Unit 731 adalah suatu unit rahasia untuk pengembangan senjata biologi yang dimiliki Jepang pada tahun 1937-1945.[1] Unit ini dipimpin oleh Jenderal Ishii Shiro dan berkantor pusat di pinggiran kota Harbin dan bercabang ke Manchuria.[2] Organisasi Jepang ini merupakan suatu kompleks laboratorium besar yang terdiri dari 150 gedung dan 5 perkemahan satelit dengan 3.000 ilmuwan dan teknisi bekerja di dalamnya.[1]

Salah satu fasilitas unit 731 di Harbin.

Sejarah

 
Ishii Shiro, pemimpin unit 731.

Pada tahun 1932, Ishii Shiro mendirikan suatu Laboratorium Pencegahan Epidemik di sekolah medis militer Tokyo dan Unit Togo di desa Bei-inho, sebelah tenggara kota Harbin.[2] Laboratorium ini sempat ditutup pada tahun 1934 karena 12 orang tawanan perang lari dari fasilitas tersebut dan pasukan gerilya Cina berhasil menyerang pasukan Ishii.[2] Dua tahun kemudian, Unit Togo dibuka kembali dan berganti nama menjadi Departemen Pencegahan Epidemik Tentara Kwantung (Unit Ishii) dan di tahun 1940 diubah kembali menjadi Departemen Pencegahan Epidemik dan Purifikasi Air (menjadi Unit 731 pada tahun 1941).[2] Selain di Manchuria, militer Jepang juga memiliki cabang di Beijing (Unit 1855), Nanking (Unit 1644), Guangzhou (Unit 8604), dan Singapura (Unit 9420) dengan total 20.000 staf secara keseluruhan.[2] Masing-masing cabang melalukan eksperimen biologi dan kimia yang telah dikembangkan oleh Unit 731.[2]

Kegiatan

Eksperimen senjata biologi

Unit 731 melakukan eksperimen pembuatan senjata biologi dengan menginfeksi tawanan perang dengan pes, antraks, kolera, wabah demam berdarah, radang dingin (frostbite), dan bahkan penyakit menular seksual.[1][3] Walaupun sulit untuk mengetahui jumlah korban yang meninggal, diperkirakan sekitar 10.000 tawanan meninggal dunia akibat eksperimen yang dilakukan Jepang ini.[1] Para dokter yang bertugas di Unit 731 melakukan perbanyakan bakteri atau virus patogen pada organ tubuh manusia kemudian menyebarkannya ke warga desa sekitar ketika telah didapatkan jumlah patogen yang mencukupi.[3] Organ tubuh tersebut didapatkan dari hasil pembedahan tubuh tawanan.[3] Berbagai pembedahan bagian tubuh dilakukan untuk melihat efek dari suatu senjata biologi.[3] Namun, pembedahan dan eksperimen yang dilakukan Jepang berlangsung dengan sadis, diantaranya adalah transfusi darah binatang ke manusia, pemecahan bola mata, pemotongan anggota tubuh dan menyambungkannya kembali ke sisi yang berlawanan, hingga percobaan pada bayi dan anak kecil yang menyebabkan kematian.[3]

Untuk melihat efek dari penyakit yang tidak dirawat, Jepang menginfeksi pria dan wanita dengan sifilis, membekukan manusia kemudian dicairkan kembali untuk mempelajari efek pembusukan daging, menempatkan manusia pada ruangan bertekanan tinggi, dan berbagai tindakan tidak manusiawi lainnya.[4] Mayat-mayat korban yang telah diambil organ dalamnya kemudian dibuang dan dibakar dengan krematorium.[5]

Uji senjata

Selain digunakan untuk uji senjata biologi, para tawanan juga dimanfaatkan untuk uji senjata.[4] Para tawanan diikat pada jarak tertentu, diposisikan dengan sudut berbeda kemudian dilempar dengan granat, penyembur api, maupun bahan peledak.[4] Hal ini dilakukan untuk mengukur posisi dan kisaran terbaik untuk pelepasan senjata tersebut.[4]

Akhir perjalanan

Pada Agustus 1945, seluruh gedung dan peralatan Unit 731 dimusnahkan dan Jenderal Ishii Shiro pergi untuk mencari bantuan kepada Amerika.[2] Dia menemui Jenderal McArthur untuk meminta imunitas bagi bagi staf Unit 731 dan menukarnya dengan pengetahuan Jepang dalam pengembangan senjata kimia dan biologi.[2] Pada September 1947, Amerika sepakat untuk tidak menuntut Jepang terhadap kejahatan perang yang telah mereka lakukan.[2] Beberapa personel medis Unit 731 masih dapat menduduki posisi penting di dalam masyarakat Jepang, contohnya Jenderal Masaji Kitano.[5] Kitano adalah orang yang menunjuk Ishii Shiro untuk memimpin Unit 731.[5] Dia tetap menjadi orang penting di Jepang karena menjadi direktur dari Green Cross Corporation, perusahaan ternama di Jepang yang memproduksi berbagai produk darah.[5] Ishii Shiro meninggal pada usia 69 tahun karena kanker tenggorokan (laring).[6]

Referensi

  1. ^ a b c d (Inggris)Eric Croddy (2001). Chemical and Biological Warfare: A Comprehensive Survey for the Concerned Citizen. Springer. ISBN 978-0-387-95076-1. Page.224
  2. ^ a b c d e f g h i (Inggris)Miki Y. Ishikida (2005). Toward Peace: War Responsibility, Postwar Compensation, and Peace Movements and Education in Japan. iUniverse, Inc. ISBN 978-0-595-35063-6. Page.52-55
  3. ^ a b c d e (Inggris)"Book Review - The horrors of Unit 731 revisited. A Plague Upon Humanity: The Hidden History of Japan's Biological Warfare Program by Daniel Barenblatt". Asia Times Online Ltd. 29 Januari 2005. Diakses tanggal 16 Mei 2010. 
  4. ^ a b c d (Inggris)"Doctors of Depravity". 2 Maret 2007. Diakses tanggal 16 Mei 2010.  Teks "publisher Associated Newspapers Ltd " akan diabaikan (bantuan);
  5. ^ a b c d (Inggris)Peter Li (2003). Japanese war crimes: the search for justice. Transaction Publishers. ISBN 978-0-7658-0890-5. Pag.289-299
  6. ^ (en)Sharad S. Chauhan (2004). Biological Weapons. APH Publishing Corporation. ISBN 978-81-7648-732-0. Page: 8-21