Kekerasan pada persalinan
Kekerasan pada persalinan merupakan pada situasi di mana seorang wanita mengalami perlakuan yang kasar, tidak hormat, atau kekerasan fisik atau emosional selama proses persalinan. Kekerasan ini dapat terjadi di berbagai tahap persalinan, mulai dari pemeriksaan pra-natal hingga proses persalinan itu sendiri, termasuk prosedur medis yang dilakukan selama persalinan.
Bentuk-bentuk kekerasan pada persalinan meliputi perlakuan kasar, seperti teriakan, celaan, atau sikap yang tidak empatik dari tenaga medis yang merawat, serta tindakan fisik yang tidak layak atau tidak pantas, misalnya pemaksaan posisi tubuh atau tindakan invasif tanpa persetujuan. Kekerasan pada persalinan juga bisa berupa intervensi medis yang tidak perlu atau tidak diinginkan, seperti pemakaian alat bantu persalinan atau tindakan bedah yang tidak disarankan.
Kekerasan dalam rumah tangga
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan bentuk penganiayaan yang meliputi kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi. Fenomena ini dapat terjadi pada berbagai tahapan kehidupan, termasuk periode kehamilan. Kekerasan fisik yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga dapat meningkatkan risiko depresi postpartum hingga tiga kali lipat. Ibu yang mengalami kekerasan selama kehamilan menghadapi tekanan fisik dan psikologis yang signifikan, yang dapat mengakibatkan luka fisik, trauma, perdarahan, serta reaksi emosional seperti kecemasan dan depresi. Kejadian depresi postpartum sering terjadi pada ibu yang mengalami konflik dengan pasangan dan mungkin kurang mendapatkan dukungan dari suami. Dampak psikologis dari kekerasan emosional juga dapat memberikan dampak negatif pada kesehatan emosional dan mental ibu selama masa nifas. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa ibu muda memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami kekerasan, karena mereka mungkin belum memiliki keterampilan pengambilan keputusan yang matang, sehingga berpotensi mengalami depresi postpartum.[1]
Dampak kekerasan pada persalinan
Dampak dari kekerasan pada persalinan bisa sangat berbahaya, baik secara fisik maupun mental. Secara fisik, kekerasan dapat menyebabkan cedera fisik pada ibu dan bayi, seperti robekan perineum yang tidak diperlukan atau komplikasi akibat tindakan invasif yang tidak layak. Secara mental, kekerasan dapat meningkatkan stres, rasa takut, dan trauma pada ibu, serta mempengaruhi pengalaman persalinan yang seharusnya menjadi momen penting dan berarti dalam kehidupan seorang wanita.
Peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak emosional yang luas dan bahkan dapat berujung pada sejumlah gangguan psikologis. Gangguan-gangguan ini termasuk gejala depresi, perubahan suasana hati, kurangnya minat dalam aktivitas yang biasanya menyenangkan, perubahan pola makan, gangguan tidur, kelelahan, perasaan tidak nyaman, merasa tidak berharga, kegelisahan, dan bahkan munculnya ide bunuh diri. Gejala-gejala ini sering kali muncul dalam waktu sekitar empat minggu setelah persalinan dan bisa berlanjut hingga enam bulan. Beberapa literatur menyebutkan karakteristik khusus dari depresi pasca persalinan, seperti kecemasan yang berlebihan, insomnia, dan perubahan berat badan.
Selama periode kehamilan dan setelah melahirkan, individu mengalami tingkat stres yang signifikan. Kondisi fisik yang terbatas selama kehamilan dan masa nifas dapat menyebabkan dampak psikologis yang cukup besar, termasuk risiko tinggi mengalami depresi. Hal ini berkaitan dengan penurunan kesehatan fisik dan mental ibu, yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif dan linguistik anak pada tahun-tahun awal kehidupannya. Selain itu, dampak tersebut juga mungkin mengganggu perilaku dan perkembangan fisik anak itu sendiri.[1]
Penting untuk mengakui dan mencegah kekerasan pada persalinan dengan meningkatkan kesadaran akan hak-hak wanita selama persalinan, memperkuat regulasi dan prosedur medis yang memastikan persetujuan informir dan penghormatan terhadap pilihan serta keputusan ibu, serta memberikan pelatihan dan pendidikan kepada tenaga medis untuk meningkatkan kepekaan terhadap kebutuhan dan hak-hak wanita selama proses persalinan.
Dukungan sosial
Dukungan sosial memainkan peran penting dalam mencegah kejadian depresi postpartum. Setelah melahirkan, kondisi fisik dan mental ibu sering kali melemah, sehingga memerlukan dukungan, bantuan, dan perhatian dari suami dan keluarga. Kurangnya dukungan dari suami dan keluarga dapat berkontribusi pada kejadian depresi postpartum. Dukungan sosial dari keluarga sangat dibutuhkan terutama dalam beberapa minggu setelah persalinan, terutama bagi ibu yang pertama kali melahirkan (primipara) yang belum memiliki pengalaman sebelumnya. Kondisi ini cenderung membuat ibu merasa fisiknya masih lemah dan memerlukan bantuan ekstra dalam merawat diri dan bayi selama masa pospartum. Ibu yang mendapat dukungan sosial yang kuat dari keluarga cenderung memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami depresi postpartum, karena merasa lebih tenang dan nyaman. Dukungan sosial yang kuat juga dapat bertindak sebagai pelindung terhadap depresi dan stresor yang berbahaya. Selain itu, dukungan sosial dari keluarga juga dapat meningkatkan rasa percaya diri (self-efficacy) ibu, yang berperan penting dalam peran orang tua, hubungan dengan anak, kepuasan dalam mengasuh anak, serta mengatasi konflik dalam keluarga.
Di Indonesia, dukungan sosial tidak secara signifikan mempengaruhi kejadian depresi postpartum karena tradisi budaya yang kuat dalam memberikan perhatian kepada ibu setelah melahirkan. Biasanya, setelah melahirkan, ibu akan tinggal bersama keluarga yang membantu dalam mengurus diri, pekerjaan rumah tangga, dan merawat anak, terutama selama masa nifas sekitar dua bulan setelah melahirkan.[1]