Bahasa tanah

istilah kolektif untuk bahasa daerah di Kepulauan Maluku
Versi yang bisa dicetak tidak lagi didukung dan mungkin memiliki kesalahan tampilan. Tolong perbarui markah penjelajah Anda dan gunakan fungsi cetak penjelajah yang baku.

Bahasa tanah (Melayu Ambon: bahasa tana) adalah istilah kolektif untuk bahasa-bahasa asli di Kepulauan Maluku yang saat ini biasanya hanya dipakai sebagai alat komunikasi dalam konteks adat istiadat. Di Pulau Seram dan sekitarnya, bahasa tanah biasanya digunakan saat upacara adat yang disebut panas pela.[1]

Oleh masyarakat Maluku, bahasa tanah dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan sakral dibandingkan dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa tana di Kepulauan Maluku sebagian besar hanya diketahui dan dipahami oleh penutur yang sudah tua. Di Kepulauan Banda, bahasa tanah digunakan dalam syair atau nyanyian adat yang dikenal dengan sebutan kabata.[2]

Etimologi

Pemilihan kata "tanah" (Melayu Ambon: tana) pada istilah bahasa tanah didasari oleh pemaknaan tanah sebagai 'tempat asal dari kehidupan'. Tanah juga dimaknai sebagai 'pusat kehidupan dan sebagai tempat bertumpu'. Selain itu, istilah "tanah" tersebut merujuk pada aktivitas sakral, yakni acara-acara adat. Tanah dilambangkan sebagai bentuk sakralitas dan keaslian. Oleh karena itu, tuturan-tuturan adat dalam berbagai pelaksanaan upacara adat disebut sebagai bahasa tanah.[3]

Penggunaan

Hingga saat ini, terdapat sekitar 117 bahasa tanah yang tersebar di Provinsi Maluku. Beberapa diantaranya mengalami kepunahan, kebanyakan bahasa tanah yang mengalami kepunahan adalah bahasa tanah yang digunakan oleh negeri-negeri Kristen, baik yang digunakan di Pulau Ambon, maupun di sebagian kecil Pulau Seram. Penggunaan bahasa tanah pada komunitas Kristen Maluku pernah dicatat oleh Rumphius pada tahun 1987, yakni di negeri Hative dan Hitu (negeri Islam). Dalam laporannya, ia mengatakan bahwa bahasa tanah yang digunakan di Hative dan Hitu sangat berbeda sekali dengan bahasa di pulau-pulau yang berdekatan dengannya seperti Ternate, Makassar, dan Banda. Dua bahasa yang telah dicatat oleh Rumphius itu saat ini sudah dinyatakan punah. Sedangkan pada komunitas Islam Maluku, selain masih digunakan secara umum, juga diluncurkan buku Kamus Bahasa Asilulu – Inggris oleh James T. Collins yang telah melakukan penelitian cukup lama tentang punahnya beberapa bahasa tanah di Pulau Ambon.[4]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Tuasa, Nurjan; Pattiasina, Petrus Jacob; Lelapary, Heppy Leunard (2020). "FUNGSI BAHASA TANA DALAM UPACARA ADAT PANAS PELA NEGERI RUMAH WEI DAN NEGERI KASIEH KECAMATAN TANIWEL KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT". Mirlam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ambon, Indonesia: Universitas Pattimura. 1 (1): 121–132. doi:10.30598/mirlamvol1no1hlm121-132. Diakses tanggal 03-06-2024. 
  2. ^ Darman, Faradika (2019). "Kabata dan Bahasa Tana di Kepulauan Banda". Ambon, Indonesia: Staf Teknis Kantor Bahasa Maluku. Diakses tanggal 03-06-2024. 
  3. ^ Asrif (2019). "Bahasa Tanah". Ambon, Indonesia: Kantor Bahasa Maluku. Diakses tanggal 03-06-2024. 
  4. ^ Soplanit, Julian (28-03-2011). ""BAHASA TANA" bahasa ibu orang Maluku". juliansoplanit.blogspot.com. Diakses tanggal 03-06-2024. 

Daftar pustaka