Garuda Indonesia Penerbangan 421
Pada 16 Januari 2002, sekitar 0920 UTC, Garuda Indonesia Airlines dengan nomor penerbangan 421, sebuah Boeing 737-300 dengan registrasi PK-GWA menggunakan dua mesin turbofan CFM56-3B1 , mengalami dual-engine flameout (power loss) dalam pendekatan menuju kota Yogyakarta di pulau Jawa, Indonesia. Setelah mencoba beberapa kali untuk menghidupkan mesin, kru pesawat melakukan pendaratan darurat di sungai Bengawan Solo dekat dengan kota Solo di pulau Jawa. Dari total 60 orang di atas pesawat, satu awak kabin tewas dan 12 penumpang mengalami luka fatal dan 10 penumpang mengalami luka ringan.
Ringkasan kecelakaan | |
---|---|
Tanggal | 16 Januari 2002 |
Ringkasan | Mesin mati |
Lokasi | Bengawan Solo |
Penumpang | 54 |
Awak | 6 |
Cedera | 22 |
Tewas | 1 |
Selamat | 59 |
Jenis pesawat | Boeing 737-300 |
Operator | Garuda Indonesia |
Registrasi | PK-GWA |
Asal | Bandar Udara Selaparang, Kota Mataram |
Tujuan | Bandar Udara Adisucipto, Kota Yogyakarta |
Garuda 421 terbang dari pulau Lombok di Indonesia sekitar pukul 08.00 UTC. Menurut informasi yang didapat selama penyelidikan , tinggal landas, climb dan cruise selama penerbangan dilaporkan cerah. Pilot melaporkan saat descent awal dari ketinggian (FL) 310 (kurang lebih 31,000 kaki), mereka memutuskan untuk mengambil rute lain karena mereka melihat ada nya badai dalam rute perjalanan yang sudah direncanakan. Badai ini terlihat dari radar cuaca di dalam pesawat.
Analisis dari data penerbangan digital (DFDR) dan gambar yang diperoleh dari satelit NOAA-12 menunjukan bawa penerbangan telah memasuki badai sewwaktu kru pesawat memulai untuk mengubah rute dari rute normal menuju Yogyakarta. Data satelit menunjukan pesawat memasuki daerah dengan cuaca buruk sekitar 0918 UTC. Cuaca sangat buruk dan badai juga terakam dalam rekaman percakapan di dalam kokpit (CVR) . Data dari pencitraan satelit, CVR dan DFDR serta pernyataan pilot menunjukan sebelum pesawat memasuki kawasan badai, pesawat menuju selatan dan terbang menuju ke celah anatara dua badai. Pilot melaporkan bahwa mereka mencoba terbang di celah antara dua badai yang dapat dilihat dari radar cuaca pesawat. Setelah 90 detik memasuki badai, kedua mesin pesawat mati, CVR dan DFDR berhenti merekam karena kehilangan listrik dari generator yang berada di kedua mesin pesawat. Pilot mencoba tiga kali menghidupkan kembali mesin pesawat namun gagal dan memutuskan untuk melakukan pendaratan darurat di sungai Bengawan Solo.