Rosalyn Sussman Yalow
Rosalyn Sussman Yalow (1921-2011) adalah wanita kedua yang berhasil memenangkan Penghargaan Nobel dalam Kedokteran di tahun 1977.[2] Pencapaiannya adalah pengembangan radioimmunoassay (RIA), sebuah penerapan fisika nuklir dalam kedokteran klinik yang memungkinkan para ilmuwan menggunakan pelacak radiotropi untuk mengukur kadar ratusan zat farmakologis dan biologis dalam darah dan cairan lain tubuh manusia serta pada binatang dan tumbuhan. Ia menemukan teknik ini pada tahun 1959 untuk mengukur jumlah insulin dalam darah orang dewasa penderita kencing manis.
Rosalyn Sussman Yalow | |
---|---|
Lahir | New York City, New York, U.S. | 19 Juli 1921
Meninggal | 30 Mei 2011[1] The Bronx, New York, U.S. | (umur 89)
Kebangsaan | American |
Almamater | Hunter College University of Illinois at Urbana–Champaign |
Dikenal atas | Radioimmunoassay (RIA) |
Penghargaan | 1975 AMA Scientific Achievement Award 1976 Albert Lasker Award for Basic Medical Research 1977 Penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran 1988 National Medal of Science |
Karier ilmiah | |
Bidang | Medical physics |
Penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran tersebut dibagi bersama dengan Roger C.L. Guillemin dan Andrzej Schally.
Kehidupan awal
Rosalyn lahir dari orangtua Yahudi, Clara dan Simon Sussman. Sejak usia 8 tahun, Rosalyn ingin menjadi seorang ilmuwan walaupun dia hidup di era dunia yang melarang perempuan memiliki karir dalam dunia sains. Ia menempuh pendidikan di sekolah negeri New York City. Saat menempuh pendidikan di Walton High School, seorang guru kimianya mendorong Rosalyn untuk mengembangkan diri di bidang sains. Ia lulus dari Hunter College dan menerima beasiswa pengajaran dalam fisika di University of Illinois. Pada tahun 1945, ia menjadi wanita kedua yang menerima gelar Ph.D. dalam fisika dari Illinois.
Rosalyn kemudian bertemu A. Aaron Yalow, seorang mahasiswa fisika yang merupakan anak seorang rabbi dan mereka menikah pada tanggal 6 Juni 1943. Mereka kembali ke New York di mana mereka menjabat sebagai dosen di bidang fisika, yang dipegangnya hingga tahun 1950. Pasangan tersebut memiliki 2 anak yang bernama Benjamin dan Elanna.
Karier dan penghargaan
Setelah Perang Dunia II, Rosalyn bekerja sebagai penasihat di Veterans Administration Hospital, Bronx, untuk mengembangkan fisika nuklir mulai tahun 1947. Rumah sakit tersebut tertarik mengerjakan penelitian tentang kemungkinan penggunaan zat radioaktif dalam diagnosis pengobatan dan penyakit. Pada tahun 1950, ia diangkat sebagai ketua fisikawan dan asisten layanan radioisotop rumah sakit itu.
Ketika Rosalyn mengembangkan radiommunoassay, alat pengukuran insulin dan hormon lain yang sangat sensitif, maka banyak penelitian terkait diabetes mulai ditemukan. Selain itu, radioimmunoassay juga digunakan untuk diagnosis dan pengobatan masalah hormonal terkait pertumbuhan, fungsi tiroid, dan fertilitas (kesuburan). Teknik yang ditemukan oleh Rosalyn bersama dengan Dr. Solomon A. Berson ini telah menandai abad baru dalam dunia endokrinologi.
Rosalyn diangkat ke kedudukan yang lebih tinggi dan bertanggung jawab di RS VA selama tahun-tahun itu. Pada tahun 1976, ia menjadi wanita pertama yang memenangkan Albert Lasker Award for Basic Medical Research.
Warisan
Dr. Rosalyn Yalow juga menyadari perannya sebagai sebagai wanita dan seorang Yahudi. Setelah ia menerima Hadiah Nobel, "Ladies Home Journal" menginginkannya menerima penghargaan khusus wanita. Dengan ramah ia menolak tawaran itu, yang dianggapnya sebagai kutipan "ghetto" karena ia merasa sebagai wanita brilian, bukan ilmuwati brilian.
Dr. Rosalyn Yalow adalah rambu dan pemandu bagi para wanita muda dalam mencapai kedudukan dan pengakuan dalam hidup. Sepanjang hidupnya ia telah menunjukkan bahwa tiap wanita berhak mendapat profesi terkemuka seperti memiliki keluarga yang baik dalam kehidupannya.
Pranala luar
Referensi
- ^ DOI:10.1038/474580a
Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual - ^ Rosalyn S. Yalow, Nobel Medical Physicist, Dies at 89, The New York Times. 1 Juni 2011. Denise Gelene.