan Wuruh, seorang bekas kepala prajurit Kerajaan Singasari. Namun hubungan asmara di antara mereka harus kandas karena ulah kakak kandung Kamandanu sendiri yang bernama Arya Dwipangga.
Kepandaian dan kepiawaian Dwipangga dalam olah sastra membuat Nari Ratih terlena dan mulai melupakan Kamandanu yang polos. Cinta segitiga itu akhirnya berujung pada peristiwa di Candi Walandit, di mana mereka berdua (Arya Dwipangga dan Nari Ratih) yang sedang diburu oleh api gelora asmara saling memadu kasih hingga gadis kembang desa Manguntur itu hamil di luar nikah.
Kegagalan asmara justru membuat Arya Kamandanu lebih serius mendalami ilmu bela diri di bawah bimbingan saudara seperguruan ayahnya yang bernama Mpu Ranubhaya. Berkat kesabaran sang paman dan bakat yang dimilikinya, Kamandanu akhirnya menjadi pendekar muda pilih tanding yang selalu menegakkan kebenaran dilandasi jiwa ksatria.
Kisah Tutur Tinular ini diselingi berbagai peristiwa sejarah, antara lain kedatangan utusan Kaisar Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di negeri Cina, yang meminta Kertanagara sebagai raja di Kerajaan Singhasari menyatakan tunduk dan mengakui kekuasaan bangsa Mongolia. Namun utusan dari Mongolia tersebut malah diusir dan dipermalukan oleh Kertanagara.
Sebelum para utusan kembali ke Mongolia, di sebuah kedai makan terjadilah keributan kecil antara utusan kaisar yang bernama Meng Chi dengan Mpu Ranubhaya, Mpu Ranubhaya berhasil mempermalukan para utusan dan mampu menunjukkan kemahirannya dalam membuat pedang, karena tersinggung dan ketertarikannya terhadap keahlian Mpu Ranubhaya tersebut, kemudian dengan cara yang curang para utusan tersebut berhasil menculik Mpu Ranubhaya dan membawanya turut serta berlayar ke Mongolia, sesampainya di negeri Mongolia di dalam istana Kubilai Khan, Mpu Ranubhaya menciptakan sebuah pedang pusaka bernama Nagapuspa sebagai syarat kebebasan atas dirinya yang telah menjadi tawanan. Namun pada akhirnya pedang Naga Puspa tersebut malah menjadi ajang konflik dan menjadi rebutan diantara pejabat kerajaan. Akhirnya untuk menyelamatkan pedang Naga Puspa dari tangan-tangan orang berwatak jahat, Mpu Ranubhaya mempercayakan Pedang Nagapuspa tersebut kepada pasangan pendekar suami-istri yang menolongnya, bernama Lo Shi Shan dan Mei Shin di mana keduanya kemudian menjadi pelarian, berlayar dan terdampar di Tanah Jawa dan hidup terlunta-lunta. Sesampainya di Tanah Jawa pasangan suami istri ini akhirnya bertemu dengan beberapa pendekar jahat anak buah seorang Patih Kerajaan Gelang-gelang bernama Kebo Mundarang yang ingin menguasai Pedang Naga Puspa hingga dalam suatu pertarungan antara Lo Shi Shan dengan Mpu Tong Bajil (pimpinan pendekar-pendekar jahat) Lo Shi Shan terkena Ajian Segoro Geni milik Mpu Tong Bajil, setelah kejadian pertarungan beberapa hari lamanya Pendekar Lo Shi Shan hidup dalam kesakitan hingga akhirnya meninggal di dunia disebuah hutan dalam Candi tua, sebelum meninggal dunia yang kala itu sempat di tolong oleh Arya Kamandanu, Lo Shi Shan menitipkan Mei Shin kepada Arya Kamanadu
Mei Shin yang sebatang kara kemudian ditolong Arya Kamandanu. Kebersamaan di antara mereka akhirnya menumbuhkan perasaan saling jatuh cinta. Namun lagi-lagi Arya Dwipangga merusak hubungan mereka, dengan cara licik Arya Dwipangga dapat menodai perempuan asal daratan Mongolia itu sampai akhirnya mengandung bayi perempuan yang nantinya diberi nama Ayu Wandira. Namun demikian, meski hatinya hancur, Kamandanu tetap berjiwa besar dan bersedia mengambil perempuan dari Mongolia itu sebagai istrinya.
Saat itu Kerajaan Singhasari telah runtuh akibat pemberontakan Prabu Jayakatwang, bawahan Singhasari yang memimpin Kerajaan Gelang-Gelang. Tokoh ini kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri yang dahulu kala pernah runtuh akibat serangan pendiri Singhasari. Dalam kesempatan itu, Arya Dwipangga yang menaruh dendam akhirnya mengkhianati keluarganya sendiri dengan melaporkan ayahnya selaku pengikut Kertanagara kepada pihak Kadiri dengan tuduhan telah melindungi Mei Shin yang waktu itu menjadi buronan. Mpu Hanggareksa pun tewas oleh serangan para prajurit Kadiri di bawah pimpinan Mpu Tong Bajil. Sebaliknya, Dwipangga si anak durhaka jatuh ke dalam jurang setelah dihajar Kamandanu. Kemudian Kamandanu kembali berpetualang untuk mencari Mei Shin yang lolos dari maut sambil mengasuh keponakannya, bernama Panji Ketawang, putra antara Arya Dwipangga dengan Nari Ratih.
Petualangan Kamandanu akhirnya membawa dirinya menjadi pengikut Raden Wijaya (Nararya Sanggrama Wijaya), menantu Kertanagara. Tokoh sejarah ini telah mendapat pengampunan dari Jayakatwang dan diizinkan membangun sebuah desa terpencil di hutan Tarik bernama Majapahit. Dalam petualangannya itu, Kamandanu juga berteman dengan seorang pendekar wanita bernama Sakawuni, putri seorang perwira Singhasari bernama Banyak Kapuk.
Nasib Mei Shin sendiri kurang bagus. Setelah melahirkan putri Arya Dwipangga yang diberi nama Ayu Wandira, ia kembali diserang kelompok Mpu Tong Bajil. Beruntung ia tidak kehilangan nyawa dan mendapatkan pertolongan seorang tabib Cina bernama Wong Yin.
Di lain pihak, Arya Kamandanu ikut serta dalam pemberontakan Sanggrama Wijaya demi merebut kembali takhta tanah Jawa dari tangan Jayakatwang. Pemberontakan ini mendapat dukungan Arya Wiraraja dari Sumenep, yang berhasil memanfaatkan pasukan Kerajaan Yuan yang dikirim Kubilai Khan untuk menyerang Kertanagara. Berkat kepandaian diplomasi Wiraraja, pasukan Mongolia itu menjadi sekutu Sanggrama Wijaya dan berbalik menyerang Jayakatwang.
Setelah Kerajaan Kadiri runtuh, Sanggrama Wijaya berbalik menyerang dan mengusir pasukan Mongolia tersebut. Arya Kamandanu juga ikut serta dalam usaha ini. Setelah pasukan Kerajaan Yuan kembali ke negerinya, Sanggrama Wijaya pun meresmikan berdirinya Kerajaan Majapahit. Ia bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardhana.
Kisah Tutur Tinular kembali diwarnai cerita-cerita sejarah, di mana Kamanadanu turut menyaksikan pemberontakan Ranggalawe, Lembu Sora dan Gajah Biru akibat hasutan tokoh licik yang bernama Ramapati. Di samping itu, kisah petualangan tetap menjadi menu utama, antara lain dikisahkan bagaimana Kamandanu menumpas musuh bebuyutannya, yaitu Mpu Tong Bajil, serta menghadapi kakak kandungnya sendiri (Arya Dwipangga) yang muncul kembali dengan kesaktian luar biasa, bergelar Pendekar Syair Berdarah.
Kisah Tutur Tinular berakhir dengan meninggalnya Kertarajasa Jayawardhana, di mana Arya Kamandanu kemudian mengundurkan diri dari Kerajaan Majapahit dengan membawa putranya yang bernama Jambu Nada, hasil perkawinan kedua dengan Sakawuni yang meninggal setelah melahirkan, dalam perjalanan menuju lereng Gunung Arjuna inilah Arya Kamandanu bertemu dengan Gajah Mada yang waktu itu menyelamatkan putranya ketika masih berumur 40 hari yang terjatuh ke jurang karena lepas dari gendongannya akibat terguncang-guncang diatas kuda. Tutur Tinular kemudian berlanjut dengan sandiwara serupa berjudul Mahkota Mayangkara.
Daftar Pemain dan Tokoh
Para pengisi suara dalam sandiwara radio Tutur Tinular tersebut adalah para artis dari Sanggar Cerita dan Sanggar Prathivi, antara lain:
- Ferry Fadli sebagai Arya Kamandanu
- M. Aboed sebagai Arya Dwipangga, Ike Mese, Mpu Sasi, Ma Bo Yie, Sokol
- Lily Nur Indah Sari sebagai Nari Ratih, Luh Jinggan, Sunggi
- Elly Ermawatie sebagai Mei Shin
- Eddy Dhosa sebagai Lo Shi Shan, Mantri Segoro Winotan
- Ivone Rose sebagai Sakawuni
- Asdi Suhastra sebagai Mpu Ranubhaya, serta pembawa cerita untuk seri 091-720
- Hari Akik sebagai Mpu Hanggareksa, Kebo Anengah, Gajah Mada
- Lukman Tambose sebagai Mpu Tong Bajil, Aki Tangkur, Ki Surabaya
- Margareth sebagai Dewi Sambi
- Herry Setiono sebagai Sanggrama Wijaya, Murdaja, Kuda Prana, Ra Yuyu
- Nusri Nurdin sebagai Lembu Sora, Luruh, Gagak Sali, serta pembawa cerita seri 001-090
- Rusli Pontian sebagai Ranggalawe, Suraprabawa, Patih Emban
- Haryoko sebagai Kubilai Khan, Nambi, Aki Lumpang, Mpu Renteng, Resi Wisambudi, Resi Mahalalita, Panji Ketawang dewasa
- Iwan Dahlan sebagai Pranaraja, Aki Pamungsu, Ki Sugata Brahma, Rake Dukut, Ki Panggala, Mantri Prakrama
- Petrus Urspon sebagai Jaran Bangkal, Banyak Kapuk, Jayakatwang, Mei Hua, Gajah Pagon
- Narto Bantul sebagai Ardharaja, Adisara, Rembaka, Ki Talat Waja, Ra Wedeng
- Idris Apandi sebagai Ramapati, Banyak Kapuk, Macan Kumbang, Watukura
- Sono Sudiakso sebagai Arya Wiraraja, Mpu Lunggah, Aki Gumbreg, Rakawikirang
- Nenny Haryoko sebagai Ayu Pupu alias Dewi Tunjung Biru, Nyi Pamungsu
- Anna Sambayon sebagai Nini Raga Runting, Nyi Lemus, Nyi Kelu, Nyi Pamiji
- Mario Kulon sebagai Dangdi, Kaki Tanparoang, Ra Lumbu, Banyak Kapuk,
- Rio Sempana sebagai Panji Ketawang kecil
- Reneth sebagai Ayu Wandira kecil
- Suryadin Tandjung sebagai Jaran Lejong, Pakeling, Kalongpret
- Wenda Lubis sebagai Wirot, Kebo Anabrang, Langkir, Jaran Bangkal, Demung Wira
- Elly Panca sebagai Nyi Rongkot
- Yanwar sebagai Ra Tanca
- Herman Wijaya sebagai Tabib Wong Yin, Silananda Jaya
- Yulie Muliana sebagai Werda Murti, Palastri, Kurantil, Mei Shin, Ayu Wandira dewasa
- Bambang Jeger sebagai Patih Kebo Mundarang, Sudra Palong
- Mamuk Pratomo sebagai Kertanagara, Kebo Kluyur
- Wawan GW sebagai Ganggadara, Ki Bokor
- Benny Indrahadi sebagai Jarawaha, Shih Pie, Sanding, Kuntir, Sampit, Ra Banyak, Jana Lelung
- Sudibyanto sebagai Jaruju, Tambir, Kartawiyoga
- Wahyu Chandra sebagai Balawi, Meng Chi, Ki Janawidi
- A.P. Burhan sebagai Rakryan Wuruh, Chan Pie, Aki Pamiji, Banyak Dekur, Rake Patanjana, Rana Dikara, Mpu Tanduk, Wong Agung alias Resi Jana Maha Dwija
- Eny Budiono sebagai Parwati
- Katarina sebagai Nyi Warih
- Kasdu Dewa sebagai Dipangkara Dasa, Lembu Sora, Ra Podang
- Otis Perkasa sebagai Wong Chau
- Armand Donida sebagai Kau Hsing
- Budi Klontong sebagai Nambi, Ki Julungwangi
- Ai Mudji Rahayu sebagai Nararya Turuk Bali
- Bambang Hermanto sebagai Gajah Pagon, Wong Kilur
- Wied Harry Apriadjie sebagai Marakeh
- Freddy Canser sebagai Medangkungan
- Eddy Juni sebagai Linggapati, Puye, Ike Mese, Nambi
- Rini Marjan sebagai Sariti, Tribhuwaneswari, Nyi Tumpak Seti
- Novia Mandagi sebagai Mahadewi
- Jumirah sebagai Pradnya Paramita
- Wiwiek sebagai Rajapatni
- Mas'ud sebagai Wangsa Halemu
- Yayuk Kristanto sebagai Nyi Sepang
- Mogan Pasaribu sebagai Ra Pangsa
- Elyas sebagai Gajah Biru
Daftar Judul Episode
Jumlah keseluruhan kisah Tutur Tinular adalah 720 seri yang terbagi ke dalam 24 episode, atau setiap episode terdiri atas 30 seri dengan durasi kurang lebih 30 menit dan disiarkan setiap hari. Adapun judul-judul episodenya adalah sebagai berikut :
- Pelangi di Atas Kurawan, seri 1-30 (bulan ke-1)
- Kisah dari Seberang Lautan, seri 31-60 (bulan ke-2)
- Daun-Daun Bersemi Lagi, seri 61-90 (bulan ke-3)
- Kemelut Cinta di Atas Noda, seri 91-120 (bulan ke-4)
- Perguruan Lopandak, seri 121-150 (bulan ke-5)
- Cahaya Fajar Menembus Hutan Tarik, seri 151-180 (bulan ke-6)
- Mata Air di Tanah Gersang, seri 181-210 (bulan ke-7)
- Angkara Murka Merajalela, seri 211-240 (bulan ke-8)
- Badai Mengamuk di Atas Kediri, seri 141-270 (bulan ke-9)
- Pemberontakan Ranggalawe, seri 271-300 (bulan ke-10)
- Mutiara Ilmu di Atas Batu, seri 301-330 (bulan ke-11)
- Nagapuspa Kresna, seri 331-360 (bulan ke-12)
- Geger Pedang Nagapuspa, seri 361-390 (bulan ke-13)
- Keris Mpu Gandring, seri 391-420 (bulan ke-14)
- Kisah Seorang Prajurit Pelarian, seri 421-450 (bulan ke-15)
- Pemberontakan Gajah Biru, seri 451-480 (bulan ke-16)
- Pendekar Syair Berdarah, seri 481-510 (bulan ke-17)
- Dendam Lama dari Kurawan, seri 511-540 (bulan ke-18)
- Keluarga Prabu Kertarajasa Jayawardhana, seri 541-570 (bulan ke-19)
- Golek Kayu Mandana, seri 571-600 (bulan ke-20)
- Pemberontakan Lembu Sora, seri 601-630 (bulan ke-21)
- Gelapnya Malam Tanpa Bintang, seri 631-660 (bulan ke-22)
- Wong Agung Turun Gunung, seri 661-690 (bulan ke-23)
- Mendung Bergulung di Atas Majapahit, seri 661-720 (bulan ke-24)
Selain itu, S. Tidjab juga meluncurkan sekuel kelanjutan Tutur Tinular yang berjudul Mahkota Mayangkara, berkisah tentang Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Prabu Jayanagara, di mana pada akhirnya terjadi pemberontakan Ra Kuti yang berhasil ditumpas oleh Gajah Mada.
Sebagai lanjutan dari Mahkota Mayangkara, S. Tijab telah mempersiapkan sekuel ketiga berjudul Satria Kekasih Dewa, yang menceritakan generasi anak-anak dari tokoh Tutur Tinular. Namun produksi sekuel yang ketiga ini terhambat karena belum adanya sponsor sebagai penyandang dana.
Film Layar Lebar
Sukses sandiwara radio Tutur Tinular dan Mahkota Mayangkara membuat para sineas mengangkat kisah ini ke dalam film layar lebar maupun dalam layar kaca.
Tercatat ada empat film Tutur Tinular dengan judul sebagai berikut:
Seri pertama ini diproduksi oleh PT. Kanta Indah Film, dengan disutradarai Nurhadi Irawan dan dibintangi Benny G. Raharja sebagai Arya kamandanu, Baron Hermanto sebagai Arya Dwipangga, Yoseph Hungan sebagai Mpu Ranubhaya, Elly Ermawatie sebagai Mei Shin, dan Lamting sebagai Lo Shi Shan.[2]
Kisah diawali dengan kehidupan Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga yang memperebutkan gadis kembang desa bernama Nari Ratih. Berlanjut kemudian dengan kedatangan utusan Kaisar Kubilai Khan dari bangsa Mongolia yang menginginkan Prabu Kertanagara menyatakan tunduk. Dalam perjalanan kembali ke negerinya, utusan tersebut menangkap dan membawa serta Mpu Ranubhaya, guru Kamandanu.
Di negeri Cina, Ranubhaya menciptakan Pedang Nagapuspa yang kemudian diserahkan kepada pasangan suami istri Lo Shi Shan dan Mei Shin. Kedua pendekar ini lantas terdampar di Pulau Jawa di mana mereka menjadi buronan para pendekar berwatak jahat yang mengincar Pedang Nagapuspa. Akhirnya Lo Shi Shan terbunuh, sedangkan Mei Shin ditolong oleh Arya Kamandanu.
Sukses dengan Tutur Tinular 1, PT. Kanta Indah film kembali memproduksi Tutur Tinular 2 dengan Judul Pedang Naga Puspa Kresna. Seri kedua ini disutradarai oleh Abdul Kadir dan Prawoto S. Rahardjo, dengan dibintangi oleh Hans Wanaghi sebagai Arya Kamandanu, sedangkan Mei Shin diperankan oleh Linda Yanoman.
Film dengan durasi 84 menit ini menceritakan kelanjutan dari seri pertama. Setelah kematian suaminya, Mei Shin ditampung oleh Kamandanu. Kecantikan perempuan Cina ini membuat Arya Dwipangga tergoda, meskipun ia sudah mempunyai istri. Terjadilah pemerkosaan dengan memanfaatkan obat bius, di mana Mei Shin sampai mengandung. Meskipun sakit hati karena ulah kakaknya, Kamandanu tetap berjiwa besar mau menikahi Mei Shin. Kemudian Mei Shin memberikan Pedang Nagapuspa kepada Kamandanu.
Dwipangga yang sakit hati melaporkan ke Kediri bahwa pedang Naga puspa berada di tangan Kamandanu. Akibatnya, pihak Kediri pun menyerang rumah ayahnya. Dalam serangan itu Mpu Hanggareksa, ayah Dwipangga dan Kamandanu, terbunuh.[3]
Tutur Tinular 3 di produksi PT. Elang Perkasa Film, dengan sutradara Prawoto S. Rahardjo yang dibintangi Sandy Nayoan sebagai Arya Kamandanu, dan Baron Hermanto sebagai Arya Dwipangga.
Seri ketiga ini mengisahkan kekacauan di wilayah Kerajaan Majapahit akibat ulah Arya Dwipangga yang muncul kembali sebagai Penddekar Syair Berdarah. Di lain pihak juga muncul Mpu Tong Bajil yang menculik beberapa anak kesatria demi menyempurnakan ilmu silatnya. Salah satu yang ia culik adalah Panji Ketawang, anak Dwipangga yang diasuh Kamandanu.
Terjadilah pertarungan segitiga antara Kamandanu, Dwipangga, dan Bajil. Kamandanu yang terluka parah ditolong istrinya, yaitu Sakawuni dan dibawa ke tempat Mpu Lunggah. Berkat pertolongan Mpu Lunggah dan putrinya yang bernama Luh Jinggan, Kamandanu dapat pulih kembali dan mengalahkan Mpu Bajil. [4]
Seri keempat yang disutradarai Jopijaya Burnama ini mengisahkan intrik yang ditimbulkan Ramapati (diperankan Remy Sylado) untuk menyingkirkan Arya Kamandanu (kembali diperankan Benny G. Rahardja) dari Kerajaan Majapahit. Selain itu, Ramapati juga berusaha membunuh Sanggrama Wijaya raja Majapahit, dan menggantinya dengan putra mahkota, Jayanagara, agar bisa menjadi raja boneka bagi dirinya.
Ulah Ramapati tersebut mendapat bantuan seorang wanita bernama Dewanggi (diperankan Fitria Anwar, serta dengan memperalat Dewi Sambi (istri Mpu Bajil) sebagai penebar racun. Rencana jahat meracuni raja tersebut dapat digagalkan Kamandanu yang membawa tabib bernama Nyai Paricara, yang tidak lain adalah Mei Shin.[5]
Serial Televisi
Sukses dalam sandiwara radio dan film layar lebar, Tutur Tinular dan Mahkota Mayangkar kemudian kemudian diangkat ke layar perak oleh PT. Genta Buana Pitaloka pada tahun 1997. Serial ini disutradarai oleh Muchlis Raya dan skenario ditulis oleh Imam Tantowi. Stasiun televisi yang pertama kali menayangkannya adalah ANTV.
Sukses di ANTV, sinetron serial Tutur Tinular kemudian dilanjutkan ke bagian dua yang ditayangkan di Indosiar. Adapun bagian pertama berkisah tentang kehidupan awal Arya Kamandanu sampai peresmian Sanggrama Wijaya sebagai raja Kerajaan Majapahit. Sementara bagian kedua berkisah tentang pemberontakan Ranggalawe sampai pemberontakan Ra Kuti. Dengan demikian, serial sinetron Tutur Tinular merupakan visualisasi gabungan dua sandiwara radio, yaitu Tutur Tinular dan Mahkota Mayangkara.
Setelah sukses ditayangkan di dua stasiun televisi yaitu ANTV dan INDOSIAR, Gentabuana Pitaloka mengubah format serial tersebut menjadi FTV (film televisi) dengan total keseluruhan berjumlah 27 episode, yaitu:
- Kidung Cinta Arya Kamandanu
- Wasiat Mpu Gandring
- Pelangi di Langit Singasari
- Pedang Naga Puspa
- Pertarungan di Candi Sorabhana
- Kembang Gunung Bromo
- Balada Cinta Mei Shin
- Satria Majapahit
- Bunga Tunjung Biru
- Ayu Wandira
- Prahara di Gunung Arjuno
- Senjakala di Kediri
- Mahkota Majapahit
- Tragedi di Majapahit
- Jurus NagapPuspa
- Misteri Keris Penyebar Maut
- Pengorbanan Mei Shin
- Pendekar Syair Berdarah
- Dendam Arya Dwipangga
- Korban Birahi
- Prahara Naga Krisna
- Karmaphala
- Wanita Persembahan
- Pangeran Buron
- Pemberontakan Nambi
- Pemberontakan Ra Semi
- Gajahmada
Adapun para artis yang membintangi serial ini antara lain:
- Anto Wijaya sebagai Arya Kamandanu
- Piet Ermas sebagai Arya Dwipangga
- Devy Zuliaty sebagai Nari Ratih
- Murti Sari Dewi sebagai Sakawuni
- Lamting sebagai Lo Shi Shan
- Agus Kuncoro sebagai Raden Wijaya atau Prabu Kertarajasa Jayawardhana
- Chairil JM sebagai Mpu Ranubhaya
- Hendra Cipta sebagai Mpu Hanggareksa
- Syaiful Anwar sebagai Mpu Tong Bajil
- Anika Hakim sebagai Dewi Sambi
- Tizar Purbaya sebagai Prabu Kertanagara
- Piet Pagau sebagai Prabu Jayakatwang (season 1) dan Mpu Lunggah (season 2)
- Nungki Kusumastuti sebagi Nararya Turukbali
- Hadi Leo sebagai Lembu Sora
- Herbi Latul sebagai Ranggalawe
- Candy Satrio sebagai Patih Nambi
- Rayvaldo Luntungan sebagai Dyah Halayudha
- Rizal Muhaimin sebagai Ardharaja (season 1) dan Ra Tanca (season 2)
- Johan Saimima sebagai Patih Kebo Mundarang
- Irgy Ahmad Fahrezi sebagai Prabu Jayanagara
- Hans Wanaghi sebagai Meng Chi
- Wingky Harun sebagai Ki Tanparowang
- Dian Sitoresmi sebagai Nini Ragarunting
- Lilis Suganda sebagai Dewi Tunjung Biru (season 1) dan Tribhuwaneswari (season 2)
- Teddy Uncle sebagai Pranaraja (season 1) dan Mpu Wahana (season 2)
- Rizal Djibran sebagai Ra Kuti
- Yuni Sulistyawati sebagai Palastri (season 1) dan Sitangsu (season 2)
- Wulan Guritno sebagai Praharsini
- Trixie Fadriane sebagai Ayu Wandira kecil
- Suzan Meilia sebagai Ayu Wandira dewasa
- Benny Burnama sebagai Ki Pamungsu
- Bambang Suryo sebagai Arya Wiraraja
- Rendy Bramasta sebagai Banyak Kapuk
- Deo sebagai Jambunada
- M. Iqbal sebagai Panji Ketawang kecil
- Sawung Sembadha sebagai Panji Ketawang remaja
- Rizal Fadli sebagai Panji Ketawang dewasa
- Eddy Dhosa sebagai Kuda Prana
- Rifky Al Farez sebagai Gajah Mada (season 2)
Khusus untuk adegan pembuatan Pedang Naga Puspa yang dikisahkan terjadi di istana Kubilai Khan, tidak segan-segan para artis dan kru sinetron ini melakukan pengambilan gambar di Cina seperti di Tembok Besar China dan beberapa tempat lainnya, dengan menggandeng Studio Cho Cho Beijing untuk bekerja sama. Penyutradaraan selama pengambilan gambar di Cina dikerjakan oleh Prof. Mu Tik Yen sutradara kenamaan asal China spesialis sinema kolosal. Adapun para artis Cina yang ikut terlibat dalam pembuatan seri ini adalah:
- Li Yun Juan sebagai Mei Shin
- Ba Sang sebagai Kau Hsing
- Tian Wei Dong sebagai Kubilai Khan
Tidak hanya itu, Li Yun Juan melanjutkan perannya untuk penggambilan gambar di Indonesia sebagai Mei Shin yang merupakan tokoh utama wanita dalam serial ini.
Dalam sinetron tersebut digunakan teknologi dubbing, yang masih menggunakan suara para artis PT. Prathivi Kartika Film sebagaimana versi sandiwara radio. walaupun ada beberapa tokoh yang tidak di dubbing oleh pengisi suara yang sebenarnya sebagaimana penokohan dalam sandiwara radionya, sinetron ini masih patut untuk di tonton, seperti contohnya tokoh Arya Dwipangga yang dalam sandiwara radio di perankan oleh M. Aboed namun dalam sinetron ini dubbing oleh Petrus Urspon walau akhirnya pada season kedua tokoh Arya Dwipangga akhirnya di dubbing juga oleh tokoh aslinya dalam sandiwara radio yaitu M. Aboed, dalam berbagai judul sandiwara radio M. Aboed adalah spesialis untuk tokoh dengan aksen-aksen suara yang khusus untuk melantunkan syair-syair seperti dalam tokoh Arya Dwipangga ini yang dalam penokohannya adalah seorang sastrawan dan seorang pendekar yang selalu melantunkan syair-syair yang indah dan mengerikan, dengan syairnya Arya Dwipangga mampu menaklukkan banyak wanita namun dengan syairnya juga ia mampu melukai bahkan membunuh para musuh-musuhnya.
Karena sukses besar pada serial televisi sebelumnya, pada tahun 2011, Tutur Tinular kembali diangkat dan dikemas dalam sebuah sinetron dengan warna yang berbeda menjadi sebuah serial laga oleh PT. Genta Buana Paramita, dan ditayangkan oleh Indosiar. Dalam produksinya, Genta Buana Paramita juga banyak melibatkan aktor-aktor pendatang baru. Proses sulih suara yang menjadi ciri khas sinetron laga pun ditiadakan. Berbeda dengan versi lama tahun 1997 yang tayang seminggu sekali, maka versi 2011 ini tayang setiap hari Senin s/d Jumat dengan durasi 90 menit.
Meskipun pada awal penayangannya, serial laga ini sudah masuk rating 10 besar program televisi pilihan di Indonesia. Namun serial yang salah satu Sutradaranya berasal dari India ini banyak menuai kritik dan protes dari para pecinta fanatik sandiwara Tutur Tinular. Hal ini dikarenakan alur cerita yang banyak melenceng dari cerita aslinya yang sarat dengan kejadia-kejadian sejarah. Tutur Tinular versi 2011 lebih menonjolkan sisi fiktifnya saja seperti kisah percintaan dan konflik dalam keluarga, dengan selingan lagu dangdut seperti halnya film India, serta bermunculan tokoh-tokoh baru yang tidak ada dalam versi sandiwara radio, seperti, pahlawan bertopeng, Respati dan Laksmi, juga Pangeran Bentar yang sebenarnya merupakan tokoh dalam cerita Saur Sepuh ciptaan Niki Kosasih, Dan setelah beberapa episode muncul juga beberapa tokoh yang diambil dari kisah atau legenda yang berbeda, seperti Khanza, Little Krishna, dan Arimbi, yang notabane adalah tokoh dari karya besar Mahabharata, menyusul kemudian Mak Lampir dan Gerandong dari cerita Misteri Gunung Merapi. Di samping itu, kostum dan lokasi kerajaan yang digunakan juga tidak mencerminkan setting pada zaman Kerajaan Singhasari - Majapahit, melainkan lebih mirip seperti campuran Melayu, India, dan China.
Lihat Sandiwara Radio Lainnya
Saur Sepuh karya Niki Kosasih
Referensi
- ^ Laman Radio Streaming Asdisuara Jakarta, di siarkan ulang setiap Pukul 22.00 WIB
- ^ Laman Tutur Tinular , diakses pada 16 Februari 2010
- ^ Laman Tutur Tinular II, diakses pada 16 Februari 2010
- ^ Laman Tutur Tinular III, diakses pada 16 Februari 2010
- ^ Laman Tutur Tinular IV, diakses pada 16 Februari 2010
Pranala luar
- (Indonesia) TUTUR TINULAR Produksi 1997 TV Series
- (Indonesia) TUTUR TINULAR - MAHKOTA MAYANGKARA - SATRIA KEKASIH DEWA Karya S. TIDJAB
- (Indonesia) TUTUR TINULAR - MAHKOTA MAYANGKARA - SATRIA KEKASIH DEWA
- (Indonesia) SANDIWARA RADIO COMMUNITY
- (Indonesia) Resensi@Perfilmanjibis.pnri