Syarif Harun dari Pelalawan

Sultan Pelalawan ke-9

Sultan Syarif Harun bin Sultan Syarif Hasyim II, Gelar : Sultan Assyaidis Syarif Harun Tengku Sulung Negara Abdul Jalil Fakhruddin (1940 - 1946), Merupakan salah seorang Tokoh dan Pahlawan dalam mempertahankan Republik Indonesia. Beliau adalah seorang Putra Mahkota Kerajaan Pelalawan yang jabatannya dipegang sementara oleh sepupunya Tengku Said Osman, menjelang beliau dewasa.

Penguasa Negeri Pelalawan
Dibawah Kekuasaan Johor
Maharaja Dinda II 1725–1750
Maharaja Lela Bungsu 1750–1775
Maharaja Lela II 1775–1798
Kesultanan Pelalawan
Sultan Syarif Abdurrahman 1810–1822
Sultan Syarif Hasyim I 1822–1828
Sultan Syarif Ismail 1828–1844
Sultan Syarif Hamid 1844–1866
Sultan Syarif Jaafar 1866–1872
Sultan Syarif Abubakar 1872–1886
Sultan Syarif Ali 1886–1892
Sultan Syarif Hasyim II 1892–1930
Regent Tengku Pangeran 1931–1940
Sultan Syarif Harun 1940–1946
Setelah Kemerdekaan Indonesia
Sultan Syarif Kamaruddin 2008–kini
Sultan Syarif Harun
Berkas:Sultan syarif harun.jpg
Sultan Pelalawan ke-9
Berkuasa1940 - 1946
PendahuluSultan Syarif Hasyim II
PenerusSultan Syarif Kamaruddin

Biografi

Dilahirkan dengan nama Tengku Said Harun, di Pelalawan (sekarang bernama Kecamatan Pelalawan) yang terletak di Kabupaten Pelalawan, Riau. Dalam Buku Silsilah Kerajaan Pelalawan mencatatat bahwa ia adalah Sultan Pelalawan ke- 9 yang dihitung sejak masa Kekuasaan leluhurnya Sultan Syarif Abdurrahman, dan merupakan Sultan Terakhir pada Masa kekuasaan Kerajaan Pelalawan.

Masa Pemerintahan

Pada masa pemerintahannya, Pelalawan banyak mendapat kesulitan. Indonesia sengsara di bawah penjajahan Jepang, rakyat menderita lahir batin dan penderitaan itu dirasakan pula oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat dicabut untuk kepentingan Jepang, orang-orang diburu untuk dijadikan romusha, dimana-mana terjadi kesewenang-wenangan.

Dengan adanya masalah tersebut, Sultan bersama Orang Besar Kerajaan berupaya mencari jalan keluarnya, agar bisa menyelamatkan rakyatnya dari bencana itu. Akhirnya beberapa upaya telah mereka sepakati untuk menempuh jalan yaitu :

  • Pada siang hari kaum pria dianjurkan agar meninggalkan kampungnya, pergi ke daerah kampung pedalaman (sekarang Kecamatan Bandar Petalangan) agar terhindar dari paksaan penjajah Jepang untuk jadi romusha.
  • Rakyat yang mempunyai persediaan padi atau bahan makanan lainnya (sagu dsb.nya), supaya menyembunyikannya di hutan atau di tempat-tempat lain yang sukar diketahui Jepang dan petugasnya.
  • Anak-anak gadis, dianjurkan untuk menumpang kepada keluarganya yang tinggal di kampung-kampung, yang dianggap aman dari gangguan Jepang.

Beberapa upaya tersebut nampak berhasil, karena selama penjajahan Jepang, hampir tak ada rakyat Pelalawan yang menjadi romusha, gadis-gadisnya tak ada yang menjadi korban. Namun bahaya kelaparan tetap mengancam, karena rakyat sangat terbatas ruang geraknya untuk berusaha. Padi penduduk, terutama yang tinggal di pinggir Sungai Kampar, terus dicabut dan diambil Jepang. Selain itu, banyak pula penduduk daerah lain yang mengungsi ke daerah ini untuk menumpang hidup.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, beliau bersama Orang-orang Besar Kerajaan menyambut berita itu dengan gembira. Maka pada tanggal 25 November 1945, sehari setelah berita pasti sampai ke Pelalawan, Sultan bersama Orang Besar Kerajaan menyatakan dirinya dan seluruh rakyat Pelalawan ikut ke dalam pemenintahan Republik Indonesia, dan siap sedia membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu. Sejak saat itu, beliau terus menerus mengabdikan dirinya bagi nusa dan bangsanya, orang-orang Besar Kerajaan, pemuda-pemuda dan seluruh lapisan masyarakat Pelalawan turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan.

Karier Politik di Indonesia

  1. Sebagai Pegawai Negara Republik Indonesia yang memegang Jabatan Kepala Wilayah Pelalawan pada tahun 1945.
  2. Sebagai Asisten Wedana Bunut dan kemudian Wedana Pelalawan.
  3. Sebagai Dirigent Territorial Officier yang meliputi daerah Kampar Kiri (Lipat Kain) dan Kampar Kanan (Teratak Buluh). pada Tahun 1949 dengan Surat Keputusan Gubernur Militer Riau Selatan Nomor 6/ DTO-49 tanggal 25 Maret 1949.
  4. Setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia tahun 1950, beliau ditetapkan menjadi Wedana Pelalawan.

Akhir Hayat

Pada hari Sabtu tanggal 21 November 1959 jam 17.30, beliau mangkat di Pelalawan. Jenazahnya dimakamkan di komplek makam di halaman belakang Mesjid Pelalawan yang masih dirawat pemerintah dan penduduk setempat hingga sekarang. Untuk mengingat jasa-jasanya, kesetiaan dan pengabdiannya terhadap nusa dan bangsa, beliau digelar MARHUM SETIA NEGARA. Dengan mangkatnya Sultan Syarif Harun, maka berakhir pulalah Kekuasaan Raja-Raja di Kerajaan Pelalawan.

Setelah Sultan Syarif Harun mangkat, hampir seluruh keluarganya secara berangsur pindah meninggalkan Pelalawan, Yang terbanyak adalah ke Pekanbaru, Sultan Syarif Harun tidaklah sempat membuat istana seperti ayah dan nenek moyangnya, Masa pemerintahan beliau yang serba sulit, menyebabkan beliau hanya memiliki Istana peraduan yakni rumah kediaman biasa.Sedhirkan 10 orang putra-putri yang hidup hingga dewasa.

Setelah Sultan Syarif mangkat, hampir seluruh keluarganya secara berangsur pindah meninggalkan Pelalawan, yang terbanyak adalah ke Pekanbaru, Sultan Syarif Harun tidaklah sempat membuat istana seperti ayah dan nenek moyangnya, Masa pemerintahan beliau yang serba sulit, menyebabkan beliau hanya memiliki Istana Peraduan yakni rumah kediaman biasa.

Keluarga

Sultan Syarif Harun mempunyai 3 (tiga) orang istri, dan ketiga istrinya itu melahirkan 10 orang anak yang hidup hingga dewasa.

Dengan Istrinya Tengku Maimunah binti Tengku Ismail :

  1. Tengku Ramlah,

Dengan Istrinya Encik Saedah:

  1. Tengku Kamil,
  2. Tengku Kamarudin (Sultan Syarif Kamaruddin),
  3. Tengku Kamariah,
  4. Tengku Kadariah,
  5. Tengku Kasrun Harun,
  6. Tengku Kashar Harun,

Dengan Istrinya Tengku Syarifah Damnah :

  1. Tengku Kalsum,
  2. Tengku Karimah,
  3. Tengku Kasril.

Sumber

Oleh : Tengku Said Muhammad bin Tengku Jamhur Said Sagaf, dari Buku Silsilah Keturunan Raja - Raja Kerajaan Pelalawan dan Siak Sri Indrapura Himpunan H. T. S. Umar Muhammad, Tenas Effendi, T. Razak Jaafar. 1988.