Gondang (musik Sunda)
Gondang adalah lagu pada tutunggulan[1].Ngagondang adalah kakawihan yang dipirig oleh tutunggulan[1]. Pada mulanya gondang merupakan bagian dari upacara untuk menghormati Dewi Padi, Nyi Pohaci SANGHYANG SRI, waktu menumbuk padi untuk pertama kalinya, biasa disebut meuseul Nyai Sri, setelah panen usai[2].Yang melakukan gondang yaitu wanita yang dianggap suci atau sudah tidak menstruasi (menopause). Itu dulu waktu di Jaman Prabu Siliwangi[1]. Perkembangan selanjutnya gondang menjadi nama salah satu seni pertunjukan yang menggambarkan muda-mudi di pedesaan menjalin cinta kasih, dengan gerak dan lagu yang romantis penuh canda. Sekelompok pemudi menumbuk padi dengan mempergunakan lesung, kemudian sekelompok pemuda datang[2]. Terjadilah dialog yang akhirnya mereka pulang berpasang-pasangan[2].
Lagu-lagu yang dipergunakan banyak mengambil dari lagu rakyat, atau lagu perkembangan yang diubah katanya[2]. Salah seorang inovator seni pertunjukan ini adalah Tatang Kosasih, yang mengolahnya pada awal tahun 1960-an[2]. Kata-katanya tidak saja berbahasa Sunda, tetapi dicampur dengan bahasa Indonesia, dan untuk membedakan dengan kreasi gondang lainnya, gondang karya Tatang Kosasih biasa disebut gondang tidak jangan[2]. Mang Koko dan Wahyu Wibisana pernah membuat Gondang Samagaha (gerhana), yang mengisahkan kegiatan muda-mudi dikala terjadi gerhana, diiringi gamelan pelog dan salendro[2].
Salah satu ciri gondang adalah adanya kegiatan tutunggulan dengan alat alu atau lesung[2]. Tingtung tutunggulan gondang artinya bunyi-bunyian yang terdengar dari pukulan alu dan lesung yang dimainkan oleh beberapa orang, sehingga membentuk paduan bunyi yang polyphonis[2].
Tutunggulan biasa pula dijadikan tangara (tanda) untuk masyarakat sekitarnya bahwa ada seseorang yang akan melangsungkan perhelatan[2].