Jinadhammo

Revisi sejak 19 September 2013 04.09 oleh Okkisafire (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '{{Infobox Person | name = Jinadhammo | image = | birth_date = {{birth date|1944|09|03|mf=y}} | birth_place = {{negara|Indonesia}} Desa Gempok, Simo, Boyolali,...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Bhikkhu Jinadhammo Mahathera merupakan salah satu dari lima bhikkhu yang pertama kali ditahbiskan setelah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita di Candi Borobudur pada tahun 1970. Ia juga termasuk sebagai bhikkhu dengan vassa tertua di Indonesia yang masih tetap lincah dan bersemangat dalam mengembangkan Buddha Dharma, khususnya di Indonesia. Ia dikagumi bukan saja karena kesederhanaan hidupnya, tetapi juga keteguhan prinsipnya. [1]

Jinadhammo
Lahir(1944-09-03)3 September 1944
Indonesia Desa Gempok, Simo, Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia
PekerjaanRohaniwan

Bhikkhu Jinadhammo dikenal sangat disiplin dalam tata susila (vinaya). Ia juga banyak melakukan sumbangsih seperti pembangunan vihara, menjadi guru dan dosen Agama Buddha, mengikuti aktivis-aktivis Buddhis, sekolah, proyek sosial, dan sebagainya. Seorang aktivis Buddhis berkata:[1]

"Bhante Jinadhammo itu titisan Raja Sriwijaya. Ia membuat Buddha Dharma berkilau di Pulau Sumatera. Kilaunya sampai ke seluruh pelosok nusantara."

Biografi

Masa kecil

Bhikkhu Jinadhammo dilahirkan di Desa Gempok, Simo, Boyolali, Jawa Tengah, pada tanggal 3 September 1944 dengan nama kecil Sunardi. Ayahnya bernama Adma M. dan ibunya Sadiem. Ia bukan berasal dari keluarga Buddhis.[1]

Sunardi kecil sering sakit-sakitan. Terlebih karena Indonesia baru merdeka, keluarganya selalu berpindah-pindah ke berbagai pelosok Jawa. Namun, ia tetap bisa menamatkan Sekolah Rakyat dan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi karena semangat belajarnya cukup tinggi. Untuk menambah uang saku, sepulang sekolah ia bekerja sebagai tukang cukur rambut.[1]

Wayang kulit

Sunardi remaja kerap mengunjungi tempat-tempat keramaian, terutama pertunjukkan wayang kulit. Ia betah menonton pagelaran wayang kulit berhari-hari sampai hapal dengan lakon dan tokoh pewayangan. Rudiyanto Tan, Pimpinan Redaksi Majalah Dhammavira, berkata:[1]

"Bhante Jinadhammo itu menguasai sekali masalah perwayangan. Satu kali, kami pernah membahas hal ini, mulai dari Ramayana, Mahabrata, sampai dengan lakon Asmara Bhumi."

Awal kehidupan religius

Mengenal agama Buddha

Sunardi mengenal agama Buddha saat ia bersama teman-temannya sering mengunjungi Candi Borobudur dan Prambanan yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Ia penasaran dengan kemegahan candi tersebut dan pertanyaan terjawab ketika Sunardi membaca Majalah Mutiara Minggu yang memuat tentang agama-agama besar di Indonesia. Sunardi menjadi tertarik dengan Agama Buddha dan sejak itu ia rutin mempelajari Agama Buddha melalui majalah sederhana tersebut.[1]

Menjadi Upasaka

Sunardi akhirnya bertemu dengan Ashin Jinarakkhita di Bandung. Dari Bhikkhu Ashin, Sunardi giat mempelajari Paritta-Paritta suci dan Buddha Dharma secara mendalam. Akhirnya ia dipilih sebagai pemimpin kebaktian (Upacarika) untuk mahasiswa-mahasiswi di Vihara Vimala Dharma, Bandung, di awal tahun 1960. Hal ini membawanya bergabung dalam organisasi Agama Buddha di Bandung pada tahun 1962. Setelah setahun di Bandung, Sunardi ditugaskan Ashin Jinarakkhita untuk mengembangkan Buddha Dharma di wilayah Sumatera, khususnya Medan, Padang, dan Pekanbaru.[1]

Sunardi ditahbiskan sebagai upasaka oleh Ashin Jinarakkhita kemudian kerap mendampinginya berkeliling Sumatera, bahkan Indonesia. Hal tersebut menjadi kebanggaan tersendiri karena dapat terpilih sebagai upasaka Ashin Jinarakkhita.[1]

Penahbisan

Upasaka Sunardi ditahbiskan menjadi samanera oleh Ashin Jinarakkhita dengan nama Dhammasushiyo. Selang beberapa waktu, Samanera Dhammasushiyo mengambil keputusan untuk menjadi Bhikkhu. Tepat pada Hari Waisak, tanggal 9 Mei 1970, pukul 14.00 WIB, bertempat di Candi Borobudur, bersama empat orang Samanera lainnya, yaitu Samanera Jinasuryabhumi (U.P.Dhamapala atau Nirihuwa Bermandus, kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Aggajinamitto), Samanera Dhammasila (Tan Hiap Kik, kemudian dikenal sebagai Bhikkhu Uggadhammo), Samanera Dhammavijaya (Tiong Khouw Siw, dikenal dengan Bhikkhu Sirivijoyo, telah lepas jubah), dan Samanera Dhammabhumi (Djumadi, dikenal sebagai Bhikkhu Saccamano, telah lepas jubah), mereka diupasampada menjadi bhikkhu.[1]

Perjalanan sebagai Bhikkhu

Masa pelatihan

Bhikkhu Jinadhammo berlatih meditasi di Wat Ban Tad, Udonthani, Timur Laut Kota Bangkok, dibawah pengawasan Ajahn Boowa selama sekitar tiga tahun. Wat Ban Tad adalah salah satu nama vihara sekaligus pusat pelatihan meditasi terkenal di Muangthai, selain Wat Ba Phong tempat Ajahn Chah melatih murid-muridnya. Setelah tiga tahun, Bhikkhu Jinadhammo kembali ke Indonesia dan bertugas untuk membina Umat Buddha di Pulau Sumatera. Beliau bermukim di Vihara Borobudur, Medan.[1]

Pelayanan

Bersama Wirawan Giriputra dan Otong Hirawan, Bhikkhu Jinadhammo bekerja keras memajukan Agama Buddha di Kota Medan. Ia berjasa mendatangkan tenaga pengajar Agama Buddha dari pulau Jawa ke Sumatera, khususnya Medan dan sekitarnya. Ia juga mengangkat guru-guru tersebut sebagai upasaka pandita agar dapat mewakili Sangha yang pada masa itu tercatat masih sangat minim jumlahnya. Guru-guru tersebut antara lain Pandita Widyaputra Suwidi Sastro Atmojo yang berperan besar mendirikan Vihara Buddha Jayanti di Rantau Prapat dan Pandita Kumala Kusumah yang berjasa memajukan pendidikan Agama Buddha di Kisaran.[1]

Bhikkhu Jinadhammo antusias melaksanakan program latih diri Umat Buddha, misalnya Program Latih Diri Vipassana Bhavana rutin, Pekan Penghayatan Dharma, Latih diri Atthangasila/Pabbaja Samanera-Samaneri, dan sebagainya. Didukung Romo Ombun Natio, Bhikkhu Jinadhammo menggagas pendirian Institut Agama Buddha Smaratungga Cabang Medan (sekarang bernama Sekolah Tinggi Agama Buddha Bodhi Dharma). Ia juga memiliki banyak asuh dari keluarga Buddhist kurang mampu yang berkeingan melanjutkan pendidikan.[1]

Pandangan hidup

Dalam pengabdiannya, Bhikkhu Jinadhammp dikenal sebagai sosok non-sekterian. Meski tercatat sebagai salah satu senior di Sangha Agung Indonesia, ia juga menjadi penasihat Cetiya Maha Sampatti dan Vihara Maha Sampatti yang berada di bawah naungan Sangha Theravada Indonesia. Ia juga sering memberi ceramah dan menghadiri perayaan hari besar Agama Buddha di vihara-bihara Mahayana.[1]

Referensi