Alexander Andries Maramis
Alexander Andries Maramis (1897 - 1977) adalah anggota KNIP, anggota BPUPKI dan Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia dan merupakan orang yang menandatangani Oeang Republik Indonesia pada tahun 1945. Adik kandung Maria Walanda Maramis ini menyelesaikan pendidikannya dalam bidang hukum pada tahun 1924 di Belanda.
Pada waktu Agresi Militer Belanda II, AA Maramis berada di New Delhi India dan ditugasi untuk memimpin Pemerintah RI dalam pengasingan. Ia kemudian menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Darurat yang diketuai oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Nama : Alexander Andries Maramis; Nama populer : Mr. A.A. Maramis / Alex; Lahir : Paniki Bawah Manado, 20 Juni 1897; Meninggal : Jakarta, 31 Juli 1977; Bode 03:44, 24 Juni 2007 (UTC)
Pendidikan Umum : - ELS (Europeesche Lagere School) diploma 1911 - HBS (Hoogere Burger School) diploma 1918 - Universitas Leiden bagian Hukum - diploma 1924 Bode 03:44, 24 Juni 2007 (UTC)
- Menteri Negara (sejak 25 September 1945 lalu menjadi Menteri Keuangan ke-2 karena Dr. Samsi berhenti sbg Menkeu sejak tgl 26 Sept. 1945)dlm Kabinet Presidentil (19 Agustus 1945 – 14 November 1945) - Menteri Luar Negeri - Kabinet Darurat / PDRI (19 Desember 1948 – 13 Juli 1949) (di India) - Menteri Keuangan - Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947 – 11 November 1947) - Menteri Keuangan - Kabinet Amir Sjarifuddin II (sesudah reshuffling 11 Nov 1947 – 29 Januari 1948) - Menteri Keuangan (PNI) Kabinet Hatta 1 / Presidentil Kabinet ( 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949) Bode 03:44, 24 Juni 2007 (UTC)
Pekerjaan : - Pada tahun 1924 menjadi Advocaat di Semarang, Palembang (Sumatera), Telukbetung (Sumatera) dan Jakarta - Tahun 1923 - 1924 menjadi Sekretaris Perkumpulan "Perhimpoenan Indonesia" di Den Haag, serta Sekretaris Persatuan Minahasa - Tahun 1943 telah duduk dalam Majelis Pertimbangan "POETERA" - Tahun 1945 menjadi Anggota BPUPKI, kemudian dalam Kabinet Presidensial Pertama ia menjadi Menteri Negara Kabinet RI yang Pertama tanggal 19 Agustus – 25 September 1945, serta Menteri Keuangan yang kedua sejak tanggal 25 September 1945. - Tahun 1947 dalam Kabinet ke-5 RI yaitu Kabinet Amir Sjarifuddin Pertama sebagai Menteri Keuangan mewakili PNI - Tahun 1947 sampai tahun 1948 dalam Kabinet ke-6 RI yaitu Kabinet Amir Kedua juga sebagai Menteri Keuangan mewakili PNI - Tahun 1948 sampai tahun 1949 dalam Kabinet Hatta Pertama (atau Presidentil Kabinet) sebagai Menteri Keuangan - Tahun 1948 sampai tahun 1949 saat Agresi Militer Belanda ke-2 duduk dalam Kabinet Darurat dalam Pemerintah Darurat RI (PDRI) sebagai Menteri Luar Negeri. - Tahun 1949, Mr A.A. Maramis menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Filipina, kemudian menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Jerman, terakhir menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Moskow.
Tanda Penghargaan RI: - Pahlawan Pergerakan Nasional No. 012 Tahun 1969 - Bintang Mahaputera Utama (tanpa Keppres) disematkan tgl 15-2-1961 - Bintang Gerilya - Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan No. Skep. 228 Tahun 1961 - Perintis Kemerdekaan No. Pol. 8/I/77/PK tahun 1977 - Bintang Republik Indonesia Utama (Keppres No.046/TK/Tahun 1992) tanggal 12 Agustus 1992 Bode 03:44, 24 Juni 2007 (UTC)
Sosok, ketokohan dan kejuangan putra kawanua Mester Alex A. Maramis sangat berarti dalam perjuangan. Bersama tokoh-tokoh ternama yaitu Ir Soekarno, Mohammad Hatta dan Haji Agus Salim, telah membawa bangsa ini ke gerbang kemerdekaan. Herannya, sampai kini Mr Maramis ternyata belum dihargai sebagai pahlawan nasional.
Tak bisa dipungkiri, Mr A.A. Maramis, lelaki kelahiran Paniki Bawah Manado 20 Juni 1897 serta lulusan Leiden Belanda ini punya nilai perjuangan yang segudang. Diantaranya anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia serta duduk dalam Panitia Sembilan PPKI dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) serta anggota perumus Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, saat Agresi Militer Belanda yang ke-2 pada bulan Desember 1948, Maramis ditugaskan ke India oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Sjafruddin Prawiranegara dan saat itu ia menjabat Menteri Luar Negeri RI saat Soekarno-Hatta ditawan Belanda dan berhasil menghasilkan resolusi konferensi New Delhi.
Jabatan yang pernah diembannya diantaranya pada masa pasca kemerdekaan yaitu tahun 1945 masuk dalam jajaran Menteri Negara, pada tahun 1947-1948 sebagai Menteri Keuangan. Setelah ada pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tahun 1949, Mr A.A. Maramis menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Filipina, Jerman dan Moskow.
Karena perjuangannya, sejumlah tokoh Sulawesi Utara pun angkat bicara. Mereka telah berinisiatif bekerja sama dengan Unsrat untuk memperjuangkan Mr A.A. Maramis agar dapat ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Mereka sangat berharap lobi Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, rapat paripurna oleh legislatif dan peran Dinas Sosial Sulut. Bode 03:44, 24 Juni 2007 (UTC)
Pendidikan Mr A.A Maramis, setelah menamatkan pendidikan di E.L.S. pada tahun 1911 kemudian ia melanjutkan ke H.B.S. sampai tahun 1918. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden Bagian Hukum di Belanda sampai ia menamatkan pendidikan di Universitas tersebut tahun 1924 dengan meraih gelar Mester in Rechten atau yang biasa disebut Mester (Mr.). Ia kuliah bersama-sama dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kelak memimpin Indonesia. Pada saat itu ia menjadi Sekretaris dari Tahun 1923 - 1924 menjadi Sekretaris Perkumpulan "Perhimpoenan Indonesia" di Den Haag.
Selesai itu, ia kembali ke Indonesia dan menjabat Sekretaris Persatuan Minahasa yang didirikan oleh Doktor Sam Ratulangi. Persatuan Minahasa sendiri meraih suara terbanyak dalam Dewan Minahasa yang saat itu bernama Minahasaraad.
Pada tahun 1924 ia menjadi Advokat/pengacara di Semarang, kemudian pindah ke Sumatera di Palembang, kemudian pindah ke Telukbetung dan terakhir menjadi pengacara di Jakarta.
Jiwa kewartawanannya diperlihatkan pada saat ia berumur 22 tahun dengan menerbitkan majalah bulanan bernama Pewarta Manado pada tahun 1919.
Karena kedekatannya dengan kawan-kawan mahasiswa yang kelak menjadi tokoh-tokoh nasional itu, ia pun turun ke gelanggang politik nasional dengan menduduki suatu badan bentukan Jepang bernama Pusat Tenaga Rakyat yang disingkat PUTERA. Ia duduk sebagai anggota Majelis Pertimbangan PUTERA. Badan ini sendiri dipimpin oleh kedua kawannya yaitu Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta.
Setelah kekalahan Jepang di Pasifik mulai nampak pada tahun 1944-1945, tentara Jepang mulai memberikan janji kemerdekaan bagi Indonesia. Maka dibentuklah suatu badan yang bertujuan untuk menyelidiki kesiapan kemerdekaan Indonesia bernama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini mengadakan dua kali sidang resmi dan satu kali sidang tidak resmi yang seluruhnya berlangsung di Jakarta sebelum kekalahan kekaisaran Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Badan ini terdiri dari 68 orang dimana Mr. A.A. Maramis juga menjadi anggotanya. BPUPKI sendiri dipimpin oleh Dokter K.R.T. Radjiman Wedyadiningrat, seorang pensiunan dokter keraton Surakarta yang berdarah bangsawan Bugis dari pihak ayah serta dari pihak ibunya keturunan Minahasa.
Sidang BPUPKI dilangsungkan tanggal 28 Mei sampai 1 Juni 1945 dan tanggal 10-17 Juli 1945. Dalam sidang tanggal 11 Juli 1945 Mr. Maramis mengemukakan pendapatnya tentang perlunya memohon kepada Dai Nippon untuk memberi jalan bagi rakyat Malaka, Borneo Utara yang dikuasai Inggris serta Timor Timur yang dikuasai Partugis juga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri apakah mereka mau melepaskan diri dari negara kolonialnya.
Pada tanggal 11 Juli tersebut, ia dan 18 orang anggota lainnya menjadi anggota Panitia Hukum Dasar untuk merancang Undang-Undang Dasar yang kelak bernama UUD 1945. Dalam rapat Panitia Hukum Dasar tersebut, Mr. Maramis mendesak agar Mr. Muhamad Yamin diasukkan dalam panitia tersebut, karena Yamin sendiri dimasukkan dalam bidang perekonomian yang tidak disukainya. Akhirnya Muhamad Yamin pun dimasukkan dalam Panitia tersebut.
Pada tanggal 22 Juni 1945 disahkan sebuah piagam yang bernama PIAGAM JAKARTA. Piagam ini disahkan oleh Panitia Sembilan dimana Mr. Maramis sendiri menjadi anggotanya. Piagam ini berbeda dengan Naskah Pembukaan UUD 1945. Letak perbedaannya ada pada butir Pancasila yang berbunyi “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dalam Pembukaan UUD 45, kalimat ini dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Mr. Maramis membantah bahwa ia menyetujui kalimat tersebut. Sebagai seorang Kristen, ia tidak bisa menerimanya.
Pada suatu hari menjelang hari Proklamasi, Sam Ratulangi dan tokoh-tokoh Indonesia Timur lainnya, serta para mahasiswa Ika Daigaku yang berasal dari Indonesia Timur diundang makan dan ramah-tamah oleh Mr. Maramis di rumahnya di Jl. Medan Merdeka Timur. Biasanya kalau utusan Indonesia Timur datang ke Jakarta, diadakan pertemuan makan bersama di rumah Mr. Maramis ini.
Dengan berkerumun di pada Mr Maramis mereka mengeluhkan tentang kalimat Syariat Islam kepada Om Alex. Kalimat yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sambil Mr Maramis berdiri di pintu, ia menceritakan bahwa semula dalam rapat BPUPKI itu, soal agama sudah ditolak untuk dimasukkan dalam Mukadimah UUD 45. Tapi dua minggu kemudian dalam pembukaan rapat, Ketua Dokter Radjiman mengemukakan bahwa atas permintaan beberapa anggota, antara lain Abikusno dan Kyai Haji Hadikusumo, soal agama supaya dimasukkan lagi dalam acara rapat untuk dibicarakan. Maka Mr. Ahmad Subarjo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri dan Mr. Maramis menolak permintaan Ketua dengan alasan bahwa nanti rapat akan bertele-tele dan tugas BPUPKI tidak akan selesai pada waktunya. Tetapi Ketua meneruskan kehendaknya. Ketiga anggota tersebut walk-out meninggalkan rapat dengan komentar bahwa Ketua tidak disiplin. Sewaktu mereka bertiga masuk kembali menghadiri rapat, Ketua memberitahukan bahwa rapat sudah setuju untuk memasukkan dalam Mukadimmah kalimat yang berbunyi : Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Lalu Mr Maramis berkomentar lagi bahwa hanya begitulah yang terjadi saat itu. DR. Sam Ratulangi langsung memberi komentar bahwa masalah ini serius serta tidak boleh bersikap acuh tak acuh demikian. Sam Ratulangi mengatakan bahwa ia akan melaporkan hal ini kepada rekan-rekannya di Makassar. Juga ada komentar saat itu bahwa nanti semua orang Kristen juga diharuskan masuk gereja setiap hari Minggu karena adanya undang-undang seperti itu. Oleh sebab itu persoalan Negara harus dipisahkan dari persoalan Agama.
Sesaat setelah Proklamasi selesai dibacakan tanggal 17 Agustus 1945, beberapa orang mahasiswa asal Indonesia Timur menuju Hotel Des Indes tempat penginapan para utusan dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk menemui utusan dari Indonesia Timur. Saat mereka tiba di depan kamar DR Sam Ratulangi mereka bertemu Mr. I Gusti Ketut Pudja utusan dari Bali. Ia mengatakan bahwa ia dan utusan dari Indonesia Timur tidak setuju dengan beberapa bagian dari Konstitusi, khususnya Mukadimah atau Pembukaan. Mereka tidak setuju dengan kalimat yang mensyaratkan Syariah Islam serta Presiden harus seorang yang beragama Islam. Mr. Tajudin Noor dari Kalimantan serta Andi Pangerang utusan dari Sulawesi Selatan dengan suara nyaring mengatakan bahwa Konstitusi mesti diubah denga alasa yang sama. Sam Ratulangi pun mengatakan bahwa karena semua dari Indonesia Timur telah sepakat menolak kedua hal tersebut, maka harus mengusahakan untuk mengubah Konstitusi yang masih digodok itu agar tidak terpecah belah antara mereka. Harus menghilangkan kalimat-kalimat yang bisa menggangu perasaan kaum Kristen atau pemeluk agama lain. Setelah itu persoalan itu segera diberitahukan kepada Bung Hatta untuk membicarakan hal itu sore hari itu juga tanggal 17 Agustus 1945 pada pukul 5 sore.
Perubahan-perubahan yang diajukan oleh para utusan ini dapat diterima oleh Bung Hatta dan disampaikannya kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945.
Setelah Presiden dan Wakil Presiden terpilih yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Mohamad Hatta, maka pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuklah Kabinet Presidensial dimana Mr. A.A. Maramis menjadi Menteri Negara. Pada tanggal 25 September 1945, Menteri Keuangan Dr. Samsi mengundurkan diri dan digantikan oleh Menteri Negara Mr. A.A. Maramis. Jabatan Menteri Keuangan ini dipegangnya sampai tanggal 14 November 1945.
Pada pergantian Kabinet RI yang kelima kali, yaitu dalam Kabinet Amir Sjafruddin Pertama ia menjabat kembali sebagai Menteri Keuangan RI dari tanggal 3 Juli sampai tanggal 11 November 1947 mewakili PNI. Jabatan ini diteruskan kembali pada masa Kabinet Amir Sjafruddin Kedua dari tanggal 11 November 1947 sampai tanggal 29 Januari 1948. Mr Maramis dipercayakan kembali oleh Drs. Mohamad Hatta menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta Pertama atau yang disebut juga Presidentil Kabinet, yaitu dari tanggal 29 Januari 1948 sampai tanggal 4 Agustus 1949.
Pada saat ia menjabat sebagai Menteri Keuangan Kabinet Hatta Pertama terjadilah Agresi Militer Belanda Kedua atau yang disebut juga Aksi Polisionil Belanda Kedua pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 6 pagi. Belanda berhasil menawan para pemimpin negara yang dipimpin Ir. Sukarno dan Mohamad Hatta di Istana Presiden di Yogyakarta. Saat itu Mr. Maramis, L.N. Palar sedang berada di New Delhi untuk mengadakan suatu kunjungan antarnegara.
Sebelum Presiden Soekarno dan Wapres ditawan Belanda, Presiden sempat megirimkan mandat kepada Mr. Sjarifuddin Prawiranegara saat itu sedang berada di Sumatera, serta Mr. Maramis di India untuk mengadakan suatu pemerintahan darurat atau bila gagal, maka membentuk pemerintahan dalam pengasingan. Kemudian Mr. Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Bukittinggi Sumatera sebagai Pejabat Presiden dan Perdana Menteri. Mr. A.A. Maramis ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Darurat PDRI tersebut dari tanggal 19 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949. Setelah semuanya berjalan normal kembali, ia pun menjadi Menteri Keuangan seperti biasanya sejak tanggal 13 Juli 1949.
Setelah ada pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda tahun 1949, Mr A.A. Maramis menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Filipina, lalu menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Jerman kemudian terakhir menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh di Moskow.
Setelah ia memasuki masa pensiunnya, ia memilih untuk tinggal di Swiss di kota Lugano di tepi danau yang bernama sama yaitu Lugano di daerah pegunungan Ticino yang berbatasan dengan Italia. Ia bersama istri dan anak menghabiskan masa hidupnya di sana. Kehidupannya di Swiss sungguh sepi. Tidak ada sanak saudara dan juga tetangga yang bisa diajaknya bercengkerama. Apalagi daerah Ticino itu merupakan daerah Swiss yang berbahasa Italia. Jelas merupakan jurang pemisah antara ia dengan lingkungannya.
Akibat keterasingan itu ia menderita penyakit. Ia menjadi seorang yang pikun dan sulit berbicara disertai penyakit ketuaan lainnya.
Sampai akhirnya ia menerima kunjungan dari sahabat-sahabat lamanya dalam politik yang datang kepadanya pada bulan Maret tahun 1975 untuk menandatangani suatu naskah Uraian Pancasila dari Panitia Lima.
Panitia Lima Pancasila dibentuk untuk memberikan “Penafsiran Tunggal” mengenai Pancasila. Panitia ini diharapkan mampu memberikan pegertian sesuai dengan alam pikiran, dan semangat lahir batin para pentyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Untuk menghindarkan segala rupa penafsiran mengenai makna Pancasila maka Panitia Lima ini terdiri dari bekas Panitia Sembilan yang menandatangani perumusan Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Waktu itu yang masih hidup tinggal tiga orang yaitu Dr. Mohamad Hatta, Professor Mr. Ahmad Subarjo Joyoadisuryo, Mr. Alex Andries Maramis. Ditambah oleh dua orang tokoh pendiri bangsa Professor Mr. Sunario dan Professor Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo.
Panitia Lima ini bersidang tanggal 10 Januari 1975, 28 Januari lalu terakhir 11 Februari 1975. Kemudian hasil itu ditandatangani di Jakarta tanggal 18 Februari 1975. Karena Mr. Alex Maramis tidak berkesempatan hadir di sidang tersebut karena berada di Swiss dalam keadaan tidak sehat, maka sebagai anggota Panitia Lima, ia dicarikan jalan agar bisa menandatangani naskah tersebut. Atas bantuan seseorang dermawan yang tidak mau disebutkan namanya yang bersedia membantu Panitia Lima yang menawarkan biaya guna menghubungi Mr. Alex Maramis yang berada di Swiss. Mr. Maramis sendiri mau pulang ke Indonesia tapi isterinya yang tidak mau menghendaki ditambah lagi karena juga anaknya berada di sana.
Setelah naskah hasil dari Panitia Lima ini di periksa dan ditandatangani oleh Mr. Alex Maramis di Lugano Swiss pada tanggal 18 Maret 1975 maka Delegasi Panitia Lima yang dipimpin Jenderal Surono menghadap Presiden Soekarno di Bina Graha tanggal 23 Juni 1977 untuk menyerahkan isi dari Uraian Pancasila menurut Panitia Lima tersebut. Bode 03:44, 24 Juni 2007 (UTC)
Pranala Luar
- (Indonesia) Menteri Luar Negeri Mr. Alexander Andries Maramis
- (Indonesia) [Profil Pahlawan-Pahlawan Nasional Minahasa oleh Bodewyn G. Talumewo]
Bode 03:44, 24 Juni 2007 (UTC)
Didahului oleh: Samsi |
Menteri Keuangan 1945 |
Diteruskan oleh: Sunarjo Kolopaking |
Didahului oleh: Syafruddin Prawiranegara |
Menteri Keuangan 1947 - 1949 |
Diteruskan oleh: Lukman Hakim |
Didahului oleh: Agus Salim |
Menteri Luar Negeri Indonesia 1949 |
Diteruskan oleh: Agus Salim |