Untuk film berjudul sama, lihat Merantau (film).

Merantau adalah perginya seseorang dari tempat ia tumbuh besar ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman.

Indonesia

Karena pembangunan yang tidak merata dan lebih terpusat di kota-kota besar, terutama di pulau Jawa, banyak orang Indonesia merantau untuk mencari pekerjaan atau pendidikan yang lebih baik. Para perantau ini, terutama yang beragama Islam, memiliki tradisi untuk mudik setiap tahun untuk merayakan lebaran. Hal ini dapat diamati dari kenaikan arus penumpang sistem transportasi umum.

Suku Minangkabau

(Lihat pula : Minangkabau Perantauan)

"Merantau" sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari Minangkabau. Asal usul kata "merantau" itu sendiri berasal dari bahasa dan budaya Minangkabau yaitu "rantau". Rantau pada awalnya bermakna : wilayah wilayah yang berada di luar wilayah inti Minangkabau, tempat awal mula peradaban Minangkabau periode terakhir sebelum zaman modern. Peradaban Minangkabau mengalami beberapa periode atau pasang surut. Wilayah inti itu disebut "darek" (darat) atau Luhak nan Tigo. Aktifitas orang orang dari wilayah inti ke wilayah luar disebut "marantau" atau pergi ke wilayah rantau. Lama kelamaan wilayah rantau pun jadi wilayah Minangkabau. Akhirnya wilayah rantau menjadi semakin jauh dan luas, bahkan di zaman modern sekarang ini wilayah rantau orang Minangkabau bisa disebut di seluruh dunia, walaupun wilayah tersebut tak akan mungkin masuk kategori wilayah Minangkabau namun tetap disebut "rantau". Filosofi dan tujuan "merantau" orang Minang berbeda dengan imigrasi, urbanisasi, atau transmigrasi yang dilakukan kelompok lain.

Banyak orang dari berbagai suku atau etnis yang merantau, di antaranya yang fenomenal adalah kaum Minangkabau. Seorang laki laki Minangkabau saat menginjak usia dewasa muda (20-30 tahun) sudah didorong pergi merantau oleh kultur / budaya adat Minangkabau yang dianut suku tersebut sejak dulu kala, entah kapan bermulanya tak bisa diketahui secara pasti. Tapi setidaknya berdasarkan sejarah yang masih bisa ditelusuri sekitar abad ke 7 orang orang atau pedagang Minangkabau berperan besar dalam pendirian kerajaan Melayu di wilayah Jambi sekarang yang pada zamannya berada pada posisi yang strategis dalam perdagangan di Selat Malaka atau Asia Tenggara umumnya.

Masyarakat Minangkabau dikenal punya tradisi merantau yang kuat. Mereka telah mengembara ke wilayah Asia Tenggara lainnya sejak berabad abad yang lalu. Keturunan mereka sampai saat ini masih ada bahkan berkembang di banyak tempat seperti Aceh, Riau, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Lampung atau wilayah Sumatera lainnya dan juga di Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina Selatan, dan lain lain.

Suku Aneuk Jamee di Aceh adalah masyarakat keturunan Minangkabau yang nenek moyang mereka telah merantau dari Ranah Minang sejak berabad abad yang lalu. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar yang dikenal sebagai pejuang gigih dan dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia adalah anak dan keponakan dari Nanta Setia, keturunan seorang perantau Minang yang jadi panglima di suatu wilayah Kesultanan Aceh pada abad ke 19. Pada abad ke 15 perantau Minangkabau sudah mulai bermukim di Negeri Sembilan semenanjung Malaya. Komunitas keturunan perantau Minangkabau di Negeri Sembilan yang populasinya cukup banyak akhirnya menjadi sebuah kerajaan dengan raja pertamanya Raja Melewar yang diutus langsung dari Pagaruyung Minangkabau. Pada pertengahan abad ke 20 seorang Raja Negeri Sembilan yang keturunan Minangkabau Tuanku Abdul Rahman diangkat menjadi raja Malaysia pertama dengan gelar Yang di-Pertuan Agong. Empat orang putera raja Pagaruyung Minangkabau mengembara / merantau ke selatan dan mendirikan Kepaksian Sekala Brak di wilayah Lampung sekarang. Di Mindanao Selatan (Filipina) keturunan perantau Minangkabau dari ratusan tahun yang lalu masih ada sampai saat ini. Gelar bangsawan mereka "Ampatuan" yang berasal dari Pagaruyung / Minangkabau (Ampu Tuan) masih mereka pakai sampai sekarang. Di Sulawesi Selatan keturunan Datuk Makotta Minangkabau sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Bugis-Makassar sejak ratusan tahun yang lalu. Di pesisir barat Sumatera Utara mulai dari Natal sampai Sibolga, Sorkam dan Barus keturunan Minangkabau telah beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan telah berubah nama menjadi "Orang Pesisir". Dahulunya nenek moyang mereka berasal dari wilayah Painan, Padang dan Pariaman. Sampai sekarang bahasa mereka hampir tak ada bedanya dengan bahasa Minangkabau. Saat masa jayanya Bandar Malaka pada abad ke 15 di semenanjung Malaya, di wilayah Batu Bara dan Asahan Sumatera Utara dulunya banyak bermukim komunitas Minangkabau dan menerapkan sistim adat Minangkabau yang matrilineal sebelum berubah jadi patrilineal atas desakan Sultan Deli. Saat ini keturunan Minangkabau tersebut telah lebur kedalam masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera Utara.

Tidak hanya di Negeri Sembilan perantau Minangkabau mendirikan kerajaan, pada akhir abad ke 14 seorang perantau Minang lainnya Raja Bagindo juga mendirikan Kesultanan Sulu di Filipina Selatan. Awang Alak Betatar pendiri Kesultanan Brunei konon berasal dari Minangkabau juga, bahkan saat acara peresmian replika Istana Pagaruyung di tahun 80 an Sultan Brunei Hassanal Bolkiah juga ikut hadir dan sempat mengatakan bahwa leluhurnya berasal dari Pagaruyung Minangkabau. Kalau ditelusuri lebih jauh lagi ke belakang, sebuah peninggalan sejarah dari abad ke 7 masehi yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang menyatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang setelah bertolak dari Minanga Tamwan dengan membawa bala tentara sebanyak 20.000 orang. Ada ahli sejarah yang berpendapat bahwa Minanga Tamwan zaman kuno yang berpusat di hulu sungai Batang Hari atau di hulu sungai Kampar itu adalah Minangkabau sekarang. Mengenai hal ini memang masih belum ada kesamaan pendapat diantara para ahli sejarah, ada yang berpendapat Dapunta Hyang bertolak dari Minanga Tamwan kearah selatan, lalu mendirikan wanua (kerajaan Sriwijaya) setelah menemukan tempat yang dianggap tepat. Sedangkan ahli yang lain berpendapat Minanga Tamwan adalah kerajaan taklukan Dapunta Hyang. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pendapat yang pertama dari para ahli sejarah tersebut benar adanya mengingat prestasi yang dicapai orang orang Minangkabau dalam petualangan perantauannya baik dimasa lalu maupun dimasa kini.

Selain perantauan yang bersifat kolektif dan agak masif yang kemudian hari menjadi suatu komunitas bahkan kerajaan, juga ada perantau individual yang merantau ke wilayah yang tidak lazim dijadikan tujuan perantauan orang Minang pada masa itu. Selain Datuk Makotta Minangkabau juga ada tiga orang Datuk yang ulama yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Pattimang, Datuk Ri Tiro merantau ke wilayah timur dan menyebarkan agama Islam di wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara pada awal abad ke 17. Sampai saat ini masyarakat setempat tetap mengenang jasa jasa mereka. Di beberapa wilayah Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah, Tuan Tunggang Parangan dan Datuk Karama dikenang masyarakat setempat sebagai pembawa ajaran Islam kedaerah itu. Di bidang kemiliteran tiga laki laki Minang merantau jauh sampai ke Turki dan menjadi bagian dari pasukan Janissary Turki yang terkenal hebat pada masanya yaitu awal abad ke 19. Kolonel H. Piobang seorang perwira kavaleri sempat menjadi komandan pasukan yang berhasil mengalahkan salah satu pasukan Napoleon dalam perang Piramid di Mesir. Perwira lainnya Mayor H. Sumanik menjadi ahli perang padang pasir bersama H. Miskin. Dikemudian hari setelah pulang dari perantauan ke Ranah Minang ketiga anggota pasukan Janissary Turki itu berperan besar sebagai pendiri pasukan militer dalam perang Padri.

Sebagian besar dari tokoh tokoh Minang yang berpengaruh adalah produk "perantauan". Bangsa Indonesia tentu tak akan pernah lupa dengan jasa jasa para pejuang dan pahlawan negara ini seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sjahrir yang dianggap tokoh Indonesia paling penting bersama Soekarno dan Jenderal Soedirman dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Selain ketiga tokoh tersebut tentu masih banyak tokoh produk perantauan lainnya seperti Mohammad Natsir yang pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se Dunia dan perdana menteri Indonesia, Mohammad Yamin yang jadi pelopor Sumpah Pemuda pada tahun 1928, juga Agus Salim yang jadi diplomat ulung, bahkan seorang presiden yang di(ter)lupakan Assaat. Di bidang agama Minang perantauan juga melahirkan ulama ulama besar seperti Ahmad Khatib Al-Minangkabawi orang non Arab pertama yang jadi Imam Besar di Masjidil Haram Mekkah dan Hamka yang dihormati dan dikagumi tidak hanya oleh umat muslim Indonesia tapi juga umat muslim di negara negara Asia Tenggara lainnya, di bidang sastra juga lahir dua orang "pionir" yaitu Chairil Anwar pelopor Angkatan '45 dan Sutan Takdir Alisjahbana pelopor Pujangga Baru, sementara Usmar Ismail dikemudian hari digelari Bapak Film Indonesia, dan banyak lagi yang lainnya. Semua tokoh tokoh besar tersebut adalah produk "perantauan". Pencapaian yang tinggi oleh perantau perantau itu akhirnya menimbulkan pertanyaan, apakah tujuan dan filosofi orang orang Minang dalam "merantau". Tidak mudah memahami tujuan dan filosofi itu melalui artikel yang pendek ini. Secara sederhana bisa direnungkan makna dari sebuah pepatah bijak Minangkabau yaitu Iduik bajaso, mati bapusako (Hidup berjasa, mati berpusaka) yang berarti selagi hidup harus memberi jasa agar setelah mati meninggalkan pusaka (warisan nama baik). Untuk memahami lebih dalam lagi filosofi dan tujuan "merantau" orang Minang perlu dibaca karya dari antropolog dan sosiolog ternama Mochtar Naim dalam bukunya "Merantau".

Orang orang Minangkabau merantau dengan hati dan pikiran terbuka serta imajinasi yang tinggi. Antropolog Mochtar Naim berpendapat bahwa disamping merantau dan berdagang, pola hidup masyarakat Minangkabau yang sangat menonjol adalah suka berpikir dan menelaah. Kebiasaan positif tersebut pada akhirnya menghasilkan para pemikir dan tokoh tokoh berpengaruh di nusantara ini. Mereka adalah manusia manusia yang tak cepat berpuas diri, mereka akan menggapai apapun setinggi mungkin. Kemampuan dan keberanian menjelajah dunia lain yang berbeda dengan kampung halaman mereka telah menjadikan kaum itu sebagai perantau ulung yang tercatat dalam sejarah bangsa bangsa nusantara. Salah satu falsafah hidup mereka yang paling penting yaitu Alam Takambang Jadi Guru ikut berperan dalam kemampuan mereka beradaptasi dengan alam yang berbeda dengan alam Minangkabau, kampung halaman yang tak pernah mereka lupakan sejauh apapun mereka merantau.

Kebiasaan merantau juga berfungsi sebagai suatu perjalanan spiritual dan batu ujian bagi kaum lelaki Minangkabau dalam menjalani kehidupan. Pada masa lalu kaum lelaki Minangkabau yang biasanya telah menguasai ilmu beladiri silat untuk menjaga diri, berangkat pergi merantau dari kampung ketempat yang jauh hanya berbekal seadanya, bahkan tak jarang tanpa bekal sama sekali. Kehidupan yang keras, jauh dari sanak saudara dan kampung halaman diharapkan menjadi cobaan untuk menempa jiwa, kegigihan, dan keuletan si lelaki Minang dalam meningkatkan derajat kehidupannya.

Pada masa sekarang, dalam periode di negeri orang inilah orang Minang yang merantau mencari bidang kehidupan yang mereka minati. Bagi yang ingin berniaga atau wiraswasta mereka memilih menjadi pedagang. Banyak bidang usaha yang bisa mereka geluti seperti berdagang di pasar, mengelola usaha angkutan, usaha percetakan, penjahit pakaian, usaha rumah makan atau restoran Padang dan banyak lagi yang lain. Karena didorong oleh jiwa merdeka sedikit diantara mereka yang merantau untuk mencari pekerjaan sebagai orang gajian. Bagi yang bertujuan menimba ilmu merekapun masuk sekolah sekolah yang baik. Tak jarang mereka dijadikan pemimpin di komunitas perguruan tersebut. Banyak diantara mereka menjadi orang besar dikemudian hari, baik sebagai tokoh pengusaha, politisi, dokter, ilmuwan, birokrat, seniman, profesional, ulama, militer dan polisi, dan lain lain.

Bila keadaannya dianggap sudah cukup mapan atau sukses setelah jangka waktu tertentu, maka barulah ia akan pulang ke kampung halamannya yang telah lama ditinggalkan. Tidak jarang pula para perantau ini lalu berkeluarga, dan akhirnya menetap di perantauan. Bagi orang Minangkabau, fenomena ini disebut "Marantau Cino" atau merantau selamanya dan tak kembali lagi.

Suatu masalah yang belum banyak dikaji tentang para perantau Minang masa kini adalah mengenai perubahan sistem nilai serta kehidupan sosial mereka. Secara umum terdapat kesan bahwa para perantau Minang masih tetap menganut agama Islam dengan taat, akan tetapi dalam hubungan sosialnya sudah mulai kurang menggunakan warisan adat tradisional seperti "buah paruik", "kaum" atau "suku", dan lebih banyak berhimpun dalam satuan nagari asal. Salah satu perhimpunan warga Minang yang paling terkenal dan terorganisasi dengan baik adalah Sulit Air Sepakat atau SAS. Sulit Air Sepakat atau SAS punya kantor perwakilan di banyak kota besar di Indonesia dan beberapa di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan lain lain

Adalah menarik perhatian, bahwa pada umumnya para perantau Minang ini mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya, yang antara lain terlihat pada hampir tidak pernahnya terjadi konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya. Mungkin sekali hal ini disebabkan oleh pepatah bijak Minangkabau yang berbunyi: Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur dan budaya sendiri.

Saat ini diperkirakan lebih dari setengah jumlah warga etnis Minangkabau hidup dan berkembang di wilayah perantauan baik di Indonesia maupun mancanegara, perkiraan itupun tidak memasukkan keturunan Minangkabau yang telah merantau dan berkembang sejak sekurangnya 1000 tahun yang lalu diberbagai wilayah di nusantara atau bahkan dunia ini. Banyak diantara keturunan mereka telah bertransformasi menjadi orang "Minang Baru" atau bahkan suku suku baru seperti "Aneuk Jamee" di Aceh, "Orang Pesisir" di pantai barat Sumatera Utara, "Orang Nogoghi" di Negeri Sembilan, dan entah apa lagi namanya di wilayah wilayah lain yang sudah lama terputus tali sejarah dan tali persaudaraannya dengan Minangkabau. Minangkabau yang fenomenal telah melahirkan suku suku baru di nusantara ini, dan ini adalah sesuatu yang alami dalam dinamika kehidupan alam. Banyak diantara mereka yang tak mengenal lagi kampung halaman nenek moyang mereka yang hebat, yang jauh di pedalaman Sumatera bagian tengah, di dataran tinggi bergunung gunung gagah yang memberi hawa sejuk dan berdanau danau indah yang pinggirannya jadi tepian mandi sejak dulu kala sampai masa kini.

Suku Bugis-Makassar

Suku Bugis-Makassar juga termasuk suku yang gemar mengembara. Seperti suku Minangkabau, keturunan suku Bugis-Makassar juga bertebaran di seantero Asia Tenggara. Hampir di semua wilayah Asia Tenggara terdapat komunitas Bugis-Makassar sejak berabad abad yang lalu. Diaspora manusia Bugis-Makassar sangat intens terjadi semenjak kalahnya Kerajaan Gowa dalam berperang melawan Belanda yang diakhiri dengan Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang terasa sangat mengikat dan menghina kaum Bugis-Makassar. Setelah kekalahan dari Belanda dan rasa tertindas oleh Perjanjian Bongaya, manusia manusia merdeka Bugis-Makassar pun berhamburan meninggalkan tanah kelahiran mereka. Dengan kapal kapalnya yang terkenal mereka mengembara di seantero laut nusantara. Dimana mereka menemukan wilayah yang bisa menopang kehidupan disitulah mereka menetap, namun tidak sedikit yang tetap mengembara di lautan dengan menjadi bajak laut

Keperkasaan pengembara pengembara Bugis-Makassar juga terekam dalam hikayat hikayat Minangkabau. Tidak jarang terjadi konflik antara keduanya dalam perebutan kekuasaan di kerajaan Melayu. Salah satunya adalah kasus perebutan tahta Kerajaan Johor di semenanjung Malaya. Pada masa itu kedua suku bangsa ini dan juga suku bangsa Aceh adalah pemain pemain kunci di kawasan darat maupun laut bagian barat nusantara. Disamping bajak laut Bugis-Makassar juga terdapat bajak laut dari Minangkabau ketika itu. Namun tidaklah semua pengembara dari timur itu adalah bajak laut, tidak sedikit diantara mereka adalah para bangsawan Bugis-Makassar yang tidak mau tunduk terhadap kekuasaan Belanda.

Pada masa masa selanjutnya banyak diantara mereka yang berperan besar di kerajaan kerajaan Melayu bahkan Aceh. Lama kelamaan terjadilah asimilasi diantara suku suku pengembara tersebut, banyak diantara mereka yang saling kawin mawin. Keturunan Datuk Mahkota Minangkabau sangat diterima dan dihargai oleh kaum Bugis-Makassar. Begitu juga di Aceh, banyak sultan Aceh yang berdarah Bugis-Makassar. Ini salah satu contoh baik asimilasi antar suku nusantara. Menurut perkiraan para ahli, diantara suku suku nusantara setelah diaspora Minangkabau, diaspora suku Bugis-Makassar termasuk yang paling luas jangkauannya dan telah berlangsung dari ratusan tahun yang lalu.

Suku Banjar

Tanah asal suku Banjar berada di Kalimantan bagian tenggara, tapi kita dapat menemukan keturunan suku Banjar dalam jumlah yang cukup signifikan di beberapa wilayah Asia Tenggara seperti di Malaysia, Singapura, Riau, juga di bagian lain pulau Kalimantan. Aktivitas merantau orang orang Banjar sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu dan keturunan mereka juga berkembang di wilayah wilayah tersebut diatas. Diperantauan identitas mereka masih bisa dikenali sebagai orang Banjar perantauan.

Seperti kecenderungan banyak pengembara, mereka juga ada yang beraktivitas di dunia perdagangan. Dengan banyaknya kantong kantong komunitas suku Banjar diluar tanah asal mereka dan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, maka bisa dikatakan bahwa orang orang Banjar adalah manusia pengembara juga. Mereka juga para petarung kehidupan yang tak gentar menghadapi kerasnya kehidupan perantauan. Mengenai jumlah populasi keturunan Banjar perantauan belum ada data pasti, namun masih dibawah populasi Minangkabau perantauan dan Bugis-Makassar perantauan.

Suku Bawean

Suku Bawean tidaklah banyak populasinya, tapi kalau dihitung persentase perantaunya dibanding populasi keseluruhan didapat angka yang cukup tinggi. Kampung halaman mereka di pulau kecil yaitu Pulau Bawean, ditengah laut luas antara dua pulau besar yaitu Kalimantan dan Jawa. Mereka banyak merantau ke Malaysia sejak masih ramainya kota pelabuhan Malaka pada sekitar abad 19. Di Malaysia mereka lebih dikenali sebagai orang Boyan. Walaupun jumlah populasi perantaunya tidak begitu banyak, tapi karena persentasenya yang tinggi dibanding jumlah populasi keseluruhan, maka juga bisa dikategorikan bahwa orang Bawean termasuk manusia perantau juga.

Suku Madura

Satu lagi suku perantau dari nusantara ini, yaitu suku Madura. Tanah asal suku Madura adalah pulau Madura, tapi diujung timur pulau Jawa juga telah menjadi kampung halaman mereka. Kaum Madura telah tersebar dibagian lain nusantara ini sejak ratusan tahun yang lalu. Walaupun jumlah populasi perantaunya tidak sebanyak orang Minangkabau dan Bugis-Makassar, mereka tetap bisa disebut sebagai suku perantau. Orang Madura banyak merantau ke Kalimantan dan wilayah lainnya di pulau Jawa selain Jawa Timur. Di Sulawesi juga ada perantau dari Madura, begitu juga di kepulauan Bangka Belitung. Pasca tragedi di Kalimantan, wilayah perantauan orang orang Madura semakin meluas. Sekarang ini kita juga bisa menemukan perantau Madura di pulau Sumatera. Orang orang dari suku Madura juga dikenal ulet, tidak gampang menyerah, salah satu modal utama para perantau.

Suku Batak

Suku Batak termasuk yang belakangan melakukan aktivitas merantau. Tapi perkembangan aktivitas merantau mereka terhitung pesat. Mereka baru sekitar satu abad lebih keluar secara cukup masif dari kampung halaman mereka yang indah di tepian danau Toba. Diaspora Batak yang cukup masif dimulai pada penghujung abad 19 atau awal abad 20, dimulai dari menyebarnya mereka dari wilayah Tapanuli ke daerah sekitar, seperti Medan dan Deli karena berkembangnya perkebunan di wilayah tersebut. Seiring dengan pertambahan populasi yang cepat maka semakin pesat pula arus urbanisasi orang orang dari Tanah Batak ke seantero nusantara. Pada masa sekarang ini kita dengan mudah menemukan orang Batak diberbagai tempat.

Suku Batak terdiri dari beberapa puak, yaitu puak Toba, Mandailing, Angkola, Karo, Simalungun, dan Pakpak. Puak Toba, Mandailing dan Karo terhitung yang paling pesat pencapaiannya dalam bermacam bidang kehidupan di perantauan dibanding puak lainnya.

Bagi warga Batak Toba yang mayoritas memeluk agama Kristen biasanya mereka mendirikan gereja HKBP di tempat baru untuk beribadah. Orang Batak banyak yang pergi merantau ke Medan dan Jakarta serta kebeberapa wilayah di Indonesia. Jumlah perantau suku Batak diperkirakan menduduki peringkat ketiga setelah perantau Minangkabau dan Bugis-Makassar. Menurut sensus pada tahun 2006, jumlah perantau Batak mencapai 19,8 % dari jumlah populasi dengan puak Batak Toba sebagai yang terbesar dan yang terkecil dari puak Batak Pakpak

Motif merantau orang Batak Toba sendiri terdapat dalam falsafah hidup mereka yakni Hagabeon, Hasangapon, Habontaron dan Harajaon. Bagi orang orang dari suku Batak merantau bertujuan untuk meraih kehidupan yang lebih baik, berusaha bertahan di suatu daerah dan membentuk kehidupan baru di luar kampung halaman. Falsafah ini sukses dilakukan oleh orang Batak di perantauan terutama di wilayah Medan, Sumatera Utara serta beberapa kawasan didaerah selatan Aceh serta utara Sumatera Barat dan Riau, dan berbaur dengan masyarakat setempat dengan harmonis.

Lihat pula

Bacaan lebih lanjut

  • Naim, Muchtar. "Merantau : Minangkabau Voluntary Migration", Disertasi Ph.D, Singapore : Faculty of Arts and Social Sciences University of Singapore.1974.
  • Naim, Mochtar, "Merantau : Pola Migrasi Suku Bangsa Minangkabau". Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1979.
  • Suryadinata, Leo, Evi Nurvidya Arifin, dan Aris Ananta, 2003, "Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape", ISEAS, Singapore.
  • Garry Dimas AC, "Budaya Merantau pada suku suku di Indonesia". Johor Bahru : University Melaka, 2001.