Huang Chao
Huang Chao (Hanzi: 黃巢, ?-884) adalah seorang pemimpin pemberontakan petani terkenal pada akhir Dinasti Tang, Tiongkok. Pemberontakannya yang berlangsung selama satu dekade (875-884) pada akhirnya berhasil ditumpas oleh pemerintah Tang, tetapi Dinasti Tang sendiri mengalami kemunduran drastis setelahnya hingga akhirnya runtuh pada tahun 907.
Biografi | |
---|---|
Kelahiran | 9 abad Heze |
Kematian | 884 (Kalender Masehi Gregorius) |
Penyebab kematian | Eksanguinasi |
Kaisar Tiongkok Qi (Huang Chao) (en) | |
881 – 884 (death in office (en) ) – Tang Xizong → | |
Kegiatan | |
Pekerjaan | penyair, rebel (en) , perwira militer |
Periode | Dinasti Tang |
Keluarga | |
Pasangan nikah | Empress Cao (en) |
Kehidupan awal
Huang lahir dari keluarga pedagang garam, tanggal dan tempat kelahirannya tidak diketahui secara pasti, diperkirakan di Heze, Provinsi Shandong. Ia adalah seorang pria yang pemberani, tidak ragu, dan berjiwa besar. Dalam usia lima tahun ia sudah bisa membuat puisi, selain itu ia juga mahir menunggang kuda dan memanah. Dengan kemampuannya ia mencoba mengadu nasib ke ibu kota dengan mengikuti ujian kerajaan untuk menjadi pejabat. Namun beberapa kali ia selalu gagal karena pemerintahan saat itu yang telah korup dan ujian pun sarat dengan praktik suap-menyuap.
Di ibu kota, ia melihat kehidupan keluarga kekaisaran dan pejabat yang hedonis tanpa memedulikan penderitaan rakyat sehingga timbul kemarahan dalam hatinya, ia mulai kehilangan kepercayaanya terhadap pemerintah. Kembali ke kampung halamannya ia melakukan bisnis ilegal dengan menjadi penyelundup garam (saat itu bisnis garam dimonopoli oleh pemerintah) dan menggalang gerakan anti pemerintah. Dalam hal ini ia bekerjasama dengan Wang Xianzhi, seorang bandar garam.
Latar belakang pemberontakan
Sejak Pemberontakan An Shi (775), Dinasti Tang yang pernah berjaya pada abad VII telah banyak mengalami kemunduran. Politik tidak stabil, ekonomi mengalami krisis, dan wibawa kaisar mulai pupus. Pajak yang berat memperparah perebutan kelas dalam bangsa yang didominasi segelintir tuan tanah yang berkuasa dan para pejabat korup. Para gubernur militer memperoleh kekuasaan makin besar, mereka tidak lagi menghormati pemerintah pusat dan sibuk bertempur dengan sesama mereka sendiri untuk memperkaya diri dan berebut wilayah. Kondisi tersebut membuat rakyat semakin menderita, keluh-kesah dan ketidakpuasan terhadap pemerintah terdengar dimana-mana. Para petani yang kehilangan tanah, tuan-tuan tanah dan pedagang yang terpinggirkan, serta para penyelundup garam berkumpul dan membentuk organisasi-organisasi anti pemerintah.
Meletusnya pemberontakan
Pada tahun 870an bencana banjir dan kelaparan melanda wilayah Tiongkok utara dan tengah. Banyak rakyat yang hidup melarat bergabung dengan geng-geng kriminal dan jumlah mereka semakin banyak. Tahun 875, Wang Xianzhi memulai pemberontakan di Provinsi Henan. Langkah ini langsung diikuti oleh Huang yang menyatakan pemberontakanya di Shandong. Ia telah lama menantikan hari ini dengan visi tentang barisan para revolusioner yang penuh kemenangan menuju ibu kota Chang’an (sekarang Xi'an, Shaanxi). Ia yakin bahwa sistem feodal yang bobrok sudah tinggal menunggu waktu untuk menuju kehancurannya. Huang menulis semangat revolusi itu dalam puisinya yang berbunyi:
- Pada akhirnya, tibalah hari kedelapan bulan purnama
- Semua bunga telah layu kecuali bunga krisan
- Keharumannya meliputi seluruh Chang’an
- Keberadaannya dimana-mana memenuhi kota seperti seragam keemasan.
Dalam waktu singkat pasukannya telah mencapai ribuan dan lima tahun kemudian telah tumbuh hingga 600.000. Pemerintah segera mengirimkan pasukan untuk menumpas pemberontakan. Pasukan pemerintah melancarkan taktik adu domba untuk memecah belah Wang dan Huang. Mereka berhasil menyuap Wang dengan kedudukan dan harta, sehingga ia membelot pada pemerintah dan berbalik melawan Huang. Namun tak lama kemudian, Huang berhasil mengalahkannya dan membujuknya agar kembali berjuang bersamanya melawan pemerintah. Akhirnya Wang kembali berubah halauan dan melawan pemerintah, tetapi ia tertangkap dan dihukum mati oleh pasukan Tang di Hubei.
Puncak kejayaan
Sejumlah besar sisa pengikut Wang Xianzhi bergabung dengannya sehingga jumlah mereka kini berlipat ganda. Kekuatannya makin bertambah dengan bergabungnya ribuan petani miskin, pedagang dan kaum anarkis. Pasukan pemberontak itu menyerang dan menjarah sejumlah daerah strategis seperti Huabei, Huadong, Huanan, dan Tongguan. Tahun 879, pasukan Huang menaklukkan Guangzhou, disana mereka membunuh dan mengusir para pedagang asing. Setelah menaklukkan Luoyang, mereka bersiap melancarkan serbuan akhir ke ibu kota Chang’an. Tahun 880, Huang dan pasukannya berhasil menduduki kota itu. Sorak-sorai pasukannya demikian hebat sehingga membuat takut pasukan pemerintah yang bertahan. Mereka membakar perkemahan mereka sendiri sebelum kabur meninggalkan kota. Kaisar Tang Xizong melarikan diri dan mendirikan pemerintahan pengasingan di Chengdu, Provinsi Sichuan.
Huang Chao yang telah meraih kemenangan memasuki kota dengan kereta keemasan dan disambut meriah oleh penduduk kota. Beberapa hari kemudian di istana kekaisaran, ia mengangkat dirinya sebagai kaisar dan menamai dinastinya sebagai Dinasti Qi. Visinya bahwa Chang’an yang dipenuhi dengan keharuman bunga krisan kini telah menjadi kenyataan.
Kejatuhan dan kematian
Kejayaan Huang hanya berlangsung selama dua setengah tahun sebelum pasukan Tang mengadakan serangan balasan. Walaupun ia telah berhasil menarik beberapa pejabat Tang dalam pemerintahannya, tetapi pemerintahan yang dipimpin oleh rezim bandit kriminal itu tidak mempunyai agenda yang jelas untuk ke depan sehingga tidak dapat memerintah dengan efektif. Ia tidak memiliki kemampuan untuk mengatur ekonomi dan sering memperlakukan tawanan perang dengan kejam sehingga mulai kehilangan simpati. Lama-lama persiapan makanan dan logistik pasukan Huang semakin berkurang. Keadaan ini diperparah dengan konspirasi para jenderal-jenderalnya yang berkhianat.
Kaisar Xizong dari Sichuan mulai menggerakkan pasukannya untuk merebut kembali daerah-daerah yang diduduki pemberontak. Li Keyong, seorang gubernur militer beretnis Turki Shatuo memimpin pasukannya untuk membantu pemerintah Tang menumpas pemberontakan Huang. Tahun 881, Chang’an berhasil direbut kembali oleh pasukan Tang sehingga Huang melarikan diri ke Henan. Pada saat yang kritis itu, Zhu Wen salah satu jenderal terkuatnya membelot pada tahun 882 dan bergabung dengan pasukan Tang. Pasukan gabungan Li dan Zhu mendesak Huang hingga ke Gunung Tai di Shandong dimana ia akhirnya bunuh diri pada tahun 884 setelah menyadari harapannya telah habis. Ada versi lain kematiannya yang menyebutkan dibunuh oleh bawahannya.
Warisan
Walaupun pemberontakan Huang Chao gagal, tetapi pemberontakan itu berhasil mendorong perubahan-perubahan sosial dan politik seperti berikut:
- Dinasti Tang yang telah korup yang telah tinggal nama selama 20an tahun terakhirnya berhasil digulingkan oleh Zhu Wen yang mendirikan Dinasti Liang.
- Kekuasaan para tuan tanah, keluarga feodal dan konsep perbedaan kelas dalam masyarakat berhasil dihapuskan.
- Terbentuk kesadaran yang jelas akan keadilan yang sangat memengaruhi revolusi-revolusi pada masa-masa berikutnya.
Referensi
- Lin Shan, “Dragon Tales: China’s History from Tang to Qing”, Singapore: Asiapac Books, 2006